Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Israel Raya dan Mimpi Gelap Zionisme: Ancaman Global yang Mengintai Umat Manusia

Bahron Ansori Editor : Ali Farkhan Tsani - 18 detik yang lalu

18 detik yang lalu

0 Views

Israel Raya, mimpi zionis di siang bolong (foto: ig)

GAGASAN “Israel Raya” sering dijajakan sebagai janji kemakmuran dan keamanan abadi, namun di baliknya tersembunyi proyek perluasan tanpa ujung. Ia meminjam aura ayat-ayat kuno untuk membungkus ambisi modern yang sangat politis. Narasi itu menakut-nakuti, memukau, lalu menormalisasi pendudukan yang meluas. Inilah mimpi gelap yang dijual sebagai takdir, padahal lebih mirip proyek kekuasaan di abad ke-21.

Fakta di lapangan berbicara: ekspansi permukiman terus didorong di Tepi Barat, termasuk koridor sensitif E1 yang berpotensi memutus keterhubungan wilayah Palestina. Ketika E1 dilanjutkan, harapan negara Palestina yang berdaulat ditusuk di jantungnya. Para pengamat menyebutnya “penguburan” solusi dua-negara, sebuah pukulan bagi tata tertib internasional. Dunia mengecam karena hal itu melanggar hukum humaniter dan memperparah konflik.

Dalam hitungan kebijakan, angka-angka menunjukkan tren berbahaya. Laporan resmi Uni Eropa mencatat puluhan ribu unit permukiman didorong pada 2023–2024, menggerus kontinuitas wilayah dan prospek perdamaian. Ini bukan sekadar pembangunan perumahan; ini merombak demografi dan peta politik. Setiap unit baru adalah paku yang dipalu ke peti mati solusi adil.

Di Gaza, biaya manusia dari ambisi ini terhampar telanjang. Puluhan ribu korban jiwa, ratusan ribu luka, dan pengungsian massal memecah keluarga serta masa depan. Badan-badan PBB melaporkan skala kehancuran yang mencengangkan dan akses bantuan yang tersendat. Angka-angka itu bukan statistik dingin; itu nama, wajah, dan cerita yang dicabut paksa.

Baca Juga: Napas Perjuangan Umat dan Perlawanan Rakyat Palestina

Pengadilan tinggi dunia pun turun tangan. Mahkamah Internasional (ICJ) mengeluarkan serangkaian perintah tindakan sementara, menegaskan kewajiban mencegah pelanggaran serius Konvensi Genosida dan memastikan bantuan kemanusiaan. Ini adalah alarm moral dan hukum yang bergema hingga ke ruang kabinet. Mengabaikannya berarti menormalisasi penderitaan sebagai “biaya samping” politik.

Di ranah pidana internasional, Jaksa ICC mengajukan permohonan surat perintah penangkapan terhadap tokoh-tokoh kunci dari kedua pihak. Pesan hukumnya jelas: tidak ada kekebalan untuk kejahatan paling berat yang mengoyak nurani manusia. Ketika hukum berbicara, ia memanggil dunia untuk berpihak pada kemanusiaan. Inilah pagar terakhir agar impunitas tidak beranak-pinak.

Sementara itu, di Tepi Barat, eskalasi kekerasan dan pengusiran paksa merayap seperti kabut. Data pemantauan menunjukkan lonjakan pos-pos outpost dan praktik perampasan yang makin berani. Rumah dirobohkan, lahan disterilkan, dan akses gerak dibelenggu. Ini bukan keamanan; ini arsitektur ketakutan.

Mari kita bongkar “pepesan kosong” itu: Israel Raya dijanjikan sebagai jawaban atas rasa takut, namun justru memperluas lingkaran takut ke seluruh kawasan. Ia dijual sebagai stabilitas, padahal menanam benih ketidakstabilan lintas generasi. Ia disebut proyek peradaban, tetapi membiarkan hukum rimba mengalahkan hukum antarbangsa. Di pasar ide, ini promosi gemerlap untuk produk yang merusak.

Baca Juga: Penjajahan di Palestina: Potret Perjuangan Panjang yang Juga Pernah Dirasakan Indonesia

Secara strategis, proyek perluasan tak terbatas itu kontraproduktif. Biaya militer, tekanan diplomatik, dan resistensi regional menjadikannya beban geopolitik yang tak terbayar. Dunia terkoneksi: arus dagang, energi, dan teknologi alergi terhadap krisis kronis. Stabilitas sejati butuh keadilan, bukan garis batas yang terus digeser. (Inferensi berbasis tren kebijakan dan reaksi internasional).

Secara demografis, realitas menolak fiksi. Mengurung jutaan manusia tanpa hak setara hanyalah resep permanen untuk siklus kekerasan. Tidak ada pagar setinggi apa pun yang bisa menahan letupan keputusasaan yang ditanam tiap hari. Kemanusiaan tidak bisa dipadatkan menjadi statistik keamanan.

Secara hukum, jalur ekspansi itu terus menabrak dinding: okupasi, aneksasi de facto, dan hukuman kolektif dilarang oleh hukum internasional. Ketika perintah pengadilan dan resolusi diabaikan, kredibilitas tatanan global ikut tergerus. Maka keberanian moral negara-negara dan masyarakat sipil menjadi penentu. Diam adalah komplotan halus terhadap derita.

Lalu apa penanggulangannya? Pertama, tegakkan hukum: dukung implementasi perintah ICJ dan proses ICC tanpa standar ganda. Kedua, hentikan ekspansi permukiman dan buka koridor kemanusiaan yang aman, cepat, dan masif. Ketiga, tumbuhkan diplomasi berbasis hak, bukan sekadar “gencatan” yang menunda luka.

Baca Juga: Solidaritas Umat Islam Sejak Awal Kemerdekaan Indonesia

Keempat, dorong akuntabilitas ekonomi: larang produk dan investasi yang menopang permukiman ilegal, dan pastikan rantai pasok bebas kontribusi pada pelanggaran. Kelima, lindungi jurnalis, tenaga medis, dan lembaga kemanusiaan agar kebenaran dan nyawa tak padam. Keenam, kuatkan rekonsiliasi intra-Palestina dan kanal politik yang kredibel. Tanpa arsitektur politik yang utuh, setiap bantuan hanya menjadi perban sementara.

Di atas semua itu, bangun narasi tandingan yang manusiawi: martabat setara, keamanan bersama, dan perdamaian berbasis keadilan. Tugas kita adalah menutup pasar untuk “pepesan kosong” Zionisme ekspansionis—dan membuka ruang bagi solusi yang memuliakan semua nyawa. Dunia tidak kekurangan data; yang kurang adalah keberanian bertindak. Saatnya nurani global mengambil alih kemudi. []

Mi’raj News Agency (MINA)

 

Baca Juga: Ambisi “Israel Raya” Netanyahu, Bahaya Bagi Palestina, Ancaman Bagi Dunia

Rekomendasi untuk Anda