Israel Potong Air, Warga Palestina Kekeringan di Atas Sumber Air

Oleh: Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

di yang dijajah , berada di atas kekayaan air bawah tanah. Namun, warga di kota itu dilarang mengakses kekayaan itu oleh otoritas penjajah. Kini mereka dalam krisis, karena perusahaan air nasional Israel, Mekorot, telah mengurangi pasokan air ke Tepi Barat utara.

Saleh Afaneh, Kepala Departemen Air dan Air Limbah di Salfit mengatakan, sejak awal bulan, warga Salfit hanya menerima antara 30 hingga 40 persen dari penyisihan air normal.

“Pada hari pertama Ramadan, air berhenti selama 24 jam, tanpa pemberitahuan,” kata Afaneh kepada Al-Jazeera. “Sejak itu, telah dikurangi dari setengah kapasitas. Kami telah melakukan segala yang kami bisa untuk mencoba dan membuat warga nyaman, tapi ini adalah krisis.”

Walikota Salfit, Shaher Eshtieh mengatakan, pemotongan seperti itu tidak pernah terjadi sebelumnya.

“Kita berada dalam modus krisis penuh, bekerja sepanjang waktu untuk membantu rakyat kami, kami terus mengulurkan tangan kepada pemerintah Palestina, bahkan Perdana Menteri, tapi mereka sudah tidak ada bantuan, dan Israel menyangkal jika ada masalah,” ujar Walikota Eshtieh.

Kekurangan dan pemotongan air juga telah dilaporkan terjadi di seluruh distrik Jenin dan Nablus, utara Tepi Barat, meskipun unit Koordinasi Kegiatan Pemerintah di Wilayah (COGAT), lembaga Israel yang bertanggung jawab atas Tepi Barat yang dijajah, membantah telah memotong atau mengurangi air sedikitpun.

Dalam sebuah pernyataan, COGAT mengatakan, kekurangan air di daerah Jenin dilaporkan karena pipa air yang rusak. COGAT juga menyatakan bahwa pipa telah meledak di Salfit, meskipun para pejabat air setempat mengatakan mereka tidak mengetahui tentang adanya ledakan pipa.

Sementara itu, Perusahaan air Mekorot mengatakan bahwa adanya kekurangan pasokan air sehingga dilakukan pengurangan yang besar pasokan air untuk semua penduduk di permukiman Israel dan wilayah Palestina di Tepi Barat yang dijajah.

Camilla Corradin, advokasi dari kelompok Koordinator Satuan Tugas untuk Darurat, Air, Sanitasi dan Kebersihan (EWASH) mengatakan bahwa Israel menggunakan “air sebagai senjata”.

“EWASH meyakini bahwa Israel telah berhasil mencapai surplus air, berkat teknologi air dan air limbah yang canggih, dan kontrol atas sumber ,” kata Corradin. “Ada sedikit alasan yang tersisa untuk tidak memberikan Palestina kembali hak airnya, sehingga kota-kota dan desa-desa Palestina tidak akan lagi dibiarkan tanpa hak yang paling dasar (air) pada bulan-bulan musim panas.”

Eshtieh mengatakan, ia tidak pernah mengalami krisis mengerikan seperti sekarang ini.

“Ini situasi darurat, bahkan sekarang bangunan kota kami tidak punya air,” tambahnya.

Beberapa warga mengatakan, mereka telah mengalami seminggu lebih tanpa air di rumah mereka sejak awal bulan ini.

“Selama tiga hari terakhir, rumah saya hanya memiliki sedikit air, hanya cukup untuk minum dan memasak (tidak bisa dipakai membersihkan apa pun). Tapi sebelum itu, kami tanpa air sama sekali selama lebih dari seminggu,” kata Marwan Marayta, warga Salfit. “Ini akan sulit hidup tanpa air dalam keadaan normal, tapi selama bulan Ramadhan kami semua berpuasa dan itu begitu panas, ini menyedihkan.”

Beberapa warga telah memilih untuk membeli air dari truk yang datang melalui kota, tapi harga air swasta telah meroket sejak awal krisis.

“Truk-truk akan mengisi tangki air, satu seharga antara 75 hingga 150 shekel ($ 19- $ 25), tapi banyak dari kita yang tidak mampu,” kata Marayta. “Saya mengisi salah satu tambang dengan truk pribadi sekali, tapi saya belum mampu membayarnya.”

Setiap rumah memiliki antara empat hingga delapan tangki di atap untuk memasok air. Dengan upah bulanan rata-rata sekitar $ 600 per bulan di Tepi Barat. Biaya penyediaan air di rumah dari swasta berada di luar jangkauan sebagian besar warga Palestina.

Eshtieh menuduh truk air swasta melakukan pemerasan dan dilarang masuk Salfit untuk saat ini.

Penduduk biasanya hanya mengeluarkan biaya sembilan shekel ($2) untuk mengisi tangki, sekarang harus membayar 100 shekel dari truk.

“Saya mengatakan kepada kepolisian untuk tidak mengizinkan truk air masuk ke kota. Mereka memberikan harga tidak adil. Ini tidak benar,” kata Walikota Eshtieh.

Jameel Shaheed, seorang peternak sapi dan pengusaha susu di Salfit mengatakan, ia harus menutup usahanya dalam beberapa minggu ke depan jika krisis air tidak diselesaikan.

“Jika tidak ada air, tidak ada susu dari sapi saya,” kata Shaheed. “Sebelumya, saya menggunakan truk saya untuk menyalurkan susu di sekitar kota, tapi sekarang saya menggunakannya untuk membawa pulang air dan sebagainya.”

Salfit mendapatkan sebagian besar air dari akuifer gunung, yang paling signifikan dari tiga akuifer yang memasok air untuk Palestina dan Israel. Sebagian besar akuifer gunung ada di Tepi Barat, tetapi di bawah Persetujuan Oslo. Hanya 17 persen dari air akuifer diberikan ke Palestina, sementara lebih dari 71 persen disalurkan ke warga Israel di Israel dan pemukiman ilegal.

Selama periode konsumsi normal, Palestina menerima rata-rata 73 liter per kapita per hari, jauh di bawah standar Organisasi Kesehatan Dunia yang minimum 100 liter, dan jauh lebih rendah daripada yang diterima oleh pemukim Yahudi di Israel sebanyak 240-300 liter per kapita per hari.

Walikota Eshtieh mengatakan, secara teoritis warga Palestina bisa membuat sumur sendiri untuk mengakses air tanah yang berlimpah, tapi otoritas penjajah Israel jarang memberikan izin. Di Area C Tepi Barat yang berada di bawah kendali penuh Israel, COGAT mendokumentasikan bahwa rata-rata, 99 persen dari semua permintaan untuk membuat sumur disetujui, tapi tidak membedakan antara permintaan warga Palestina dan pemukim Israel. Sekitar 70 persen dari Area C berada dalam batas-batas dari dewan pemukiman ilegal Israel.

Menurut Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), antara tahun 2011 – 2014, hanya 1,4 persen dari permintaan izin untuk mendirikan bangunan dari warga Palestina di Area C telah disetujui oleh COGAT, termasuk membuat sumur, rumah, gudang dan bangunan lainnya.

“Salfit adalah salah satu tanah yang paling kaya air di Tepi Barat, tapi kami tidak bisa mengaksesnya,” kata Eshtieh. “Air berjalan di bawah tanah kami sementara keran kami kering. Orang-orang marah. Mereka tidak bisa terus menerima keadaan ini.” (P001/P2)

Sumber: tulisan Sheren Khalel di Al Jazeera

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)