Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

JENIUSNYA DAYA HAPAL SANG BENDAHARA HADITS

Admin - Jumat, 7 Februari 2014 - 15:21 WIB

Jumat, 7 Februari 2014 - 15:21 WIB

1170 Views ㅤ

 

 

 

(Abu Hurairah, bagian 1)

Baca Juga: Transformasi Mardi Tato, Perjalanan dari Dunia Kelam Menuju Ridha Ilahi

Seorang sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang dikenal dengan nama Abu Hurairah, mempunyai bakat yang luar biasa dalam hal kemampuan dan kekuatan ingatan.

Dia mempunyai kelebihan dalam seni menangkap apa yang didengarnya, dan daya ingatnya mempunyai keistimewaan dalam menghafal dan menyimpan. Hampir tak pernah ia lupa satu kata atau satu huruf-pun dari semua yang pernah didengarnya.

Dia telah mewakafkan hampir seluruh hidupnya untuk lebih banyak mendampingi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, sehingga dia termasuk salah seorang sahabat yang paling banyak menerima dan menghafal hadits, serta meriwayakannya.

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu adalah sahabat yang menemui masa, di mana pemalsu-pemalsu hadits yang dengan sengaja membuat hadits-hadits bohong dan palsu, seolah-olah berasal dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Baca Juga: Dato’ Rusly Abdullah, Perjalanan Seorang Chef Menjadi Inspirator Jutawan

Para pemalsu hadits memperalat namanya dengan cara meriwayatkan hadits menggunakan kata-kata: “Berkata Abu Hurairah”

Akibat perbuatan ini, hampir-hampir menyebabkan kemasyhuran dan kedudukan Abu Hurairah selaku penyampai hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, menjadi diragukan dan tanda tanya.

 

Orang upahan yang jadi majikan

Baca Juga: Hambali bin Husin, Kisah Keteguhan Iman dan Kesabaran dalam Taat

Abu Hurairah adalah salah seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang menerima cahaya revolusi Islam.

Perubahan yang mengagumkan terjadi pada dirinya, dari orang upahan menjadi majikan. Dari orang terlunta-lunta di tengah-tengah lautan manusia, menjadin imam dan panutan, dari seorang yang sujud di depan batu-batu berhala menjadi orang yang beriman kepada Allah Subhana Wa Ta’ala.

Suatu saat ia pernah bercerita kepada sahabat-sahabatnya:

Saya dibesarkan dalam keadaan yatim dan ikut hijrah dalam keadaan miskin. Saya menerima upah sebagai pembantu pada keluarga Busrah binti Ghazwan demi sekedar mengisi perutku. Saya melayani keluarga itu setiap saat, baik kala mereka sedang di rumah atau menuntun binatang tunggangannya jika mereka sedang bepergian. Sekarang inilah saya, Allah telah berkenan menikahkan saya dengan putri Busrah, segala puji bagi Allah yang telah menjadikan agama ini tiang penegak, dan menjadikan Abu Hurairah seperti sekarang ini.”

Baca Juga: Dari Cleaning Service Menjadi Sensei, Kisah Suroso yang Menginspirasi

Dia datang dan menemui Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pada tahun ketujuh hijriyah.  Sewaktu beliau berada di Khaibar, dia memeluk Islam karena dorongan kecintaan dan kerinduan, dan sejak itulah hampir-hampir  dia tidak berpisah lagi dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, kecuali pada saat-saat waktu tidur. Hal ini dia lakukan sejak masuk Islam sampai Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam wafat.

 

Allah memberi peluang

Dengan fitrahnya yang kuat, Abu Hurairah mendapatkan kesempatan besar yang memungkinkannya memainkan peran penting dalam berbakti kepada agama Allah.

Baca Juga: Profil Hassan Nasrallah, Pemimpin Hezbollah yang Gugur Dibunuh Israel

Pahlawan perang di kalangan sahabat sangat banyak, ahli fiqih, juru dakwah dan para guru juga tidak sedikit. Tetapi masyarakat dan lingkungan saat itu belum banyak yang melek huruf, bisa baca tulis.

Pada masa itu manusia belum merasa pentingnya baca tulis sebagai bukti kemajuan suatu masyarakat. Pada saat seperti itulah, Abu Hurairah dengan fitrahnya yang kuat dapat menyelami kebutuhan masyarakat baru yang diinginkan oleh Islam, kebutuhan akan orang-orang yang dapat melihat dan memelihara peninggalan dan ajaran-ajarannya.

