Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Janji Gizi Murah, Kenyataan Pahit: Kasus Keracunan MBG Meningkat Drastis

Bahron Ansori Editor : Widi Kusnadi - 34 detik yang lalu

34 detik yang lalu

0 Views

Kepala Badan Gizi Nasional melaporkan ada 75 kejadian dengan total korban mencapai 6.457 orang; paling banyak terjadi di Pulau Jawa dengan 4.147 korban.(Foto: ig)

PROGRAM Makan Bergizi Gratis (MBG) awalnya digadang-gadang sebagai solusi mulia: memberi makanan sehat, bergizi, dan murah bagi anak-anak sekolah di seluruh pelosok negeri. Ia lahir dengan janji menenangkan perut anak didik, meringankan beban keluarga, sekaligus meningkatkan kualitas belajar.

Namun, dalam kenyataannya, sebagian janji itu justru berubah menjadi ironi. Dalam beberapa bulan terakhir, ratusan hingga ribuan anak di berbagai daerah harus merintih kesakitan akibat keracunan usai menyantap makanan dari program ini. Niat baik yang seharusnya menjadi penopang masa depan malah berubah menjadi ancaman yang menyayat hati, bukan karena kesengajaan, melainkan karena kelalaian.

Di meja-meja makan sekolah, piring-piring yang seharusnya berisi amanah dan nutrisi kini meninggalkan jejak mual, kepala berdenyut, dan tangisan. Orang tua yang percaya telah menitipkan anaknya pada program negara kini menatap kosong, bertanya-tanya bagaimana sekotak nasi dan sepotong lauk bisa merobek rasa aman yang sejatinya tak ternilai.

Data tidak bisa dibungkam: dari Januari hingga akhir September 2025 tercatat puluhan kejadian yang melibatkan ribuan korban. Kepala Badan Gizi Nasional melaporkan ada 75 kejadian dengan total korban mencapai 6.457 orang; paling banyak terjadi di Pulau Jawa dengan 4.147 korban. Ini bukan angka politik — ini adalah jumlah tubuh yang merasakan pahitnya kenyataan.

Baca Juga: Proposal Trump untuk Gaza, Harapan Baru bagi Palestina atau Strategi Geopolitik Semata?

Kasus di Lampung Utara menorehkan luka baru: 52 pelajar SMAN 4 Kotabumi dilarikan setelah mengeluh pusing, mual, dan muntah usai menyantap menu MBG yang salah satunya adalah ayam crispy. Sekolah yang seharusnya menjadi benteng ilmu mendadak berubah menjadi tempat kecemasan massal.

Tidak jauh dari sana, di Ngawi, puluhan siswa SMKN 1 Sine juga mengalami gejala serupa — 45 siswa dilarikan ke puskesmas setelah mengonsumsi MBG pada hari yang sama. Pola yang sama berulang: makanan yang dibagikan sebagai solusi gizi berubah menjadi sumber krisis kesehatan.

Bahkan kasus di Sampang, Jawa Timur, mengingatkan kita bahwa masalah ini tak pandang usia: dua siswa SDN Karanganyar 1 dilaporkan mengalami diare dan mual usai mengonsumsi nasi MBG, memaksa pihak berwenang membuka evaluasi dan perbaikan pada penyelenggaraan program. Ketidaksiapan di dapur-dapur lokal berbuah pada tubuh-tubuh mungil yang rapuh.

Di antara angka dan laporan resmi, ada cerita-cerita kecil yang tak pernah masuk statistik: seorang ibu yang menunggu anak pulang dengan tas plastik berisi janji, sang anak tiba dengan wajah pucat dan kantung mata basah; seorang guru yang menahan napas ketika rombongan ambulan muncul di halaman sekolah. Mereka adalah wajah-wajah yang membuat angka menjadi manusia.

Baca Juga: Kita Lemah Sahabat: Untuk Apa Kita Bangga?

