Oleh: Rina Asrina*
Mata dunia memperhatikan ke arah mana ‘perang demokrasi’ di negara piramid, Mesir, yang masih memanas bahkan setelah penentang presiden terguling Muhamad Mursi mengklaim revolusi mereka pada Juli 2013 lalu.
Konflik yang terjadi dimunculkan media dalam dua perseteruan antara pihak yang disebut sebagai ‘muslim konservatif’ yang kemudian dimunculkan dengan sebutan Islamis, dengan mereka yang berpikiran lebih sekuler. Pertanyaan lain yang belum terjawab, ‘kenapa ini bisa terjadi? Siapa yang mengambil keuntungan dari peristiwa ini?’
Belum sempat pertanyaan itu terjawab, kini, opini “kembalinya rezim militer” muncul di tengah maraknya perang saudara sesama Muslim yang berbeda dalam hal ideologi. Opini semakin diperkuat ketika baru-baru ini pemerintah interim Mesir, dibentuk setelah penggulingan Mursi oleh Menteri Pertahanan Abdul Fattah Al-Sisi, yang kemudian menetapkan hukuman mati atas 529 orang dari kelompok Ikhwanul Muslimin.
Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari
Ikhwanul Muslimin sebagai organisai tertua dan terbesar di Mesir memiliki karisma tersendiri bagi pendukung maupun penentangnya. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah paper karya Ibrahim Al-Hudaibi yang berjudul “Dari Penjara ke Istana: Tantangan Ikhwanul Muslimin dan Respon-respon paska revolusi Mesir” mengatakan Ikhwanul Muslimin selama beberapa dekade fokus pada kebutuhan untuk menegakkan dan mempertahankan identitas Muslim, namun tidak terlalu mengembangkan keahlian dalam menghadapi kebijakan-kebijakan rezim, sehingga strategi Ikhwan yang ‘lemah dalam perpolitikan’ bisa digantikan dalam waktu dekat oleh kelompok lain ‘yang lebih canggih’ dalam menghadapi isu-isu perebutan kekuasaan.
Pernyataan ini tidak bisa disangkal dan sekarang terjadi di Mesir. Pada dasarnya, Ikhwanul Muslimin merupakan organisasi yang fokus pada pendidikan, keilmuan, keagamaan, tanpa ingin melaju pada perebuatan politik bikinan kaum barat. Semakin ‘terjajah-nya Ikhwan dari waktu ke waktu di Mesir, organisasi yang dipelopori oleh Hassan Al-Banna ini mulai menunjukan sisi radikal sejak Mesir dipimpin oleh presiden keduanya Jamal Abdul Nasir memimpin hingga para pemimpin sesudahnya. Upaya-upaya marjinalisasi terhadap Ikhwan bermunculan sehingga menjadikannya ‘mesti bertindak’ untuk terlepas dari ‘kedzaliman penguasa’.
Kenyataannya, yang terjadi di Mesir pada masa Mursi memimpin adalah ‘politik belah bambu’ nya negara barat seperti Amerika Serikat. Di satu sisi AS menjunjung tinggi demokrasi yang berarti kemudian menjunjung Mursi sebagai presiden demokrasi pertama Mesir yang dipilih secara bebas setelah rezim militer lama Husni Mubarak yang berkuasa selama 29 tahun 120 hari digulingkan dalam revolusi Januari 2011. Namun di sisi lain, Mursi yang maju ke kursi presidenan sebagai presiden demokrasi pertama itu digulingkan akibat protes-protes opoisisi pada Juli 2013, dan mendapat dukungan AS yang kemudian, berulang kali, menolak bahwa penggulingan Mursi adalah kudeta, meskipun banyak negara mengakuinya.
Dalam perpolitikan di berbagai negara, Ikhwanul Muslimin ikut serta dalam proses demokrasi sebagai sarana perjuangannya (bukan tujuan), sebagaimana kelompok-kelompok lain yang mengakui demokrasi. Contoh utamanya adalah Ikhwanul Muslimin di Mesir yang mengikuti proses pemilu di negara tersebut. Seperti Mursi yang datang dari Ikhwanul Muslimin ingin mengembalikan nama organisasinya dan mengangkat persatuan Islam yang ingin dijadikan sebagai pedoman kehidupan dan pemersatu bangsa.
