Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jalan Sudan Menuju ke Pemerintahan Sipil

Rudi Hendrik - Ahad, 18 Agustus 2019 - 07:51 WIB

Ahad, 18 Agustus 2019 - 07:51 WIB

1 Views

Dimulainya masa transisi bersejarah menuju pemerintahan sipil di Sudan pada Sabtu, 17 Agustus 2019, terjadi delapan bulan setelah dimulainya protes rakyat, di mana lebih dari 250 orang telah terbunuh.

 

Dimulai dari harga roti

Protes meletus pada 19 Desember 2018, menentang keputusan pemerintah untuk menaikkan harga roti tiga kali lipat.

Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof. Anbar: Pendidikan Jaga Semangat Anak-Anak Gaza Lawan Penindasan

Protes dengan cepat menyebar dalam bentuk demonstrasi pekanan, lalu berubah menjadi tuntutan kepada Presiden Omar Al-Bashir untuk mundur setelah tiga dasawarsa memerintah dengan tangan besi.

Di ibu kota Khartoum pada 20 Desember, para demonstran turun ke jalan meneriakkan “kebebasan, perdamaian, dan keadilan”.

Pada 6 April 2019, ribuan orang berkumpul di luar markas tentara di Khartoum, bertahan di sana selama enam hari untuk memohon dukungan militer.

Pada 11 April, otoritas militer mengumumkan mereka telah memindahkan Bashir dari kekuasaan dan Dewan Militer Transisi akan memerintah selama dua tahun.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya

Menentang jam malam selama sebulan, ribuan demonstran tetap berkemah di depan markas tentara ketika gerakan protes menuntut kekuasaan diserahkan kepada pemerintah sipil.

Pembicaraan antara para jenderal yang berkuasa dan para pemimpin protes berakhir tiba-tiba pada 20 Mei tanpa kesepakatan tentang pembentukan dewan sipil-militer bersama untuk memerintah selama masa transisi.

Ribuan pekerja sektor publik dan swasta mogok kerja pada 28 dan 29 Mei untuk menekan para pemimpin militer.

Pada akhir Mei, kepala dewan militer Abdel Fattah al-Burhan mengunjungi Arab Saudi, Mesir dan Uni Emirat Arab, negara-negara yang waspada dengan pemberontakan rakyat di wilayah tersebut.

Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa

 

Tindakan keras berdarah

Pada 3 Juni, orang-orang bersenjata berseragam militer bergerak di kamp protes di luar markas tentara dan membubarkan ribuan orang yang masih berkumpul di sana.

Ini adalah awal dari penumpasan yang berlangsung beberapa hari. Sebanyak 127 orang tewas, menurut dokter yang dekat dengan para demonstran.

Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat

Pasukan Dukungan Cepat (RSF), pasukan paramiliter yang ditakuti dari milisi Janjaweed yang terkenal dituduh telah melakukan kejahatan perang di Darfur, disalahkan atas kekerasan tersebut. Penguasa militer mengumumkan penyelidikan.

Militer membatalkan semua perjanjian sebelumnya dengan para pemimpin protes untuk transisi dan menyerukan pemilihan umum dalam waktu sembilan bulan.

Para pengunjuk rasa mengecam kebijakan itu.

Pada 9 Juni, para pemimpin protes melancarkan kampanye pembangkangan sipil nasional yang melumpuhkan negara selama dua hari, memukul ekonomi negara dengan keras.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat

Setelah kedua pihak memberi tanda bahwa mereka siap untuk berunding lagi, para mediator dari Ethiopia dan Uni Afrika pada akhir Juni mengajukan proposal baru untuk suatu transisi.

Pada 30 Juni, puluhan ribu pengunjuk rasa kembali berkumpul. Pasukan keamanan dikerahkan secara massal dan polisi menembakkan gas air mata ke arah kerumunan. Beberapa orang terbunuh.

Kesepakatan yang disetujui

Pada tanggal 5 Juli, setelah dua hari perundingan, kedua belah pihak sepakat secara prinsip tentang perjanjian yang mengatur pembagian kekuasaan sebelum transisi ke pemerintahan sipil.

Baca Juga: Tertib dan Terpimpin

Kerumunan massa turun ke jalan-jalan Khartoum untuk merayakan kesepakatan.

Pada tanggal 29 Juli, enam demonstran, termasuk empat siswa sekolah, ditembak mati selama demonstrasi memprotes kekurangan roti dan bahan bakar di pusat kota Al-Obeid. Negosiasi ditangguhkan, sebelum dilanjutkan pada 1 Agustus.

Pada tanggal 4 Agustus, para pemimpin militer dan protes menandatangani sebuah deklarasi, di mana badan penguasa sipil-militer bersama akan memerintah untuk masa transisi 39 bulan, mengawasi pembentukan pemerintahan sipil dan parlemen.

Pada 15 Agustus, ekonom veteran Abdalla Hamdok dinominasikan sebagai perdana menteri pemerintah transisi di masa depan.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat

Keesokan harinya, penyiar Qatar Al-Jazeera mengatakan telah diizinkan untuk membuka kembali kantor Khartoumnya, yang telah ditutup pada Mei lalu. (AT/RI-1/P1)

Sumber: AFP

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
Indonesia
Feature
Afrika
Afrika
Indonesia