Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kajian Surat Al-Baqarah ayat 183: Puasa Ramadhan agar Meraih Gelar Takwa

Ali Farkhan Tsani Editor : Zaenal Muttaqin - 44 detik yang lalu

44 detik yang lalu

0 Views

Ilustrasi Ramadhan (Arsip MINA)

ALLAH Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa”. (Q.S. Al-Baqarah [2]: 183)

Kata يَاأَيُّهَا merupakan kata panggilan. Dalam bahasa Arab disebut harfun nida’ حرف النداء (kata panggilan). Ia sama dengan kata “Yaa”. Atau dalam bahasa Indonesia, “Hai” atau “Wahai”.

Baca Juga: Makna Kata Ramadhan

Dalam Al-Quran, ditemukan penggunaan kata “Yaa ayyuha”, seperti pada kata “Yaa ayyuhalladzina amanu,” “Yaa ayyuhan naas,” “Ya ayyuhan nabiy”, “Ya ayyuhal muddatstsir”, “Ya ayyuhal muzzammil”, dan lainnya. Artinya sama, berupa panggilan kepada pihak-pihak tertentu. Biasanya, jika seseorang dipanggil, dia akan bersungguh-sungguh menyambut panggilan itu.

Di dalam Al-Quran sering digunakan perkataan, “يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا”. Di sini orang-orang beriman selalu disebut secara jama’ (kolektif). Al-Qur’an tidak mengatakan, “Yaa aiyuhal mukmin” (wahai seorang Mukmin). Atau tidak pernah dikatakan, “Yaa ayyuhal ladzi amana” (wahai satu orang yang mengimani). Akan tetapi, selalu dikatakan, “Ya ayyuhal ladzina amanuu” (wahai orang-orang yang beriman).

Hal ini mengandung hikmah, bahwa agama Islam adalah agama kolektif, agama kebersamaan, bil-jama’ah, bukan agama individu, bukan agama egoisme, bukan agama ta’ashub golongan.

Hal ini menunjukkan bahwa umat Islam adalah Ummatan Wahidatan (umat yang satu), bukan umat yang terpecah-belah atau tersegmentasi menjadi berbagai golongan.

Baca Juga: Departemen Wakaf Islam Masjidil Aqsa Bersiap Sambut Ramadhan

Di dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan, melalui surat Al-Baqarah ayat 183 ayat Allah berbicara kepada orang-orang beriman dan memerintahkan puasa Ramadhan kepada mereka.

Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu mengatakan, apabila suatu ayat dimulai dengan panggilan : يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُواyang artinya “Hai orang-orang yang beriman”, menunjukkan bahwa ayat tersebut mengandung perihal atau perintah yang sangat urgent (penting) atau suatu larangan yang cukup berat.

Di Dalam Al-Quran terdapat lebih dari 80 ayat yang dimulai dengan seruan يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا berupa hal yang sangat penting.

Di sinilah, maka Allah memang telah memperhitungkan bahwa yang bersedia memikul perintah-Nya untuk menjalankan puasa Ramadhan hanyalah orang-orang yang beriman. Karena ibadah puasa ini adalah suatu perintah yang cukup berat menurut fisik nafsu manusiawi, disebabkan membutuhkan pengorbanan kesenangan diri dan kebiasaan setiap hari.

Baca Juga: Pengertian Puasa

Karena itu, orang yang merasa di dalam dirinya ada iman, orang yang mengaku beriman kepada Allah sebagau Tuhannya, tentu dia akan bersedia mengubah kebiasaannya, menahan lapar dan dahaga, serta mengendalikan nafsunya demi memenuhi panggilan ilahi ini, yakni melaksanakan puasa secara penuh selama bulan Ramadhan.

Karena itu, orang yang merasa di dalam dirinya ada iman, tentu akan bersedia mengubah kebiasaannya, menahan nafsunya, bersedia bangun malam untuk makan sahur. Lalu bersedia menahan diri dari makan, minum, berhubungan suami isteri, sejak terbit fajar hingga maghrib, selama bulan Ramadhan.

