- Nana Sudiana adalah salah seorang Direktur Pendayagunaan IZI & Mahasiswa MSKI UIN Jakarta
Di tengah wabah Corona yang masih belum berlalu, orang-orang kini banyak berkantor di rumah alias WFH. Dengan banyak di rumah, ternyata orang mudah bosan alias Gabut. Gabut sendiri merupakan istilah anak-anak muda sekarang yang menjelaskan tentang situasi seseorang yang sedang tidak ada kerjaan atau aktivitas. Umumnya orang yang dilanda rasa gabut cepat merasa bosan dan mudah badmood. sebagian bingung mau melakukan apa saat dilanda gabut.
Untuk menghilangkan kebosanan, sejumlah orang justru memanfaatkan waktunya untuk beragam kegiatan, ada yang memperdalam hobi, merawat binatang peliharaan, bersih-bersih rumah, membaca, memasak, menonton televisi atau film di computer atau laptop serta tak jarang juga yang justru ngoprek tanaman hias di taman atau sudut rumah yang tersedia.
Merawat tanaman tak berarti hanya menanam. Ia juga menyiram, memupuk dan memastikan kebersihan tanaman dan lingkungan sekitarnya. Di luar aktivitas perawatan utama tadi, ada beberapa hal lagi yang perlu dilakukan seperti membersihkan tanaman liar dan ranting yang bisa mengganggu pertumbuhan tanaman, memastikan tanaman tidak berhama, mengatur pencahayaan, kelembapan, kesuburan tanah, dan kondisi pot.
Bagi pecinta tanaman hias, tentu tak asing dengan tanaman keladi hias. Tanaman ini masih terus menjadi perbincangan para penyuka tanaman dan mereka yang punya hobi bertaman. Nama keladi berasal dari nama ilmiah Caladium. Caladium merupakan salah satu marga dari keluarga talas-talasan atau famili Araceae. Keladi hias meskipun sudah umum dijumpai dan sangat akrab di Indonesia, sesungguhnya tanaman keladi hias bukan tumbuhan asli Indonesia.
Baca Juga: Ini Doa Terbaik Dari Keluarga untuk Jamaah Yang Pulang Umrah
Tumbuhan keladi hias berasal dari Amerika Selatan dan Amerika Tengah. Caladium lalu banyak dinaturalisasi di negara tropis seperti Indonesia. Caladium dapat tumbuh di area terbuka dengan tinggi 40-90 cm dengan lebar daun 15-35 cm. Karakteristik Caladium yang khas tampak dari daun yang melebar. Warna dan bentuk daunnya yang cantik juga membuat keladi banyak disukai. Selain anak panah, bentuk daun Caladium juga dianggap mirip seperti hati, kuping gajah, dan sayap.
Dari awalnya yang berjumlah tujuh spesies yang ditemukan di Amerika, kini terdapat lebih dari 1.000 hasil kultivar atau varietas tanaman yang sudah dibudidayakan. Beberapa yang populer adalah Caladium Ace of Heart yang berbentuk seperti hati dan berwarna merah muda. Ada pula Caladium Candidum yang berwarna putih, serta Caladium Green Spider dengan campuran hijau dan merah dengan tekstur tulang daun seperti sarang laba-laba.
Filantropi Bagaikan Keladi
Dari sejumlah sifat dan karakter tanaman keladi, ada yang selaras dengan filantropi. Keladi sepanjang umbinya aman dan tak busuk, ia akan terus tumbuh. Walaupun di permukaan ada badai, kebanjiran, kebakaran atau kemarau hebat sekalipun, asal umbinya masih terjaga dengan baik, ia akan tumbuh kembali.
