Bethlehem,MINA – Israel berencana membongkar 100 perumahan penduduk Wadi Al-Hummos yang berada di bagian Tepi Barat.
Pembongkaran tersebut dapat mengakibatkan 6.000 warga Palestina mengungsi, yang berarti itu bisa menjadi migrasi terbesar sejak 1967.
Menurut laporan Kantor Berita Wafa, Selasa (9/7), Israel berdalih, bangunan mereka dianggap terlalu dekat dengan dinding pembatas. Israel memberikan batas waktu hingga 18 Juli untuk mengosongkan daerah tersebut.
Tepat tahun 2005 lalu, otoritas pendudukan Israel mulai membangun dinding apartheid yang memisahkan antara Yerusalem dan Bethlehem. Hal tersebut membuat penduduk Wadi al-Hummos, sebuah perkampungan Warga Palestina di sebelah tenggara kota Yerusalem yang diduduki semakin memburuk.
Baca Juga: Tentara Israel Cemas Jumlah Kematian Prajurit Brigade Golani Terus Meningkat
Perkampungan seluas 6.000 dunum tersebut berada di dua bagian, setengahnya termasuk wilayah Yerusalem (otoritas Israel) dan setengahnya lagi masuk area Tepi Barat (otoritas Palestina) yang perbatasannya dari Sur Baher ke Beit Sahour dan desa-desa terdekat lainnya di distrik Betlehem.
Kepala komite pelayanan Wadi Al-Hummos, Hamada Hamada mengatakan, bangunan mereka berada di daerah Otoritas Palestina (PA) sebagaimana dalam perjanjian Oslo yang mengklasifikasikan Tepi Barat masuk area A dibawah otoritas Palestina, B otoritas Palestina dan Israel, dan C otoritas penuh Israel.
Namun, pemerintah kota Israel di Yerusalem Barat menolak untuk mengakui bahwa tanah tersebut berada di bawah kendali PA dan tidak memberikan mereka bantuan. Setiap kali mereka meminta layanan, pemerintah kota akan menyuruhnya pergi dan mendapatkannya dari PA.
“Semua bangunan memiliki izin resmi oleh pemerintah setempat di Betlehem,” katanya, menunjuk pada kondisi kehidupan yang buruk karena tidak adanya infrastruktur dari jaringan pembuangan limbah, air dan bahkan jalan dan kekacauan proses konstruksi.
Baca Juga: Anakku Harap Roket Datang Membawanya ke Bulan, tapi Roket Justru Mencabiknya
Hamada mencatat, banyak orang diancam untuk mencabut kartu penduduk Israel mereka dan dengan demikian dicegah dari menerima layanan medis di rumah sakit Israel.
Hal tersebut menekankan, banyak warga negara menghadapi kesulitan serius dalam mendaftarkan anak-anak mereka di kartu penduduk dan bahwa ada sejumlah pemuda, anak lelaki dan anak-anak, termasuk mereka yang berusia di atas 22, yang masih belum memiliki dokumen sipil.
“Anak perempuan saya sekarang sedang berumur tiga tahun dan dia masih tanpa dokumen hukum. Dia hanya memiliki akta kelahiran tanpa nomor,” kata Hamada.
“Ada kebijakan yang jelas untuk mengosongkan daerah itu agar itu menjadi perpanjangan dari permukiman di sekitarnya. Saya pribadi membayar 600 dolar untuk asuransi kesehatan nasional, seperti yang diharuskan dalam hukum Israel, tetapi saya tidak menerima layanan apa pun sebagai imbalannya,” imbuh Hamada. (T/Sj/RI-1)
Baca Juga: Tim Medis MER-C Banyak Tangani Korban Genosida di RS Al-Shifa Gaza
Mi’raj News Agency (MINA)