Baca Juga: Daftar Hitam Pelanggaran HAM Zionis Israel di Palestina
Pasang Surut Hubungan Militer IM dari Masa ke Masa
Ikhwanul Muslimin atau yang familiar dengan sebutan Ikhwan didirikan di kota Ismailiyah, Mesir pada Maret 1928 dengan pendiri Hassan al-Banna, bersama keenam tokoh lainnya, yaitu Hafiz Abdul Hamid, Ahmad al-Khusairi, Fuad Ibrahim, Abdurrahman Hasbullah, Ismail Izz dan Zaki al-Maghribi. Pada tahun 1948, Ikhwanul Muslimin turut serta dalam perang melawan Israel di Palestina. Saat organisasi ini sedang berkembang pesat, Ikhwanul Muslimin justru dibekukan oleh Muhammad Fahmi Naqrasyi, Perdana Menteri Mesir tahun 1948.
Kegiatan Ikhwan mulai menarik perhatian pemerintah dan dunia luar, setelah mereka memindahkan pusat kegiatan dari Ismailiyah ke Kairo. Apalagi setelah Al-Banna mengirim surat kepada raja Mesir, Faruq (1936) dan sejumlah menteri kabinet, agar melaksanakan syariat Islam dan meninggalkan cara hidup yang tidak Islami.
Situasi di Mesir pada 1930-1940-an, seperti kebobrokan moral, penetrasi budaya asing, pemerintah yang tidak tegas, dominasi Inggris yang begitu kuat dalam negeri, dominasi perusahaan -perusahaan asing, dan lain-lain, telah bersaham dalam membentuk sikap militansi Ikhwan. Sebagai gerakan dan idiologi, sikap Ikhwan ini berhubungan erat dengan krisis intelektual, sosial, ekonomi dan politik yang melanda Mesir sejak abad ke-19.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23] Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran
Krisis-krisis ini sebagiannya adalah hasil dari berbagai kebijakan yang ditempuh oleh para penguasa Mesir sebelum ini, dalam bidang pendidikan, hukum dan politik melalui suatu proses westernisasi. Negara sejak abad 19 mengirim misi pendidikan ke luar negeri dan mengundang perancang dan tenaga ahli Barat ke dalam negeri. Sistem pendidikan Barat yang sekuler barangsur-angsur menggeser pendidikan tradisional, dan hukum sekular Barat menggantikan hukum syariat yang telah berlaku selama berabad-abad.
Politik pemerintah semakin cenderung untuk memelihara kepentingan Barat. Terusan Suez sebagai jalan perhubungan penting antara Barat dan Timur berada di tangan asing. Di Palestina kekuatan Zionis internasional semakin mengkristal untuk mendirikan negara nasional Yahudi yang mengancam eksistensi umat Islam dan bangsa Arab. Sementara itu, para penguasa Arab lebih banyak membuat kebijakan yang dapat mempertahankan kepentingan mereka daripada kepentingan rakyat. Di pihak lain, Al-Azhar sebagai lembaga keagamaan tertua di dunia Islam bersikap melempem dan sulit untuk dijadikan panutan bagi sebuah pembaruan yang sejalan dengan semangat Islam.
Sekitar Perang Dunia II, telah terjadi hubungan turun naik antara pemerintah dan Al-Ikhwan. Situasi genting yang terjadi di Mesir akibat perang, antara lain pembunuhan terhadap tokoh -tokoh politik (termasuk pembunuhan Perdana Menteri An-Nuqrasyi), membuat keadaan semakin sulit bagi Ikhwan. Tokoh-tokoh Ikhwan ditangkap, aset organisasi disita, dan berbagai media massa mereka diberangus. Kejadian seperti itu terjadi berulang kali. Dari tahun 1940 sampai Desember 1948, pergerakan ini dilarang seutuhnya. Selanjutnya pada malam hari tanggal 12 Februari 1949, Al-Banna ditembak mati oleh orang yang tak dikenal sewaktu ia sedang duduk di mobilnya di depan gedung Syubban Al-Muslimin di Kairo.
