Oleh: Linah Alsaafin, Produser Al-Jazeera
“Saya merasa takut saat melihat wajah saya di cermin. Saya jadi membayangkan apa yang orang lain rasakan saat mereka melihat saya.”
Itulah kata-kata Israa Jaabis, seorang ibu Palestina berusia 33 tahun asal Yerusalem yang mendekam di Hasharon, satu-satunya penjara Israel untuk tahanan wanita Palestina.
Dia dituduh oleh Israel melakukan percobaan pembunuhan setelah menghancurkan mobilnya di sebuah pos pemeriksaan, tuduhan yang dia bantah. Luka bakarnya adalah akibat ledakan akibat kesalahan teknis pada mobilnya.
Fisiknya terbakar, tulangnya patah dan merasakan sakit yang amat sangat, namun ia tidak menerima perawatan medis yang memadai dari Sistem Penjara Israel (IPS). Inilah ungkapan Jaabis dalam sebuah surat yang didiktekan kepada pengacaranya.
Baca Juga: Pak Jazuli dan Kisah Ember Petanda Waktu Shalat
Hampir seluruh tubuhnya menderita luka bakar, ia hanya bergantung kepada sesama narapidana untuk membantunya. Ia dibiarkan dipermalukan.
Delapan jarinya diamputasi karena luka bakar yang parah.
Dia tidak bisa mengangkat tangannya sampai habis karena kulit ketiaknya saling menempel.
Telinga kanannya hampir tidak ada dan dalam keadaan radang parah.
Baca Juga: Jalaluddin Rumi, Penyair Cinta Ilahi yang Menggetarkan Dunia
Dan hidungnya memiliki lubang menganga di satu sisi, dia bernafas sebagian besar melalui mulutnya.
Dia juga menderita gangguan saraf, syok, dan krisis psikologis yang parah.
Dua tahun lalu, sebelum kecelakaan itu, Jaabis bekerja di sebuah panti jompo, dengan sukarela menyerahkan waktunya untuk amal, dan berdandan sebagai badut untuk menghibur anak-anak di rumah sakit Augusta Victoria di Yerusalem Timur yang diduduki.
Ledakan Mobil
Baca Juga: Al-Razi, Bapak Kedokteran Islam yang Mencerdaskan Dunia
Pada 10 Oktober 2015, Jaabis memindahkan perabotan dari mobil ke rumahnya di kawasan Jabal Al-Mukaber, Yerusalem, 500 meter dari pos pemeriksaan al-Zayyim. Dia kehilangan kendali pada kendaraannya.
Itu terjadi dua minggu setelah dimulainya “Intifadah” atau “pemberontakan Oktober”, yang ditandai oleh serangan individu mulai dari penusukan, penembakan, penabrakan mobil yang dilakukan kebanyakan remaja Palestina yang tidak terafiliasi dengan faksi politik.
Tentara Israel meneriaki Jaabis untuk menghentikan mobilnya, namun tiba-tiba sebuah ledakan terjadi pada mobilnya.
“Versi Israel adalah dia mencoba meledakkan mobilnya di pos pemeriksaan, tapi bagaimana bisa begitu bila jendela mobil itu utuh?” kata Mona Jaabis, saudara perempuan Israa.
Baca Juga: Abdullah bin Mubarak, Ulama Dermawan yang Kaya
“Apa yang terjadi pada mobil itu adalah kesalahan teknis, ” ujar Mona.
“Ada kontak listrik yang mempengaruhi kantung udara di roda kemudi, dan bahan kimia di kantong udara menyebabkan kebakaran,” tuturnya.
Kelompok hak tawanan Palestina, Addameer mengatakan, kesalahan tersebut menyebabkan sebuah tabung gas meledak.
“Seorang tentara Israel mendekatinya setelah dia meninggalkan mobilnya yang terbakar, berteriak dan mengarahkan pistolnya ke arahnya, dan kemudian membawanya ke tempat kejadian,” kata Addameer.
Baca Juga: Behram Abduweli, Pemain Muslim Uighur yang Jebol Gawang Indonesia
Menurut Mona, mobil tersebut tidak diperiksa setelah kejadian oleh pihak berwenang Israel.
Jaabis menghabiskan tiga bulan di rumah sakit Hadassah Ein Kerem, sebelum dipindahkan ke rumah sakit penjara Ramleh, yang disebut oleh para narapidana sebagai “rumah jagal”.
