Kematian Bayi Debora, KSPI Kutuk RS Mitra Keluarga Kalideres

Ilustrasi

Jakarta, MINA – Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia () mengutuk keras Rumah Sakit (RS) Mitra Keluarga Kalideres yang diduga mengabaikan hak pelayanan pasien sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dan Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

“Kami minta agar Pemerintah meninjau ulang izin Kalideres. Terlebih lagi, ini bukan kali pertama grup Mitra Keluarga menolak pasien. Masalahnya adalah, mayoritas RS Mitra Keluarga tidak masuk sebagai providernya Kesehatan,” kata Presiden KSPI, Said Iqbal dalam keterangan pers yang diterima MINA, Ahad (10/9) sore.

Menuru Iqbal, pokok pangkal persoalan yang menyebabkan rumah sakit type A tidak mau menjadi provider BPJS Kesehatan adalah sistem INA CBGs yang diterapkan BPJS Kesehatan. Akibat sistem ini, klinik dan RS Swasta dibayar murah.

Oleh karena itu, tegas Iqbal, kasus kematian adalah pintu masuk untuk mencabut aturan INA CBGs dan menggantinya dengan Fee for Service Terukur (pembiayaan kepada klinik dan RS Swasta pada tingkat yang wajar).

“Dengan menghapuskan sistem INA CBGs, maka seluruh klinik dan RS Swasta di seluruh Indonesia tidak lagi keberatan apabila diwajibakan menjadi provider/jaringan yang melayani program BPJS Kesehatan (JKN/KIS) untuk seluruh masyarakat, termasuk buruh,” lanjutnya.

Jika tidak segera diambil tindakan, Iqbal khawatir kasus bayi Debora ini akan terus terulang. Apalagi mayoritas RS Swasta terutama Type A (seperti RS Mitra Keluarga Kalideres) ini bukan jaringan pelayanan BPJS Kesehatan. Sehingga masyarakat atau buruh yang berpenghasilan rendah tidak akan dilayani kalau tidak membayar sanggup membayar sesuai aturan Rumah Sakit tersebut.

“Lain halnya kalau RS Mitra Keluarga menjadi jaringan pelayanan BPJS Kesehatan, maka cukup dengan kartu BPJS Kesehatan, masalah biaya bukan lagi kendala,” ujar Iqbal.

Agar RS seperti Mitra Keluarga bersedia menjadi provider BPJS Kesehatan, maka INA CBGs harus dicabut. Karena dengan sistem INA CBGs, yang diterima pihak rumah sakit tergolong kecil.

“Kalaulah RS Mitra Keluarga membuat surat rujukan ke RS terdekat yang menjadi provider BPJS Kesehatan, belum tentu bayi Debora akan dilayani. Karena untuk mendapatkan PICU harus mengantri, dan jika mengantri, maka resikonya adalah kematian,” terangnya.

Karena dibayar murah, seringkali peserta BPJS Kesehatan mendapat diskriminasi dan harus mengantri. Hal ini terlihat di banyak klinik dan RS provider BPJS Kesehatan. Bahkan operasi, cuci darah, PICU, dokter spesialis, semua mengantri.

“Pasien harus mengambil nomor urut jam 2 pagi, baru dilayani jam 2 siang. Bahkan kalau mau operasi menunggu 2 minggu hingga 1 bulan untuk menunggu giliran. Semua ini penyebannya adalah INA CBGs,” kata Iqbal.

Selain itu, Iqbal juga meminta Presiden Joko Widodo dan Menteri Kesehatan untuk tidak tutup mata terhadap kematian bayi Debora dan juga kematian-kematian pasien sebelumnya, maupun kematian-kematian yang mungkin akan terjadi pada masa mendatang.

Hal ini karena sistem INA CBGs yang diterapkan di BPJS Kesehatan adalah sebuah sistem yang kacau balau dan merugikan pelayanan terhadap pasen dan ancaman bangkrut bagi pegelola klinik dan Rumah Sakit yang menjadi provider BPJS Kesehatan.

“Karena itu KSPI mendesak agar INA CBGs dicabut, sebagaimana yang sudah disuarakan KSPI sejak awal disahkannya UU BPJS,” pungkas Iqbal. (R/R09/RS2)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.