Oleh: Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation
Dalam beberapa waktu terakhir saya beberapa kali merespon ke ragam pernyataan tentang Islam yang dilemparkan ke publik, yang sengaja atau tidak, dapat membingungkan bahkan menyesatkan khalayak ramai (Umat). Pernyataan itu minimal melahirkan reaksi yang ragam yang menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat.
Pernyataan seorang dosen komunikasi UI misalnya yang mengatakan, dia Muslim tapi memandang Syariat Islam sebagai sesuatu yang tidak saja tidak perlu. Tapi justeru menurutnya Syariat atau hukum Islam itu berbahaya dan bahkan ancaman bagi kemajun dan kehidupan manusia.
Atau pernyataan seorang Kyai dari Jabar yang mengatakan, Islam itu adalah agama yang belum sempurna. Hal itu disampaikan justeru di saat mengutip ayat Al-Quran, Surah Al-Maidah ayat 3, yang mengegaskan kesempurnaan agama Allah ini.
Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari
Demikian pula pernyataan seorang Jenderal yang salah lidah awalnya dengan mangatakan, kalau dia berdoa tidak perlu berbahasa Arab. Karena Tuhannya memang bukan orang Arab. Belakangan sang Jenderal semakin menguatkan pahamnya tentang Islam dengan mengatakan bahwa orang Islam tidak perlu mendalami Islam karena dapat mengantar kepada sikap radikal atau ekstrim.
Semua pernyataan di atas dan banyak lagi semacamnya yang dilemparkan ke publik oleh kaum radikal dipromosikan sebagai opini atau pendapat yang lebih rasional atau logis. Orang-orang yang menganut paham seperti itupun diposisikan sebagai orang-orang yang lebih pintar, berwawasan luas dan jernih dalam berpikir.
Sebaliknya pendapat yang disampaikan oleh para ulama yang memang “mu’tamad” (mendalami ilmu-ilmu Islam) untuk meluruskan opini atau pendapat yang disampaikan oleh mereka itu akan dilabel sebagai opini atau pendapat yang tidak rasional atau tidak logis. Bahkan mereka yang melakukan pelurusan itu akan dituduh sebagai orang yang emosional, kurang wawasan, bahkan irrasional.
Sesungguhnya tuduhan kaum liberal kepada para Ulama yang demikian menunjukkan keangkuhan sekaligus “paradoxical mind” (pikiran terbalik).
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23] Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran
Orang liberal biasanya mengaku paling rasional. Tapi kenyataannya pandangan-pandangan yang disampaikan justeru tidak jarang merendahkan rasionalitas yang sehat. Bahkan opini dan pandangan mereka kerap menggambarkan akal yang paradoks.
Ambillah satu contoh saja dalam hal pandangan pluralisme agama yang ditafsirkan sebagai “penyamaan” semua agama. Paham pluralism mereka dimaksudkan sebagai konsep yang menyamakan atau menyatukan semua agama. Pandangan ini kemudian dibangun sebagai pandangan rasional sekaligus seolah menjadi cerminan karakter pluralis.
Pandangan demikian adalah pandangan irasional sekaligus paradoxical. Irasional karena pastinya pada setiap “dua keyakinan” ada perbedaan-perbedaan. Rasionalitas manusia sesederhana apapun pastinya menerima adanya perbedaan pada dua keyakinan yang berbeda. Kalau tidak berbeda tidak lagi dua keyakinan. Tapi menjadi satu keyakinan.
Selain tidak rasional juga paradoks. Sebab biasanya kaum liberal itu mengkampanyekan pluralisme atau diversitàs (keragaman) sebagai sesuatu yang positif. Tapi di sisi lain mereka mengkampanyekan penyamaan atau penyatuan agama-agama. Ini sebuah sikap yang paradoks. Mengaku menjunjung tinggi keragaman. Tapi justeru menghacurkan keragaman dengan kampanye menyatukan semua yang berbeda.
Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga
Sebenarnya justeru yang rasional dan logis itu adalah menerima, bahkan merangkul keragaman tanpa tendensi menyamakan apalagi menyatukan. Surah Al-Kafirun misalnya adalah surah yang di satu sisi menerima eksistensi keyakinan (agama) selain Islam. Tapi di sisi lain tegas menolak penyamaan dan penyatuan.
“Bagimu agamamu. Dan bagiku agamamu”.
Artinya ada pengakuan tentang eksistensi agama lain di sekitar kita. Tapi bukan berarti menyamakan, khususnya dalam hal kebenaran. Artinya mengakui “eksistensi” agama lain tidak harus diterjemahkan sebagai mengakui “kebenaran” agama tersebut.
Tuntutan untuk menyamakan dan/atau menyatukan agama-agama juga merupakan sikap yang paradoks. Karena sekali lagi umumnya kaum liberal ini mengaku sebagai pahlawan keragaman (champion of diversity). Dan karenanya ketika mereka menyerukan penyamaan atau penyatuan agama-agama maka itu adalah sikap yang paradoxical.
Baca Juga: Akhlak Mulia: Rahasia Hidup Berkah dan Bahagia
Sehingga memang pada akhirnya hanya tiga kemungkinan dari cara pandang dan sikap kaum liberal itu. Satu, memiliki keangkuhan dengan merasa paling rasional, logis serta berwawasan luas. Dua, memiliki pandangan irrasional dengan bungkusan logis. Tiga, memiliki sikap atau prilaku paradoks dalam opini dan sikap.
Tapi pastinya dari semua itu tujuan akhirnya adalah membingungkan bahkan menyesatkan umat dn karenanya saya selalu berpesan agar membuka mata dan berhati-hati dengan kaum yang demikian. Wallahu a’lam! (AK/RE1/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-22] Islam Itu Mudah, Masuk Surga Juga Mudah