Jenis yang hampir sama lebih hebat lagi. Saudaranya keladi ini Bernama Talas ( Colocasia sp). Tanaman Talas merupakan tanaman pangan dari umbi-umbian yang banyak dibudidayakan di Indonesia. Talas termasuk dalam suku talas-talasan (Araceae). Di Indonesia talas bisa di jumpai hampir di seluruh kepulauan dan tersebar dari tepi pantai sampai pegunungan di atas 1.000 m dpl, baik liar maupun ditanam.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-21] Tentang Istiqamah
Talas juga dapat tumbuh dengan cara sengaja ditanam, dibudidayakan maupun hidup liar (dibuang). Talas tidak hanya untuk dikonsumsi tetapi ada beberapa jenis talas yang dijadikan tanaman hias. Namun tanaman talas yang sering dijadikan tanaman hias sering disebut dengan keladi ( Xanthosoma sp). Meski keladi tergolong dalam suku talas-talasan antara keladi dan talas memiliki perbedaan. Keladi masuk dalam genus Caladium sedangkan talas masuk dalam genus Colocasia. Sedangkan talas menghasilkan umbi yang cukup besar dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan, hampir 90% bagiannya bisa dimakan.
Filantropi Islam
Istilah filantropi berasal dari bahasa Yunani, dari kata philos (berarti cinta) dan antropos (berarti manusia), yaitu aktivitas kecintaan kepada manusia. Padanan kata philanthropy adalah charity. Tindakan atau perilaku filantropi adalah tindakan seseorang yang mencintai sesama manusia serta nilai kemanusiaan, sehingga menyumbangkan waktu, uang, dan tenaganya untuk menolong orang lain.
Bentuk-bentuk kedermawanan seperti zakat, infak, sedekah dan wakaf atau sekarang lebih populer dengan istilah filantropi Islam, adalah jantung dari ajaran Islam itu sendiri, yaitu rukun iman yang lima.
Baca Juga: Hijrah Hati dan Diri: Panduan Syariah untuk Transformasi Spiritual dan Pribadi
Praktik dari bentuk kedermawanan ini dalam sejarah Islam, membuktikan bahwa Islam dalam doktrin normatifnya, adalah agama yang menekankan kesalihan sosial yang berujung pada keadilan sosial. Dalam praktik-nya filantropi Islam bukan sekadar aktivitas, tapi sesungguhnya ia mengakar tradisi yang kuat, tradisi langit dan bumi yang kaya (Fauzia, 2016:439).
Seorang muslim atau sebuah lembaga yang mengambil jalan filantropis sejak awal harus mengikhlaskan diri untuk tidak memiliki pamrih. Walaupun ia menolong sesama, saat ia tak mendapat dukungan atau pujian atas tindakannya, ia harus tetap tegar dan bertumbuh.
Individu atau Lembaga-lembaga filantropi juga harus menyadari bahwa spirit filantropi ini tumbuh dalam bingkai kemanusiaan. Bukan hanya di kalangan Muslim saja semangat ini muncul, bahkan di Barat dan pada agama-agama lain pun semangat ini lahir dan kuat mengakar.
Dalam konteks yang lebih umum, filantropi adalah konseptualisasi dari praktek memberi (giving), pelayanan (services) dan asosiasi (association) secara sukarela untuk membantu pihak lain yang membutuhkan sebagai ekspresi rasa cinta. Istilah ini juga merujuk kepada pengalaman Barat pada abad XVIII ketika negara dan individu mulai merasa bertanggungjawab untuk peduli terhadap kaum lemah (Jusuf, 2007: 75).
Baca Juga: Aksi Peduli Palestina: Cara Efektif dan Nyata Membantu Sesama yang Membutuhkan
Dalam perkembangan-nya, Indonesia dinobatkan sebagai negara paling dermawan di dunia menurut survei lembaga amal Charities Aid Foundation (CAF) dalam laporan World Giving Index 2018 dan juga pada tahun 2021 ini.
Penghargaan ini bermakna bahwa masyarakat Indonesia amat pemurah dan peduli. Dengan spirit gotong royong-nya yang khas Indonesia, didukung semangat solidaritas, dalam beragam bentuk dan istilah yang tumbuh subur hampir di seluruh daerah di Indonesia, jelas ini membanggakan. Tradisi lama di Jawa misalnya, yang bernama tradisi “jimpitan” hingga kini masih lestari di beberapa daerah. Mereka berbagi tak menunggu kaya atau mampu, namun lebih pada keterpanggilan jiwa untuk terlibat membantu sesama.