Militer bermain sejak Revolusi 1952, yang mengubah sistem politik Mesir dari monarki ke republik. Dalam fase-fase tersebut, Ikhwanul Muslimin dan militer mengalami hubungan pasang-surut. Jelang Revolusi 1952, Ikhwan dan militer bekerja sama melawan kekuatan monarki Mesir hingga berhasil menumbangkannya.
Baca Juga: Sejarah Palestina Dalam Islam
Masa Jamal Abdul Nasir
Pada mulanya, Jamal Abdul Nasir 15 Januari 1918 – 8 September 1970) merupakan presiden kedua Mesir, dan mungkin merupakan salah seorang negarawan Arab yang paling terkemuka dalam sejarah. Jamal Abdul Nasir dilahirkan di Iskandariah (Alexandria) dan aktif dalam gerakan Mesir menentang penjajahan dan kekuasaan asing ketika di Akademi Militer. Jamal Abdul Nasir berpangkat Mayor ketika terlibat dalam Perang Kemerdekaan Israel pada tahun 1948.
Pada awal 1954, Jamal Abdul Nasir menangkap dan menahan presiden Mesir ketika itu, jendral Muhammad Naguib, dan pada 25 Februari 1954 Jamal Abdul Nasir menjadi Kepala Negara Mesir. Dua tahun kemudian, dia menjadi calon tunggal dalam pemilu presiden dan dilantik menjadi presiden Mesir kedua. Pada masa pemerintahannya, Jamal Abdul Nasir membangkitkan Nasionalisme Arab dan Pan Arabisme, dan dikenal dengan rezim militer awal.
Di bawah pemerintahan Jamal Abdul Nasir, Ikhwan mengalami penderitaan. Para pengikutnya dipenjarakan dan beberapa di antaranya bahkan ada yang digantung. Buku-buku dan penerbitan mereka dilarang terbit. Akibat dari kondisi yang kurang menguntungkan itu, beberapa tokoh Ikhwan banyak yang terpaksa lari ke luar negeri. Ada yang ke negara-negara Arab dan lainnya ke Eropa dan Amerika. Namun organisasi ini terus berkembang dan melahirkan ulama-ulama terkenal dari Mesir, Sayyid Quthb, Muhammad Quthb, Muhammad Al-Ghazali, Abdullah As-Samman, As-Siba’i, Mushthafa Ramadan, Fathi Yakan dan lain-lain.
Baca Juga: Pelanggaran HAM Israel terhadap Palestina
Masa Anwar Sadat
Pada 1971, Anwar Sadat, penerus Nasir, memberi amnesti pada para anggota Ikhwanul Muslimin tetapi secara resmi melarang organisasi tersebut. Sejak saat itu Ikhwanul Muslimin mendeklarasikan diri gerakan mereka meninggalkan kekerasan serta beralih ke aktivitas sosial dan akar rumput.
Hubungan Anwar Sadat dan Ikhwanul Muslimin mulai retak ketika Anwar Sadat melakukan kunjungan ke Yerusalem pada 1977 yang berujung perjanjian damai dengan Israel pada 1979 di Camp David. Setelah itu Anwar Sadat dibunuh oleh orang radikal dan menyalahkannya kepada Ikhwanul Muslimin.
Masa Husni Mubarak
Baca Juga: Peran Pemuda dalam Membebaskan Masjid Al-Aqsa: Kontribusi dan Aksi Nyata
Penerus Sadat, Husni Mubarak, mengakui Ikhwanul Muslimin sebagai organisasi keagamaan tetapi menolak eksistensinya sebagai kekuatan politik. Kebijakan ini menjadi jalan
bagi Ikhwanul Muslimin membangun kekuatan memunculkan calon independen.
Di awal kekuasaannya terjadi masa damai antara Ikhwan dan pemerintah. Namun antara tahun 1995 hingga 2008 terjadi rentetan persidangan terhadap para pimpinan Ikhwan, diselingi dengan aksi-aksi penangkapan terhadap para pemimpin barisan tengah jamaah. Aksi penangkapan marak menjelang pemilu legislatif, pemilihan ketua BEM di berbagai universitas, pemilihan ketua persatuan profesi, musim-musim prime time aktifitas Ikhwan seperti masa-masa liburan panjang sekolahan dan sebagainya. Aksi penangkapan ini dilakukan untuk membatasi perkembangan Ikhwan.