Saat itu memang sudah ada para sahabat yang sudah mampu menulis, tetapi jumlah mereka sangat sedikit sekali, apalagi sebagian dari mereka tidak mempunyai kesempatan untuk mencatat hadits-hadits yang diucapkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Sebenarnya, Abu Hurairah bukanlah seorang penulis, dia hanya seorang ahli hafal yang mahir. Namun dia mempunyai kesempatan atau mampu mengadakan kesempatan yang diperlukan untuk itu, karena dia tidak punya tanah yang akan digarap atau perniagaan yang akan diurus.

Baca Juga: Jenderal Ahmad Yani, Ikon Perlawanan Terhadap Komunisme

 

Mengejar ketertinggalan

Dia menyadari sepenuhnya bahwa dirinya termasuk orang yang masuk Islam belakangan, karena itulah ia bertekad untuk mengejar ketertinggalannya dengan cara selalu mendampingi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam secara terus menerus dan selalu hadir dalam majlisnya.

Dia juga sadar dengan bakat pemberian Allah pada dirinya, berupa daya ingat yang luas dan kuat, serta makin bertambah kuat, tajam dan luas seiring do’a Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, agar dia diberi berkah oleh Allah.

Baca Juga: Hidup Tenang Ala Darusman, Berserah Diri dan Yakin pada Takdir Allah

Dengan kekuatan dan kemampuan serta bakat itulah, dia menyiapkan dirinya untuk memikul tanggung jawab dan memelihara peninggalan yang sangat penting itu dan mewariskannya kepada generasi berikutnya.

Sewaktu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah berpulang ke rahmatullah, Abu Hurairah terus saja menyampaikan hadits-hadits Nabi, menyebabkan sebagian sahabatnya merasa heran dengan bertanya-tanya didalam hati, “Dari mana saja datangnya hadis-hadis ini, kapan di dengarnya dan diendapkannya dalam ingatannya?”

Untuk menghilangkan keragu-raguan dan kecurigaan sahabat-sahabatnya itu, Abu Hurairah memberi penjelasan:

“Tuan-tuan telah mengatakan bahwa Abu Hurairah banyak sekali mengeluarkan hadis dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan Tuan-tuan katakan pula bahwa orang-orang Muhajirin yang lebih dulu masuk Islam dari pada Abu Hurairah, tidak pernah menceritakan hadis-hadis itu? Ketahuilah, bahwa sahabat-sahabatku, orang-orang Muhajirin itu sibuk dengan perdagangan mereka di pasar-pasar, sedang sahabat-sahabatku orang Anshor sibuk dengan tanah pertanian mereka. Sedang aku adalah orang miskin, yang paling banyak mempunyai kesempatan dan menyertai majlis Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, aku hadir di saat yang lain tidak hadir, dan aku selalu ingat seandainya mereka lupa karena kesibukannya. Pada suatu hari Nabi pernah bersabda kepada kami: ‘Siapa yang membentangkan sorbannya hingga selesai pembicaraanku, kemudian dia meraihnya ke dirinya, maka dia tidak akan pernah lupa akan suatu pun dari apa yang telah didengarnya daripadaku’. Oleh sebab itulah, kuhamparkan serbanku, lalu beliau berbicara kepadaku, kemudian kuraih kain itu ke diriku, dan demi Allah, tak ada satu pun yang terlupa dari apa yang telah kudengar. Demi Allah kalau tidak karena adanya ayat di dalam kitabullah, niscaya tidak akan kukabarkan kepada kalian sedikitpun.”

Baca Juga: Hiruk Pikuk Istana di Mata Butje, Kisah dari 1 Oktober 1965

 

إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَىٰ مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ ۙ أُولَٰئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللَّاعِنُونَ

 

“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa-apa yang telah kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, sesudah kami nyatakan kepada manusia di dalam kitab, mereka itulah yang dikutuk oleh Allah dan dikutuk oleh para pengutuk (para malaikat).” (Q.S. Al-Baqarah [2] ayat 159).

Baca Juga: Inspirasi Sukses, Kisah Dul dari Rimbo Bujang Merintis Bisnis Cincau

(P09/IR).

Mi’raj Islamic News Agency (MINA).

 

 

Baca Juga: Radin Inten II Sang Elang dari Lampung, Pejuang Tak Kenal Takut

 

Rekomendasi untuk Anda