DI TENGAH samudera yang bergelombang, kapal kemanusiaan Madleen (ada yang menulis Madeline) berlayar dengan nyala nurani.
Sejatinya, Madleen bukanlah kapal dagang, apalagi kapal perang. Tapi ia adalah kapal kemanusiaan, memikul harapan Gaza yang terblokade berkepanjangan.
Dari berbagai negara dan benua, sejumlah 12 aktivis berjiwa pemberani, laki-laki dan perempuan, beragam bangsa dan agama, termasuk di dalamnya. Mereka disatukan dalam hati, dan satu suara, “Bebaskan Gaza!”, “Stop genosida!”, “Buka blokade Gaza”.
Di antara mereka berasal dari Swedia, Kanada, Norwegia, Amerika Serikat, hingga Malaysia. Mereka mewakili dunia yang belum mati nuraninya.
Baca Juga: Tiada Perayaan Idul Adha di Gaza, Ketika Pengorbanan Terputus dari Keadilan
Pelayaran Madleen adalah kelanjutan dari sejarah perlawanan, dari luka mendalam Mavi Marmara 2010 silam. Ibaratnya, darah Mavi Marmara yang tergabung dalam Freedom Flotilla belum kering. Kini diteruskan dalam layar baru, Madleen Freedom Flotilla, yang tak gentar oleh ancaman.
Asal Nama Madleen
Nama kapal “Madleen” diambil dari nama Madleen Kullab, seorang nelayan perempuan pertama dan satu-satunya di Gaza.
Sejak usia 6 tahun, ia sering ikut menemani ayahnya melaut. Ketika ayahnya lumpuh karena sakit, Madleen yang baru berusia 13 tahun mengambil alih peran ayahnya sebagai tulang punggung keluarga.
Baca Juga: Qurban Bukan Sekadar Menyembelih Binatang, Tapi Wujudkan Solidaritas
Ia pun harus menghadapi bahaya laut dan blokade Israel yang membatasi wilayah tangkap nelayan Palestina.
Namun, meski menghadapi diskriminasi gender dan ancaman dari patroli laut Israel, seperti penembakan, penyitaan jaring, dan perampasan perah, Madleen tetap teguh. Ia bahkan mendirikan klub nelayan perempuan untuk memberdayakan perempuan Gaza lainnya.
Sebagai penghormatan atas perjuangannya, Freedom Flotilla Coalition menamai kapal mereka “Madleen” dalam misi menembus blokade Gaza pada Juni 2025.
Misi kapal Madleen menegaskan bahwa semangat nelayan Madleen menginspirasi dunia untuk terus melawan ketidakadilan dan mendukung kebebasan Palestina.
Baca Juga: 58 Tahun Naksa: Al-Aqsa dan Gaza, Ujian Kemanusiaan Tak Kunjung Usai
Freedom Flotilla
Kapal layar Madleen itu sendiri, merupakan bagian dari misi Freedom Flotilla Coalition, yang berlayar dari pelabuhan di Sisilia, Italia, pada 1 Juni 2025.
Kapal tersebut membawa 12 aktivis dari berbagai negara dan agama, termasuk Greta Thunberg dan anggota Parlemen Eropa Rima Hassan. Tujuan pelayaran adalah untuk menembus blokade laut Israel terhadap Gaza dan mengirimkan bantuan kemanusiaan simbolis.
Perjalanan Madleen melalui Laut Mediterania (Laut Tengah) menuju perairan Gaza. Namun, pada senin, 9 Juni 2025, kapal tersebut dicegat oleh pasukan Israel di perairan internasional.
Baca Juga: Haji untuk Palestina
Para aktivis ditahan dan dibawa ke wilayah pendudukan Israel. Sementara bantuan yang dibawa dialihkan melalui jalur Israel.
Insiden tersebut memicu kecaman internasional, dengan banyak pihak menilai tindakan Israel itu sebagai pelanggaran hukum internasional dan hak asasi manusia.
Adapun misi Madleen merupakan kelanjutan dari upaya sebelumnya, pelayaran Mavi Marmara pada 2010, yang bertujuan menyoroti krisis kemanusiaan di Gaza akibat blokade yang diberlakukan sejak 2007.
Meskipun menghadapi risiko besar, para aktivis tetap berkomitmen untuk menembus blokade Gaza demi menunjukkan solidaritas dan mendesak diakhirinya penderitaan rakyat Palestina.
Baca Juga: Teladan Nabi Ibrahim dalam Cahaya Idul Adha
Benar saja, pasukan Israel pun menghadangnya. Drone mengintainya. Tentara pun menginterogasinya dan menahannya. Begitu ketakutannya. Bahkan pasukan Zionis Israel itupun menyerang kapal damai itu dengan senjata perang.
“Kami Peduli”
Gelombang nurani tak bisa dibendung. Satu kapal ditahan, seribu hati bangkit. Satu layar dipatahkan, ribuan lainnya akan dikibarkan.
Ya, karena sesungguhnya blokade Gaza bukan sekadar pagar kawat dan larangan logistik. Namun blokade adalah lambang kezaliman yang panjang dan sistemik.
Baca Juga: Ketika Orang-orang Bodoh Syariat Bercanda Tentang Neraka
Dan Madleen datang untuk mengatakan, “Kami melihat. Kami peduli. Kami tidak diam.”
Meski mungkin juga tak membawa pasokan bantuan yang besar dan mencukupi. Tapi ia membawa pesan yang jauh lebih besar, “Bahwa Gaza tidak sendiri”. Dunia tidak lupa. Bahwa keadilan harus diperjuangkan. Meskipun hanya lewat layar kecil di tengah samudra luas.
Teruslah menembus blokade, wahai kapal-kapal nurani. Walau harus dihentikan di pelabuhan curiga. Walau harus menghadapi moncong senapan dan jeruji baja. Sebab kebebasan, seperti angin yang menderu atau arus jeram yang menerjang, “Ia akan selalu menemukan jalannya.”
“Free Free Palestine. Save Gaza. Stop Genocide!” []
Baca Juga: 58 Tahun Hari Naksah Palestina, Perlawanan Tak Pernah Padam
Mi’raj News Agency (MINA)