Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior MINA (Mi’raj News Agency)*
Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian shaum sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa”. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 183).
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Kata يَاأَيُّهَا merupakan kata panggilan. Dalam bahasa Arab disebut harfun nida’ حرف النداء (kata panggilan). Ia sama dengan kata “Yaa”. Atau dalam bahasa Indonesia, “Hai” atau “Wahai”.
Dalam Al-Qur’an, ditemukan penggunaan kata “Yaa ayyuha”, seperti pada kata “Yaa ayyuhalladzina amanu,” “Yaa ayyuhan naas,” “Ya ayyuhan nabiy”, “Ya ayyuhal mudats-tsir”, “Ya ayyuhal muzzammil”, dan lainnya. Artinya sama, berupa panggilan kepada pihak-pihak tertentu. Biasanya, jika seseorang dipanggil, dia akan bersungguh-sungguh menyambut panggilan itu.
Di dalam Al-Qur’an sering digunakan perkataan, “يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا”. Di sini orang-orang beriman selalu disebut secara jama’ (kolektif). Al-Qur’an tidak mengatakan, “Yaa aiyuhal mukmin” (wahai seorang Mukmin). Atau tidak pernah dikatakan, “Yaa ayyuhal ladzi amana” (wahai satu orang yang mengimani). Akan tetapi, selalu dikatakan, “Ya aiyuhal ladzina amanuu” (wahai orang-orang yang beriman).
Hal ini mengandung hikmah, bahwa agama Islam adalah agama kolektif, agama kebersamaan, bil-jama’ah, bukan agama individu, bukan agama egoisme, bukan agama ta’ashub golongan.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Hal ini menunjukkan bahwa ummat Islam adalah Ummatan Wahidatan (Ummat yang satu), bukan ummat yang terpecah-belah atau tersegmentasi menjadi berbagai golongan.
Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu mengatakan, apabila suatu ayat dimulai dengan panggilan : يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُواyang artinya “Hai orang-orang yang beriman”, menunjukkan bahwa ayat tersebut mengandung perihal atau perintah yang sangat urgent (penting) atau suatu larangan yang cukup berat.
Di Dalam Al-Quran terdapat sekitar 80 ayat yang dimulai dengan seruan يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا seperti ini.
Perintah-perintah pada ayat-ayat yang dimulai dengan kalimat ”Wahai orang-orang yang beriman”, merupakan suatu yang penting, berat dan mulia, dan itu semua tidak dapat ditunaikan kecuali oleh orang-orang beriman. Maka, ayat seruannya adalah dengan panggilan : يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا(Hai orang-orang yang beriman).
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Di sinilah, maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala memang telah memperhitungkan bahwa yang bersedia memikul perintah-Nya untuk menjalankan puasa Ramadhan hanyalah orang-orang yang beriman. Karena ibadah puasa ini adalah suatu perintah yang cukup berat menurut fisik nafsu manusiawi, disebabkan membutuhkan pengorbanan kesenangan diri dan kebiasaan setiap hari.
Karena itu, orang yang merasa di dalam dirinya ada iman, orang yang mengaku beriman kepada Allah sebagau Tuhannya, tentu dia akan bersedia mengubah kebiasaannya, menahan lapar dan dahaga, serta mengendalikan nafsunya demi memenuhi panggilan ilahi ini, yakni melaksanakan puasa secara penuh selama bulan Ramadhan.
Karena itu, orang yang merasa di dalam dirinya ada iman, tentu akan bersedia mengubah kebiasaannya, menahan nafsunya, bersedia bangun malam untuk makan sahur. Lalu bersedia menahan diri dari makan, minum, berhubungan suami isteri, sejak terbit fajar hingga maghrib, selama bulan Ramadhan.
Kewajiban Berpuasa Ramadhan
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Perihal penting panggilan orang-orang beriman tersebut adalah perintah berpuasa : كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ “diwajibkan atas kalian berpuasa”. Dalam hal ini, Allah mewajibkan puasa Ramadhan kepada orang-orang beriman.
Arti asal dari kata ‘kutiba’ sebenarnya : Telah dituliskan! Dari kata ka-ta-ba yang berarti menulis. Kutiba adalah bentuk pasif dari kata ka-ta-ba, sehingga maknanya ‘dituliskan’.
Para ahli tafsir telah sepakat, bahwa kata ‘kutiba’ artinya adalah diwajibkan atau difardhukan. Sebagai ibadah wajib, sebagaimana rumus umumnya, jika dikerjakan mendapat pahala besar, jika ditinggalkan berdosa.