Kewajiban Puasa Ramadhan

Adapun perihal penting panggilan orang-orang beriman tersebut adalah perintah berpuasa : كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ “diwajibkan atas kalian shaum”. Dalam hal ini, Allah mewajibkan puasa Ramadhan kepada orang-orang beriman.

Baca Juga: Aksi Kebaikan, Dompet Dhuafa Lampung Tebar 1445 Makanan Berbuka dan Takjil

Arti asal dari kata ‘kutiba’ sebenarnya : Telah dituliskan! Dari kata ka-ta-ba yang berarti menulis. Kutiba adalah bentuk pasif dari kata ka-ta-ba, sehingga maknanya ‘dituliskan’.

Para ahli tafsir telah sepakat, bahwa kata ‘kutiba’ artinya adalah diwajibkan atau difardhukan. Sebagai ibadah wajib, sebagaimana rumus umumnya, jika dikerjakan mendapat pahala besar, jika ditinggalkan berdosa.

Puasa Ramadhan adalah fardhu ‘ain bagi setiap individu muslim yang mampu mengerjakannya. Puasa Ramadhan sekaligus menjadi Rukun Islam, pilar atau tiang bangunan Islam dalam diri kita, selain : Syahadat, Shalat, Zakat dan Haji.

Memang, ibadah puasa merupakan ibadah yang berat. Sesuatu yang berat jika diwajibkan kepada kebanyakan orang, maka bagi yang bersangkutan akan menjadi ringan melaksanakannya.

Baca Juga: Masjid Sekayu Semarang Cikal Bakal Pembangunan Masjid Agung Demak

Coba kita berpuasa sunah, misalnya puasa Senin atau Kamis. Jika belum terbiasa, tentu cukup berat menjalankannya, karena dilaksanakan perseorangan. Termasuk juga bila kita membayar hutang puasa Ramadhan pada bulan lain. Rasanya berat dan lama sekali puasanya itu, karena dilakukan sendirian.

Inipun mengandung hikmah bahwa sebagai individu Muslim kita tidak bisa hidup sendiri-sendiri. Perlu saudara lainnya, perlu silaturrahim, perlu kerjasama dan perlu berjama’ah (bersatu) karena Allah.

Puasa Agar Bertakwa

Adapun tujuan disyariatkannya puasa  Ramadhan pada ujung Surat Al-Baqarah ayat 183 adalah :  لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ “agar kalian bertakwa”.

Baca Juga: Berkah Ramadhan, Wahdah Tebar Paket Sembako

Ujung ayat ini merupakan tujuan puasa yakni mempersiapkan diri untuk menjadi orang yang bertakwa kepada Allah . Caranya adalah dengan meninggalkan keinginan yang mudah didapat dan halal, demi menjalankan perintah-Nya. Dengan demikian mental kita terlatih di dalam menghadapi godaan nafsu syahwat yang diharamkan, dan kita dapat menahan diri untuk tidak melakukannya.

Tidak sedikit manusia tergelincir ke jurang neraka akibat tidak dapat mengendalikan hawa nafsu dirinya, terutama yang dilakukan oleh mulut dan kemaluannya.

Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits :

سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ الْجَنَّةَ فَقَالَ تَقْوَى اللَّهِ وَحُسْنُ الْخُلُقِ وَسُئِلَ عَنْ أَكْثَرِ مَا يُدْخِلُ النَّاسَ النَّارَ فَقَالَ الْفَمُ وَالْفَرْجُ

Baca Juga: Riska Gelar Anjangsana Sosial di Rumah Belajar Merah Putih Cilincing

Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ditanya tentang penyebab yang paling banyak memasukkan manusia ke dalam surga. Maka beliau menjawab, “Bertaqwa kepada Allah dan berakhlak yang baik”. Dan beliau ditanya tentang penyebab yang paling banyak menjerumuskan manusia ke dalam neraka. Beliau menjawab, ”Mulut dan Kemaluan.” (HR At-Tirmidzi dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu).