Walau kedermawanan ini tumbuh baik, namun dalam dinamikanya, urusan filantropi tak semudah membalikan telapak tangan. Ajaran keimanan terkait zakat, infak dan sedekah, yang didukung cita-cita Islam untuk membangun masyarakat sejahtera, dalam bingkai filantropi tetap saja tak segampang dalam praktiknya. Sejarah filantropi sejak berabad lalu menunjukan bentang adanya dinamika yang tak selamanya mulus.
Dinamika praktik filantropi yang dikelola oleh dan untuk umat Islam, tidak terlepas dari bermacam kepentingan yang ada dan berkelindan, apalagi ketika soal filantropi ini berkaitan dengan otoritas kekuasaan. Sebagai bagian ajaran Islam, praktik filantropi Islam tetap masuk menjadi praktik atas ekspresi umat dalam bingkai kekuasaan. Ia tidak bisa otonom dikelola tanpa aturan yang ada. Hal ini karena negara memiliki otoritas mengatur banyak kebijakan untuk masyarakat, termasuk soal pengelolaan filantropi.
Baca Juga: Enam Cara Mudah Bantu Palestina
Dalam beberapa fase yang ada, pengelolaan filantropi lebih banyak bertumpu dan diperankan oleh masyarakat sipil. Namun dalam masa tertentu, sejarah juga mencatat bahwa praktik filantropi menunjukan adanya kontestasi (persaingan) antara masyarakat sipil Islam dengan negara (state) (Jusuf, 2007: 76).
Secara sifat, filantropi terbagi ke dalam filantropi tradisional dan filantropi modern. Filantropi tradisional adalah Filantropi yang berbasis Karitas (Charity) yang secara umum berbentuk pemberian untuk kepentingan pelayanan sosial. Program filantropi tradisional misalnya pemenuhan kebutuhan makanan, pakaian, tempat tinggal, dan lain- lain.
Sedangkan filantropi modern lebih kuat spiritnya ke kegiatan atau aktivitas pemberdayaan (empowerment). Sejumlah kegiatan yang dilakukan juga mengarah kepada terjadinya perubahan sosial yang lebih baik. Hal ini juga selaras dengan adanya keinginan untuk memandirikan masyarakat agar mampu berdaya dan melakukan perbaikan dengan kemampuan yang dimiliki. Adapun metode utama dalam filantropi modern mengarah pada pengorganisasian masyarakat, advokasi dan pendidikan publik(Jusuf, 2007: 78).
Di balik adanya sejumlah kendala dalam pengelolaan filantropi di Indonesia, baik itu soal regulasi, digitalisasi proses-nya serta soal sumberdaya manusia yang terbatas kualitasnya, ternyata Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengharapkan dana filantropi bisa menjadi bagian dari pembangunan Nasional.
Dikutip dari inews-id (https://www.inews.id/finance/makro/mobilisasi-dana-sdgs-menkeu-tampung-aksi-filantropi), dalam acara Spring Meetings International Monetary Fund – World Bank Group 2019 (IMF-WBG Spring Meetings 2019) di Washington D.C pada Jumat, (12/4/2019), Sri Mulyani memaparkan bagaimana Indonesia akan memobilisasi dana untuk Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dengan aksi filantropi. Istilah yang ia sampaikan adalah blended finance.
Baca Juga: Makna Mubazir dalam Tafsir Al-Isra’ Ayat 27, Mengapa Pelaku Pemborosan Disebut Saudara Setan?
Istilah atau skema blended finance scheme atau skema keuangan campuran ini dengan menyatukan dana dari pemerintah, dana publik, swasta termasuk filantropi yang disatukan dalam platform SDGs Indonesia One. Untuk mengimplementasikan ambisi SDGs dibutuhkan sekitar 6 triliun dolar AS.