Pada 2017, dia dijatuhi hukuman 11 tahun penjara oleh pengadilan pusat di Yerusalem atas tuduhan percobaan pembunuhan.
“Dia tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari seperti makan, menggunakan kamar mandi, atau bahkan mengganti pakaiannya,” Addameer melaporkan.
Baca Juga: Suyitno, Semua yang Terjadi adalah Kehendak Allah
“Sementara kondisi Jaabis membutuhkan perawatan medis dan mental yang ekstensif, pihak berwenang Israel benar-benar mengabaikan kebutuhan mendesaknya.”
Jaabis membutuhkan setidaknya delapan operasi, termasuk cangkok kulit di sekitar mata kanan dan rekonstruksi wajahnya.
#Save_Israa
Penjaga penjara hanya memberinya salep untuk luka bakar, yang dia pakai dalam tiga hari, dan obat penghilang rasa sakit.
Banyak pengguna media sosial menggunakan hashtags #Save_Israa dan #Help_Israa bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan menekan IPS memberi perawatan medis yang dibutuhkan Jaabis.
Baca Juga: Transformasi Mardi Tato, Perjalanan dari Dunia Kelam Menuju Ridha Ilahi
Namun Mirvat Sadeq, seorang jurnalis Ramallah mengatakan, usaha ini gagal, karena dia menuduh kelompok hak asasi manusia mengabaikan kasus Jaabis.
“Saat ini ada delapan tahanan wanita yang menderita luka-luka, beberapa di antaranya memiliki kasus yang sangat sulit, dan harus ada intervensi cepat untuk membebaskan mereka,” kata Sadeq kepada Al Jazeera. Ia menambahkan, Otoritas Palestina harus menggunakan tekanan politik.
“Palang Merah Internasional juga sangat kurang mengambil tindakan untuk membantu Israa. Adalah tugas ICRC untuk memberikan kunjungan permanen dan melaporkan kondisi kesehatan narapidana dan mendesak semua pihak untuk bekerja dalam perawatan orang sakit dan terluka, ” jelasnya.
Pekan lalu, Jaabis muncul di pengadilan untuk mengajukan banding atas hukumannya. Banding ditunda sampai pemberitahuan lebih lanjut.
Baca Juga: Dato’ Rusly Abdullah, Perjalanan Seorang Chef Menjadi Inspirator Jutawan
“Apakah ada rasa sakit yang lebih besar dari ini?” Jaabis mengatakan kepada wartawan di persidangan. “Rasa sakit ini terlihat jelas, namun saya tidak menerima perawatan.”
Dia mengangkat tangannya. “Saya tidak punya jari. Saya berada di sini selama dua tahun, saya tidak tahu alasan mengapa saya berada di penjara.”
Leah Tsemel, pengacara Jaabis mengatakan, “Dia mendapatkan beberapa vitamin, tapi tidak ada perawatan yang tepat dan tidak ada yang dilakukan untuk memperbaiki penampilannya.”
Keputus Asaan Jaabis
Anak laki-laki Jaabis yang berusia sembilan tahun, Motasem, tidak memiliki identitas Yerusalem karena ayahnya berasal dari Tepi Barat.
Baca Juga: Hambali bin Husin, Kisah Keteguhan Iman dan Kesabaran dalam Taat
Anak tersebut diijinkan untuk melihat ibunya setelah 18 bulan ditahan, namun kunjungan tersebut sekarang dihentikan, karena dia tidak membawa ID yang diminta.
“Saya tidak memiliki keinginan untuk makan, dan saya memerlukan psikiater karena kondisi mental saya memburuk,” kata Jaabis dalam suratnya.
“Sering kali saya ingin menangis, dan saya merasakan gunung berapi besar menggelegak di dalam diri saya. Apa yang anak saya katakan saat dia melihat saya? Apakah dia takut pada saya?”
Mona mengatakan bahwa kakaknya sadar akan ketertarikannya terhadap kasusnya.
Baca Juga: Dari Cleaning Service Menjadi Sensei, Kisah Suroso yang Menginspirasi
“Ini mungkin sudah terlambat,” kata Mona. “Israa telah mencapai titik putus asa di mana kadang-kadang saya pikir lebih baik tidak melakukan apapun sama sekali.”
(AT/R05/P1)
(Sumber: Al-Jazeera)
Mi’raj News Agency (MINA)