Oleh R. Roro Atmim, M.Pd., Mahasiswa S3 Manajemen Pendidikan Islam UIN Raden Intan Lampung, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Shuffah Al-Quran Abdullah bin Mas’ud (STISA ABM) Online Lampung
Krisis rumah tangga di tengah masyarakat modern bukan hanya soal kesenjangan cinta atau komunikasi, tetapi juga karena persoalan klasik: lemahnya pengelolaan keuangan dan kebiasaan berutang. Berbagai kasus perceraian dan konflik keluarga akhir-akhir ini memperlihatkan bahwa utang konsumtif dan gaya hidup tidak seimbang telah menjadi musuh dalam selimut banyak keluarga Muslim.
Penggunaan Shopee PayLater dan layanan serupa telah menyebabkan tingkat wanprestasi hingga 7,9% di kalangan mahasiswa dan keluarga muda di Jabodetabek. Penyebab utama adalah perilaku konsumtif dan kurangnya literasi keuangan.
Dalam Islam, hal ini bertentangan dengan prinsip ihtiyath (kehati-hatian) dan qana’ah (merasa cukup). Minimnya pemahaman terhadap utang dari perspektif fiqih muamalah menyebabkan banyak keluarga Muslim terjebak dalam transaksi riba dan utang yang merusak.
Baca Juga: 5 Adab Penting yang Harus Diperhatikan Seorang Guru
Utang dalam Islam: Boleh Tapi Penuh Tanggung Jawab
Islam tidak melarang utang, namun memposisikannya sebagai perkara serius yang membawa beban moral sebagai bentuk tanggung jawab dan spiritual.
Dalam Surat Al-Baqarah ayat 282, Allah memerintahkan agar setiap transaksi utang ditulis dengan jelas dan disaksikan, sebagaimana terjemahnya berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bahkan pernah menolak menyalatkan jenazah seseorang yang meninggal dan masih memiliki utang yang belum terbayar. Dalam hadis lain disebutkan: “Jiwa seorang mukmin akan tergantung karena utangnya hingga utangnya dibayar.” (H.R. Tirmidzi).
Baca Juga: 61% Santri Al-Fatah Lampung Diterima di Perguruan Tinggi, Berbekal Jiwa Pesantren
Utang sering kali memberi ilusi kesejahteraan. Keluarga merasa mampu memenuhi kebutuhan gaya hidup, padahal kenyataannya mereka hidup dalam tekanan dan terus-menerus mengejar cicilan. Hal ini membawa dampak pada stabilitas emosi dan harmonisasi rumah tangga.
Stres yang muncul dari tekanan ekonomi bukan hanya berdampak secara material, tetapi juga melemahkan ikatan batin dan spiritual antara anggota keluarga. Islam sangat menekankan hidup cukup, sederhana, dan penuh syukur sebagai penangkal gaya hidup berutang.
Riset psikologi konsumsi membuktikan bahwa nilai-nilai materialisme dan gaya hidup hedonis berkorelasi positif dengan kecenderungan berutang. Hal ini sejalan dengan realitas di masyarakat, di mana keluarga muda berlomba memiliki barang mewah tanpa pertimbangan kemampuan keuangan.
Dalam Islam, zuhud dan iffah adalah nilai-nilai utama yang menjadi tameng dari ketamakan duniawi. Keluarga tangguh bebas utang adalah keluarga yang menjaga hati dari iri dan kompetisi gaya hidup yang melelahkan.
Baca Juga: Integritas Fondasi Utama bagi Dosen dan Guru
Perempuan (istri) memegang peranan penting dalam menjaga stabilitas keuangan keluarga. Ketika istri memiliki kecakapan mencatat pengeluaran, mengelola anggaran, dan bersikap terbuka dengan suami, maka keuangan rumah tangga akan lebih sehat dan terhindar dari kebocoran tak terlihat.
Islam menempatkan perempuan bukan hanya sebagai pendidik anak, tetapi juga sebagai penjaga amanah harta keluarga. Musyawarah (syura) dalam keputusan keuangan antara suami dan istri sangat berperan dalam mengurangi konflik rumah tangga. Ketika perencanaan anggaran dibuat bersama, transparansi meningkat, dan konflik bisa dihindari .
Semakin kuat kesadaran spiritual dalam keluarga, semakin kecil kecenderungan mereka berutang. Ia menekankan pentingnya membangun keimanan dan kekuatan ruhani agar keluarga tidak mudah tergoda pada gaya hidup instan yang ditawarkan sistem kapitalistik.
Solusi Islam: Keluarga Mandiri, Keuangan Terkendali
Baca Juga: An-Nuaimy Lepas 33 Dai Nusantara dan Luncurkan STIT: Dakwah Tak Boleh Menyendiri
Lima prinsip utama dalam membangun rumah tangga Islami yang sehat secara finansial:
Syura (musyawarah) – Keputusan ekonomi harus dibicarakan bersama pasangan.
Tanggung jawab suami – Suami wajib menafkahi istri dan anak secara layak.
Peran istri sebagai penjaga amanah – Istri harus bijak dan transparan dalam mengelola keuangan rumah tangga.
Baca Juga: Dapat Biaya Hidup, Pendaftaran Program Magang Berdampak 2025 Sudah Dibuka
Hindari utang kecuali darurat – Jika terpaksa berutang, pastikan tercatat dan ada rencana pelunasan.
Didik anak sejak dini tentang nilai kejujuran, kerja keras, dan anti-riba.
Penutup: Bangun Rumah Tangga yang Diberkahi, Bukan Dibebani
Menjaga keluarga dari krisis bukan hanya soal cinta, tapi juga soal kecerdasan dalam mengatur keuangan dan menjauhkan diri dari lilitan utang. Islam telah memberi panduan lengkap bagaimana membangun keluarga sakinah, mawaddah, dan warahmah, dengan kejujuran, kesabaran, dan pengelolaan harta yang amanah.
Baca Juga: 325 Mahasiswa Penerima Beasiswa Garuda Lanjutkan Studi ke Mancanegara
Mereka yang berhasil mengatur keuangan rumah tangga dengan prinsip Islami akan merasakan dua keberkahan sekaligus: ketenangan di dunia, dan tanggungan yang ringan di akhirat.
Sebagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam selalu berdoa: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kesusahan dan kesedihan, dari kelemahan dan kemalasan, dari sifat pengecut dan kikir, dari lilitan utang dan penindasan manusia.” (HR Bukhari).
Semoga keluarga-keluarga Muslim di seluruh Indonesia mampu membangun rumah tangga yang mandiri, saling mendukung, dan terbebas dari beban utang yang melenakan. Wallahu a’lam. []
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Ilmuwan Muslim Asia Tenggara Serukan Kebangkitan Peradaban Berbasis Sains dan Etika