Masa Muhamad Mursi
Muhamad Mursi, presiden demokrasi yang menggantikan Husni Mubarak merupakan presiden pertama Mesir yang hafal Al-Qur’an. Tokoh Ikhwanul Muslimin ini menjadi kandidat presiden dari partai kebebasan dan Keadilan yang dibentuk pada masa-masa penggulingan Husni Mubarak oleh rakyatnya pada 2011.
Baca Juga: Langkah Kecil Menuju Surga
Mursi memenangkan 51,73 persen suara dan kemudian pada Juli 2012 disumpah sebagai presiden pertama Mesir yang dipilih melalui pemilu bebas.
Pada saat Mursi memimpin, Abdul Fattah Al-Sissi, mantan kepala intelijen militer, diangkat menjadi panglima militer dan menteri pertahanan pada Agustus 2012. Ia menggantikan seniornya, Tantawi, yang juga mentor lamanya. Dan kemudian Al-Sisi inilah yang pada akhirnya menggulingkan Mursi dari kepresidenan.
Menurut opini publik, Al-Sissi diharapkan Ikhwanul Muslimin mendukung Mursi ketika dipilih jadi Menhan. Tapi, seperti dikatakan cucu Hasan Al Bana, Tareq Ramadhan, Ikhwanul Muslimin dan Mursi terlalu naif mengharapkan dukungan militer. Sebab, kata Tareq, militer Mesir adalah antek Amerika, dan Al-Sissi adalah penghubung Amerika-Israel.
Mursi dianggap sebagian rakyatnya yang ‘sekuler’ terlalu Islamis dan ingin menetapkan syariat Islam yang ditentang kelompok liberal. Setelah demonstrasi besar-besaran menuntut pengunduran diri Mursi yang juga ditandingi demonstrasi besar dari para pendukung Mursi, militer yang dipimpin Al-Sisi mengambil alih kekuasaan. Sejak saat itu Mursi ditahan militer beserta ratusan petinggi Ikhwanul Muslimin lainnya.
Baca Juga: Akhlak Mulia: Rahasia Hidup Berkah dan Bahagia
Kini, setelah Mursi tidak memiliki tempat di pemerintahan, pemerintahan yang didukung militer di bawah presiden Adly Mansour melanjutkan road map pemerintahan yang kemudian akan melakukan pemilu umum untuk memilih presiden kembali setelah Mursi. Al-Sisi yang disinyalir akan melaju kepresidenan nampaknya memiliki hubungan erat dengan Israel, sebaimana media-media melaporkan, orang militer ternama ini ‘minta restu’ Israel dalam melakukan berbagai aksinya, termasuk sebelum mengumumkan penggulingan Mursi dan saat melakukan operasi besar menutup terowongan-terowongan yang digunakan Gaza untuk menyalurkan kebutuhan harian mereka, serta operasi melawan militant-militan di Sinai yang sejak dulu menentang Israel.
Kali ini, hubungan ikhwanul Muslimin dan militer bisa dibilang dalam kondisi terburuk mereka, sejak penggulingan Mursi, militer yang didukung kepentingan oposisi nampaknya tidak hanya ingin mengenyahkan Ikhwan dari pemerintahan namun juga ingin memberangus mereka sampai ke akar-akarnya setelah Mursi memimpin.
Jikalau, Al-Sisi yang ‘mendapat restu’ dari militer, Israel dan AS untuk melaju sebagai presiden mendatang Mesir, maka kekuatan rezim militer memang sudah sangat berakar di negara seribu piramid itu. (T/P03/R2)
*Wartawati Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-22] Islam Itu Mudah, Masuk Surga Juga Mudah
Bacaan tambahan:
http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_Presiden_Mesir
http://asahannews.com/2009/09/pahlawan-ikhwanul-muslimin-yang-ditakuti-kekuatan-sekular/
Baca Juga: Baca Doa Ini Saat Terjadi Hujan Lebat dan Petir
http://suara-islam.com/read/index/7930/Politik-Tentara-Mesir
Mi’raj Islamic News Agency / MINA