Puasa Ramadhan adalah fardhu ‘ain bagi setiap individu muslim yang mampu mengerjakannya. Puasa Ramadhan sekaligus menjadi Rukun Islam, pilar atau tiang bangunan Islam dalam diri kita, selain : Syahadat, Shalat, Zakat dan Haji.
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Pengertian puasa itu sendiri dalam bahasa Arab disebut ”shaum” secara bahasa berasal dari kata :
صَامَ – يَصُوْمُ – صَوْمًا – وَصِيَامًا
Artinya : menahan diri dari sesuatu.
Di dalam Al-Quran Surat Maryam disebutkan :
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-5] Tentang Perkara Bid’ah
فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا
Artinya : “Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah: “Sesungguhnya aku telah bernadzar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini”. (Q.S. Maryam [19]: 26).
Sedangkan secara istilah puasa (shaum) artinya menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan suami isteri, dari waktu fajar sampai waktu maghrib dengan niat ikhlas karena Allah.
Berikutnya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala melanjutkan :
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-4 ] Proses Penciptaan Manusia dan Takdir dalam Lauhul Mahfuzh
كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ
“sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu”,
Hal ini mengandung makna bahwa sesungguhnya Allah telah mewajibkan kewajiban puasa atas umat-umat sebelum mereka. Dengan demikian berarti mereka mempunyai teladan dalam berpuasa. Ini memberikan semangat agar orang beriman menunaikannya secara lebih sempurna dari apa yang pernah ditunaikan orang-orang sebelum mereka.
Ibadah puasa pada permulaan zaman Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabat dilakukan sebagaimana yang biasa dilakukan oleh umat-umat terdahulu, yaitu berpuasa tiga hari dalam setiap bulannya.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-3] Rukun Islam
Di dalam Tafsir Al-Maraghi disebutkan, ibadah puasa telah diwajibkan kepada orang-orang beriman sejak Nabi Adam ‘Alaihis Salam. Di dalam Surat Maryam disebutkan, bahwasanya Nabi Zakaria ‘Alaihis Salam dan Maryam ibu Nabi Isa ‘Alaihis Salam pun mengerjakan puasa.
Memang, ibadah puasa merupakan ibadah yang berat. Sesuatu yang berat jika diwajibkan kepada kebanyakan orang, maka bagi yang bersangkutan akan menjadi ringan melaksanakannya.
Inipun mengandung hikmah bahwa sebagai individu muslim kita tidak bisa hidup sendiri-sendiri. Perlu saudara lainnya, perlu silaturrahim, perlu kerjasama dan perlu berjama’ah (bersatu) karena Allah.
Meraih Gelar Takwa
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-2] Rukun Islam, Iman, dan Ihsan
Adapun tujuan disyari’atkannya puasa Ramadhan adalah : لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “agar kalian bertaqwa”.
Ujung ayat ini (Surat Al-Baqarah ayat 183) merupakan tujuan puasa Ramadhan, yakni mempersiapkan diri untuk menjadi orang yang bertakwa kepada Allah. Caranya adalah dengan meninggalkan keinginan yang mudah didapat dan halal, demi menjalankan perintah-Nya. Dengan demikian mental kita terlatih di dalam menghadapi godaan nafsu syahwat yang diharamkan, dan kita dapat menahan diri untuk tidak melakukannya.
Tidak sedikit manusia tergelincir ke jurang neraka akibat tidak dapat mengendalikan hawa nafsu dirinya, terutama yang dilakukan oleh mulut dan kemaluannya.
Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits :
Baca Juga: Kaya Bukan Tanda Mulia, Miskin Bukan Tanda Hina
سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ الْفَمُ وَالْفَرْجُ
Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ditanya tentang penyebab yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam surga. Maka beliau menjawab, “Bertaqwa kepada Allah dan berakhlak yang baik”. Dan beliau ditanya tentang penyebab yang paling banyak menjerumuskan manusia ke dalam neraka. Beliau menjawab, ”Mulut dan Kemaluan.” (HR At-Tirmidzi dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu).
Dengan berpuasa Ramadhan sebulan penuh akan terlatih jiwa pengendalian diri. Bagaimana tidak, kalau di segala waktu dilarang memakan makanan yang haram, maka di bulan Ramadhan, makanan yang halalpun dilarang. Bercampur dengan isterinya yang semula halal pun menjadi terlarang.
Itu semua dilakukan karena kadar imannya yang membimbingnya menjadi manusia terkendali. Walaupun mungkin berada di tempat terpencil, seorang diri, tapi imannya menahannya agar jangan sampai melanggar aturan-Nya.