Maka, dengan berpuasa Ramadhan sebulan penuh akan terlatih jiwa pengendalian diri. Bagaimana tidak, kalau di segala waktu dilarang memakan makanan yang haram, maka di bulan Ramadhan, makanan yang halalpun dilarang. Bercampur dengan isterinya yang semula halal pun menjadi terlarang.

Itu semua dilakukan karena kadar imannya yang membimbingnya menjadi manusia terkendali. Walaupun mungkin berada di tempat terpencil, seorang diri, tapi imannya menahannya agar jangan sampai melanggar aturan-Nya.

Dengan demikian orang-orang beriman mendidik kemauannya serta mampu mengendalikan hawa nafsunya, karena Allah. Nafsu yang dikendalikan yakni nafsu perut dan nafsu seksual. Kalau keduanya ini tidak terkendali, maka manusia akan terjerumus ke dalam lembah nista, terjerembab ke dalam makanan haram, berbuat maksiat, dan menumpuk dosa.

Baca Juga: Masjid Jami’ Aulia Pekalongan Usianya Hampir Empat Abad

Ujung Surat Al-Baqarah ayat 183 merupakan tujuan puasa yakni mempersiapkan diri untuk menjadi orang yang bertakwa kepada Allah. Caranya adalah dengan meninggalkan keinginan yang mudah didapat dan halal, demi menjalankan perintah-Nya. Dengan demikian mental kita terlatih di dalam menghadapi godaan nafsu syahwat yang diharamkan, dan kita dapat menahan diri untuk tidak melakukannya.

Maka menjadi sangat jelas bahwa tujuan utama puasa Ramadhan dengan latihan pengendalian diri seperti disebutkan pada ujung akhir ayat 183 surat Al-Baqarah, adalah agar yang melaksanakannya menjadi orang bertakwa.

Allah menyatakan bahwa hanya amalan orang yang bertakwa sajalah yang diterima di sisi-Nya.

إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ

Baca Juga: Ini Lima Hikmah Puasa Ramadhan Sebagai Pendidikan Ruhiyah

Artinya : “Sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertakwa”. (Q.S. Al-Maidah [5]: 27).

Takwa secara bahasa bermakna : hati-hati, waspada, menjaga, takut. Adapun takwa secara istilah bermakna : mentha’ati Allah dan tidak memaksiati-Nya, mengingat Allah dan tidak melupakan-Nya, mensyukuri nikmat Allah dan tidak mengkufuri-Nya, atau dengan kata lain menjalankan segala perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya.

Dengan takwa pula harta menjadi barakah, ilmu menjadi manfaat, hidup menjadi bermakna, berbobot dan berkualitas. Dengan  takwa niscaya Allah akan mengadakan baginya jalan ke luar, dan dengan takwa Allah akan memberikan rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya

Sebaliknya, tanpa takwa, isteri, suami dan anak yang kita cintai bisa berubah menjadi fitnah dan musuh, harta yang kita miliki dapat menjadi malapetaka. Sementara pekerjaan, pangkat, dan kedudukan yang kita punyai berubah menjadi beban dosa. Di hadapan Allah tidak ada gunanya, bahkan menjadi penyesalan yang berkepanjangan. Akibat menggadaikan taqwa dengan dosa, melepas taqwa diganti dengan kemaksiatan. Na’udzubillahi min dzalik.

Baca Juga: Tujuh Pesohor Non-Muslim Ini Pandai Baca Al-Quran, bahkan Hafal Sebagian Suratnya

Semoga kita dapat meraih gelar takwa sebagai hasil puasa Ramadhan kita. Aamiin.

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Ramadhan
Ramadhan
Kolom
Kolom