MENDIDIK atau menjadi seorang guru adalah sebuah pekerjaan yang sangat mulia. Mendidik dengan ikhlas akan menjadi jembatan menuju surga. Selain mencerdaskan generasi, mendidik juga sebuah usaha yang banyak diminati.
Bagaimana tidak? Melihat jumlah kelahiran di Indonesia yang semakin meningkat membuat banyak orang merasa terpanggil untuk menjadi seorang pendidik agar generasi bangsa ini berguna bagi negara, Islam dan kaum muslimin.
Begitupula Drs. Tukul Sunarto, MM semasa hidupnya. Pria kelahiran Jogjakarta 26 Februari 1953 itu sangat ulet dalam menjalankan amanat sebagai seorang pendidik meski telah melalui rintangan yang tak sedikit. Baginya, mengajar adalah panggilan jiwa, bukan sekedar cita-cita. “Cita-cita saya dari dulu memang ingin menjadi guru,” ujarnya.
Perjalanan Pendidikan
Baca Juga: Ustaz Anshorullah, Dai Pembuka Jalan Dakwah di Kalimantan
Tukul Sunarto sudah tiada, jejaknya pada dunia pendidikan tidak diragukan dan kisah ini secuil dari perjalanan Tukul Sunarto yang tak banyak orang tahu bagaimana sejarah panjangnya sampai menjadi seorang guru.
Terlahir dan besar di sebuah kampung indah yang sering dikunjungi banyak orang; Jogjakarta. Di daerah istimewa di Jawa Tengah itulah ia mengenyam pendidikan sejak Sekolah Dasar (SD) sampai SMEA (Sekolah Menengah Ekonomi Atas).
Menurutnya, ia terlahir dari keluarga sederhana, tapi bersahaja dan kedua orang tuanya sangat mengutamakan pendidikan. Karena itu, betapa pun sulit dalam biaya pendidikan, tapi orang tuanya tetap gigih agar Sunarto bisa menyelesaikan sekolah.
Tepat tahun 1971, ia merantau ke Jakarta dan kuliah di sebuah Universitas Jaya Baya setingkat Diploma kala itu. Ia kuliah sambil kerja. Demi membiayai hidup dan kuliahnya, sebisa mungkin ia membagi waktu untuk bekerja di pasar. Bahkan demi mendapatkan biaya, ia sempat menjadi tukang kredit.
Baca Juga: Buya Saleh Hafiz, Tinggalkan Bisnis Fokus Berdakwah
Pria yang hobi tenis meja itu mengaku, saat dibangku kuliah ia suka berorganisasi. Aktif mengikuti berbagai kegiatan kampus seperti Drum Band dan beberapa kegiatan lainnya. Maka tak heran, saat ia lulus, sudah bisa langsung diterima mengajar di SMA PGRI Jakarta. Bukan main bahagianya Sunarto saat bisa diterima mengajar di sekolah itu.
“Saya sangat bersyukur kepada Allah, karena telah memberikan amanah kepada saya sebagai seorang guru. Itulah impian saya sejak dulu,” akunya penuh haru.
Pria ramah itu mempunyai visi hidup “menuntut ilmu adalah kewajiban”. Tak heran ia selalu semangat untuk menuntut ilmu. Semangat itu sudah menghasilkan “buah”. Kini, ia sudah menyelesaikan pendidikan pasca sarjana (S2). “Dengan berbagai ujian, alhamdulillah saya pun selesai S2,” ucapnya penuh syukur.
Baginya, ilmu adalah pengamalan bukan pengalaman. Jadi, sebisa mungkin ia amalkan semua ilmuanya kepada setiap pesarta didiknya. Bahkan ketika ia pensiun pun ia tetap berusaha mengajar untuk mengamalkan ilmunya.
Baca Juga: Keteladanan Sejati Fatimah Az-Zahra bagi Muslimah Sepanjang Zaman
Sunarto adalah satu dari beberapa pendiri Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al Fatah di Cileungsi Bogor Jawa Barat. Selain menjadi dosen di “Kampus Jihad” kala itu, ia juga pernah diberi amanah sebagai wakil ketua di STAI Al Fatah.
Menurutnya, mendirikan sekolah tinggi agama Islam tidak mudah. Perlu energi besar dan kesungguhan untuk terus mengenalkannya kepada masyarakat luas. Pengalamanya, ia sampai harus turun gunung untuk mencari calon mahasiswa. Hal itu terjadi saat awal-awal pendirian STAI Al Fatah.
“Alhamdulillah, kala itu saya pernah ikut juga mencari mahasiswa baru bersama-sama dengan ustaz Yakhsyallah Mansur dan ustaz Agus Sudarmaji,” terangnya dengan senyum di bibir.
Baca Juga: Pesona Fisik Nabi Muhammad SAW: Dalam Kilau Hadits Syamail Muhammadiyah
Mengajar memang sudah mendarah daging bagi pria yang kini menetap di Priok Jakarta Utara itu. Meski sudah purna tugas, ia tak mau berhenti berkontribusi dalam mencetak generasi-generasi Islam berkualitas. Hal itu dibuktikannya dengan mendirikan lembaga tahfidzul Qur’an pada tahun 2014 lalu. Peserta yang belajar di pesantren tahfidznya itu mulai usia empat tahun hingga selevel SMP.
“Saya tak mau ketinggalan untuk mencetak para generasi Islam penghafal Al-Qur’an. Pesantren tahfidz ini gratis, dan saya merasakan kebahagiaan tak terhingga jika kelak bisa mencetak para hafidz sebelum mereka berusia dewasa,” ujarnya penuh syukur.
Di mata para mahasiswa dan muridnya, Sunarto termasuk seorang guru yang lembut dalam mengajar. Selain itu, ia adalah tipe guru yang sabar dan penyayang, maka tak heran ia begitu dihormati mahasiswanya. Itulah bukti, ketika seseorang mengajar dari hati, maka semua anak didiknya pun akan menangkapnya hingga ke hati pula.
Bagi Sunarto, negeri ini bukan hanya membutuhkan para ilmuan yang ahli di bidangnya. Namun, kelak akan lahir para pemimpin yang juga hafidz Qur’an.
Baca Juga: Bintu Al-Syathi’ Mufassirah Hebat dari Mesir
“Bangsa ini perlu dipimpin oleh orang yang bukan hanya pakar di bidangnya, tapi juga ahli Al-Qur’an,” pungkasnya.
Kini guru itu sudah tiada, semoga semua pengorbanannya dalam dunia pendidikan dicatat oleh Allah Ta’ala sebagai pahal jariyah, Amiin. [bahron ansori]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Mahathir Mohamad Genap Berusia 100 Tahun