Dengan demikian orang-orang beriman mendidik kemauannya serta mampu mengendalikan hawa nafsunya, karena Allah. Nafsu yang dikendalikan yakni nafsu perut dan nafsu seksual. Kalau keduanya ini tidak terkendali, maka manusia akan terjerumus ke dalam lembah nista, terjerembab ke dalam makanan haram, berbuat maksiat, dan menumpuk dosa.
Maka, balasannya bagi orang-orang yang berpuasa dengan benar dan ikhlas, juga sangat mulia. Orang yang puasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan keikhlasan akan mendapat ampunan Allah, dijauhkan dari neraka, mendapatkan syafa’at, dan dimasukkan ke syurga.
Beberapa sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyebutkan :
وَمَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Artinya : “Barangsiapa berpuasa karena imannya (kepada Allah) dan hanya mengharapkan (ridha-Nya), niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”(H.R. Bukhari dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu).
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَعَرَفَ حُدُوْدَهُ وَتَحَفَّظَ مِمَّا كَانَ يَنْبَغِيْ اَنْ يُتَحَفَّظَ مِنْهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Artinya : ”Barangsiapa berpuasa Ramadhan dan menjaga segala batas-batasnya, serta memelihara diri dari segala yang baik dipelihara diri darinya, niscaya puasanya itu menutupi dosa-dosanya yang telah lalu”. (H.R. Ahmad dan Al-Baihaqi dari Abu Sa’id Radhiyallahu ‘Anhu).
مَا مِنْ عَبْدٍ يَصُومُ يَوْمًا فِي سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ بَاعَدَ اللَّهُ بِذَلِكَ الْيَوْمِ وَجْهَهُ عَنْ النَّارِ سَبْعِينَ خَرِيفًا
Artinya : “Siapa dari seorang hamba berpuasa satu hari di jalan Allah, kecuali Allah jauhkan dirinya dengan neraka sejauh tujuh puluh tahun”. (H.R. Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘Anhu).
الصِّيَامُ وَالْقُرْآنُ يَشْفَعَانِ لِلْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَقُولُ الصِّيَامُ أَيْ رَبِّ مَنَعْتُهُ الطَّعَامَ وَالشَّهَوَاتِ بِالنَّهَارِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ وَيَقُولُ الْقُرْآنُ مَنَعْتُهُ النَّوْمَ بِاللَّيْلِ فَشَفِّعْنِي فِيهِ قَالَ فَيُشَفَّعَانِ
Artinya : “Puasa dan Qur’an itu memintakan syafa’at untuk seseorang di hari Kiamat nanti. Puasa berkata : Wahai Tuhanku, aku telah mencegah dia memakan makanan dan menyalurkan syahwatnya di siang hari, maka berilah aku hak untuk memintakan syafa’at baginya. Dan berkata pula Al-Qur’an : Wahai Rabbku aku telah mencegah dia tidur di malam hari (karena membacaku), maka berilah aku hak untuk memintakan syafaat baginya. Maka keduanya diberi hak untuk memintakan syafaat.” (H.R..Ahmad dari Abdullah bin Amr Radhiyallahu ‘Anhu).
لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ فَرْحَةٌ عِنْدَ إِفْطَارِهِ وَفَرْحَةٌ حِينَ يَلْقَى رَبَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
Artinya : “Bagi orang yang berpuasa mendapat dua kebahagiaan, satu kebahagiaan saat berbuka, dan satu kebahagiaan saat berjumpa dengan Rabbnya”. (H.R. Ahmad dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu).
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا خَرَجَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
Artinya : “Barangsiapa mendirikan (shalat malam) pada bulan Ramadhan dengan keimanan dan pengharapan akan ridha Allah akan keluar dari dosa-dosanya sebagaimana hari dilahirkan oleh ibunya”. (H.R. An-Nasa’i dari Abdurrahman bin ‘Auf Radhiyallahu ‘Anhu).
شَهْرٌ كَتَبَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ وَسَنَنْتُ لَكُمْ قِيَامَهُ فَمَنْ صَامَهُ وَقَامَهُ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا خَرَجَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
Artinya : “Bulan (Ramadhan) diwajibkan Allah atas kalian berpuasa dan dianjurkan bagi kalian shalat (malam), maka barangsiapa yang berpuasa dan shalat (malam) dengan keimanan dan pengharapan akan ridha Allah akan keluar dari dosa-dosanya sebagaimana hari dilahirkan oleh ibunya”. (H.R. Ibnu Majah).
إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى فَرَضَ صِيَامَ رَمَضَانَ عَلَيْكُمْ وَسَنَنْتُ لَكُمْ قِيَامَهُ فَمَنْ صَامَهُ وَقَامَهُ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا خَرَجَ مِنْ ذُنُوبِهِ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
Artinya : “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah memfardhukan puasa Ramadhan atas kalian dan menganjurkan atas kalian shalat malam di dalamnya, maka berangsiapa puasa dan shalat malam (pada bulan Ramadhan) dengan keimanan dan pengharapan akan ridha Allah akan keluar dari dosa-dosanya sebagaimana hari dilahirkan oleh ibunya”. (H.R. Nasa’i).
مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَبِرَسُولِهِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَصَامَ رَمَضَانَ كَانَ حَقًّا عَلَى اللَّهِ أَنْ يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ
Artinya : “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mendirikan shalat, dan puasa Ramadhan, maka wajib bagi Allah memasukkannya ke syurga”. (H.R. Bukhari dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu).
اتَّقُوا اللَّهَ رَبَّكُمْ وَصَلُّوا خَمْسَكُمْ وَصُومُوا شَهْرَكُمْ وَأَدُّوا زَكَاةَ أَمْوَالِكُمْ وَأَطِيعُوا ذَا أَمْرِكُمْ تَدْخُلُوا جَنَّةَ رَبِّكُمْ
Artinya : “Bertaqwalah kepada Allah Tuhan kalian, dan shalatlah kalian lima waktu, dan puasalah kalian pada bulan (Ramadhan), dan tunaikanlah zakat harta-harta kalian, dan tha’atilah perintah atas kalian, niscaya akan dimasukkan ke dalam syurga tuhan kalian”. (H.R. At-Tirmidzi dari Abu Umamah Radhiyallahu ‘Anhu).
إِنَّ فِي الْجَنَّةِ بَابًا يُقَالُ لَهُ الرَّيَّانُ يَدْخُلُ مِنْهُ الصَّائِمُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ يَدْخُلُ مَعَهُمْ أَحَدٌ غَيْرُهُمْ يُقَالُ أَيْنَ الصَّائِمُونَ فَيَدْخُلُونَ مِنْهُ فَإِذَا دَخَلَ آخِرُهُمْ أُغْلِقَ فَلَمْ يَدْخُلْ مِنْهُ أَحَدٌ
Artinya : ” Sesungguhnya di syurga itu ada sebuah pintu yang disebut “Ar-Rayyaan”. Pada hari kiamat berkata: Di manakah orang yang puasa? ( untuk masuk syurga melalui pintu itu. Jika yang terakhir di antara mereka sudah memasuki pintu itu, maka ditutuplah pintu itu.” (H.R.. Bukhari dan Muslim).
اُغْزُوْاتَغَنَّمُوْا وَصُوْمُوْا تَصِحُّوْا وَسَافِرُوْاتَسْتَغْنُوْا
Artinya :”Berperanglah niscaya kalian mendapat ghanimah, berpuasalah kalian niscaya kalian menjadi sehat, dan bepergianlah kalian niscaya kalian akan berkecukupan”. (H.R. Ath-Thabrani).
Penutup
Akhirnya, dengan berpuasa Ramadhan, kita akan terbiasa untuk selalu waspada, menjaga diri, dan berhati-hati terhadap sesuatu, yakni berhati-hati terhadap rambu-rambu syariat yang telah ditetapkan Allah berupa perintah dan larangan.
Dengan berpuasa Ramadhan, kita berharap dapat meraih gelar takwa, gelar tertinggi di sisi Allah. Takwa menjadi wasiat abadi karena mengandung kebaikan dan manfaat yang sangat besar bagi terwujudnya kebahagiaan hidup dunia dan akhirat. Takwa juga merupakan kumpulan dari semua kebaikan dan pencegah segala kejahatan.
Dengan takwa itulah, kita sebagai orang beriman akan mendapatkan dukungan dan pertolongan dari Allah, menjadi mulia di sisi Allah, dan merupakan bekal terbaik untuk menghadap-Nya.
Dengan takwa pula harta menjadi barakah, ilmu menjadi manfaat, hidup menjadi bermakna, berbobot dan berkualitas. Dengan takwa pula niscaya Allah akan mengadakan bagi kita jalan ke luar, dan dengan takwa Allah akan memberikan rezki untuk kita dari arah yang tiada disangka-sangka.
Semoga kita dapat meraih gelar takwa sebagai hasil puasa Ramadhan kita nanti. Aamiin ya Robbal ‘Aalamiin. (A/RS2/RI-1)
Mi’raj News Agency (MINA)
*Penulis, Ust. Ali Farkhan Tsani,S.Pd.I. Wartawan dan Redaktur Senior MINA, Duta Al-Quds Internasional, Da’i Pondok Pesantren Al-Fatah Bogor, Penulis Buku Kepalestinaan. Penulis, Dapat dihubungi melalui Nomor WA : 0858-1712-3848, atau email [email protected].