Dengan melihat besarnya harapan Menteri Keuangan kita, idealnya persoalan-persoalan filantropi Islam didorong agar memiliki kemudahan, termasuk dalam prosses perijinan serta pengawasan-nya agar pertumbuhan filantropi juga semakin pesat dan mampu mewujudkan harapan ini. Soal insentif langsung bagi amil, barangkali masih Panjang prosesnya, namun setidaknya dalam urusan sertifikasi amil zakat, pemerintah harus turun tangan dengan menyediakan skema dana dari APBN untuk mendorong semua amil tersertifikasi dan kemudian memiliki kemampuan standar dalam mengelola zakat di Indonesia.
Kesimpulan
Keladi adalah tanaman yang banyak manfaatnya bagi manusia. Ia bisa mengganti nasi sebagai makanan pokok. Juga saat yang sama, keladi hias dapat pula memperindah dan mempercantik taman di rumah-rumah kita.
Begitu pula filantropi, sangat berguna untuk menolong sesame, memuliakan hidup para dhuafa. Dalam perkembangannya, bahkan negara membutuhkan keterlibatan dana filantropi dalam skala besar untuk meningkatkan kemampuan negara membangun dan mewujudkan cita-cita bangsa, yakni memakmurkan masyarakat dan mensejahterakannya.
Baca Juga: Suriah dan Corak Bendera yang Berganti
Bukankah tujuan para pendiri bangsa serta para pahlawan yang telah memberikan darah dan airmatanya, juga nyawanya, tiada lain untuk menjadikan bangsa ini bangsa yang terhormat, bangsa yang kuat dan sejahtera. Tidak boleh ada lagi orang-orang miskin yang terlantar, berkeliaran di jalan dengan perut lapar. Tak boleh ada lagi rakyat negeri ini kelaparan dan kesakitan karena ia tak terjangkau dengan berbagai skema asuransi yang ada, yang kadang dengan alasan birokrasi mereka tak bisa dilayani.
Filantropi adalah penghasil umbi kebaikan negeri. Ia bukan hanya akan melengkapi kemampuan negara untuk membuat rakyatnya sejahtera, namun bila pengelola-annya baik dan benar, ia juga akan mengharumkan bangsa. Menjadi penghias taman kepedulian dunia. Filantropi Indonesia akan hadir di manapun di dunia memerlukannya. Sepanjang ada cinta di dada para pegiat filantropi, sepanjang itulah segala kesulitan menjadi tak berarti. Filantropi bukan soal siapa memerankan apa, namun ini adalah panggilan jiwa. Tak ada hambatan bagi yang dihatinya menyimpan cinta untuk dipersembahkan bagi kebaikan sesama.
Semarang Menjelang Petang, 29 Juni 2021
Referensi :
– Fauzia, Amelia, “Menghidupi Filantropi Islam” (Enlivening Islamic Philanthropy) dalam buku Dari Pesantren untuk Dunia: Kisah-kisah Inspiratif Kaum Santri, PPIM UIN Jakarta, Februari 2016, hal.406-439
– Jusuf, Chusnan, “Filantropi Modern Untuk Pembangunan Sosial”, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 01, 2007 : 74-80
– Rahmanto, Mukhlis, “Berderma dan Sejarah Sosial Politik Islam Indonesia, Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman Afkaruna, Vol. 11 No. 2 Desember 2015, 268-272
– https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20210119093608-277-595453/tanaman-keladi-cara-mudah-merawat-hingga-memperbanyak)
– Vania Rossa, “Demi Kenyamanan Bersantai, Ikuti 5 Tips Merawat Taman Rumah”, Jum’at, 06 September 2019 | 16:59 WIB dalam Https://cashbac.com/blog/arti-gabut-dan-15-tips-atasi-gabut/
– https://www.inews.id/finance/makro/mobilisasi-dana-sdgs-menkeu-tampung-aksi-filantropi.
– https://www.republika.co.id/berita/otsja0313/melacak-sejarah-filantropi
Baca Juga: [Hadits Arbain Ke-20] Malu Bagian dari Iman
(A/R8/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)