Penyelidikan kini berjalan — sampel makanan diuji di laboratorium, pihak kepolisian memeriksa unsur kelalaian, dan Badan Gizi Nasional memaparkan sebaran kasus di DPR. Namun proses forensik tak cepat menyembuhkan perut yang mual atau menambal kepercayaan yang terkoyak. Hasil uji laboratorium dan audit distribusi akan memberi nama pada kesalahan; tapi nama itu tidak serta-merta mengembalikan ketenangan.

Mengapa ini bisa terjadi? Laporan sementara menunjukkan masalah berlapis: manajemen rantai pasok yang lemah, prosedur sanitasi yang tidak konsisten di dapur-dapur SPPG, dan pengawasan yang belum merata saat program dibesarkan dalam tempo singkat. Ketika kontrol kualitas dipersingkat demi kuantitas, celah bagi bahaya terbuka lebar.

Ruang-ruang yang mengurus logistik MBG sering berada jauh dari sorotan publik — terletak di dapur-dapur desa, di meja-meja kantin sekolah, di gudang-gudang kecil yang tak pernah didesain untuk produksi massal makanan bergizi. Mereka bekerja dengan niat membantu, tetapi niat tanpa standar mutlak tak cukup untuk menjamin keselamatan.

Akibatnya, korban tak hanya menderita gejala fisik sementara. Trauma berkepanjangan menyusup; anak yang awalnya bersemangat makan di sekolah kini menolak piring yang sebelumnya tak pernah ditolak. Kepercayaan terhadap pendidikan dan program publik terkikis, dan butuh kerja besar untuk menanamkannya kembali.

Baca Juga: Bagaimana Hamas Putuskan Posisinya terhadap Rencana Trump?

Di balik metrik dan rapat-rapat parlemen, ada kerugian sosial-ekonomi yang nyata: orang tua mengambil cuti mendadak, biaya perawatan medis menumpuk, dan reputasi lembaga lokal runtuh. Sekolah menjadi medan kompromi antara kewajiban memberi makan dan kewajiban melindungi.

Kepada pembuat kebijakan, pesan ini bukan sekadar kritik — ini seruan tanggung jawab. Jika program gizi hendak berlanjut, ia harus dibarengi dengan protokol higiene yang ketat, audit berkala, pelatihan bagi juru masak lokal, dan jalur pelaporan yang cepat ketika ada dugaan masalah. Tanpa ini, janji gizi murah akan terus berujung pada kenyataan pahit.

Komunitas harus dilibatkan: orang tua layak tahu siapa yang memasak makanan anak mereka, bagaimana bahan disimpan, dan standar apa yang dipakai. Transparansi bukan cuma jargon pemerintahan; ia adalah obat paling efektif melawan ketidakpercayaan.

Media dan lembaga pengawas punya peran juga — bukan untuk membangun panik, tetapi untuk menyalakan sorot pada praktik yang berisiko dan mendorong perbaikan. Kasus-kasus ini adalah panggilan bangun kolektif: mencegah lebih murah dan mulia daripada mengobati jutaan luka.

Baca Juga: Relevansi Surat Al-Ahzab 35 di Akhir Zaman

Sementara itu, anak-anak yang dirawat harus diprioritaskan: pemulihan fisik dan psikologis harus berjalan seiring. Sekolah dan puskesmas perlu menyiapkan layanan konseling sederhana agar trauma tak berbekas lama. Tubuh yang sembuh perlu jiwa yang dipulihkan agar kembali percaya pada makanan, guru, dan lingkungan belajar.

Kita tidak bisa kembali ke masa sebelum program ini, namun kita bisa mengubah arah. Janji pemerintah untuk meningkatkan gizi anak adalah niat yang mulia — namun niat itu perlu dibingkai ulang menjadi kebijakan yang aman, terukur, dan manusiawi. Tanpa itu, janji hanya menjadi kata-kata di atas kertas yang mungkin menelan lebih banyak daripada yang diselamatkannya.

Akhir kata: setiap piring yang dibagikan harus diawasi seperti amanah; setiap anak yang makan harus dipandang sebagai janji yang harus dipenuhi dengan kehati-hatian. Karena di ujung setiap statistik, ada napas kecil yang menunggu perlindungan.[]

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Zionis Israel, Wajah Busuk Peradaban Modern

Rekomendasi untuk Anda