Oleh: Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Tahun 2016 menjadi tahun paling mematikan bagi pengungsi dan migran pencari suaka yang menuju Eropa. Sebab, setidaknya 3.034 pengungsi dan migran tewas di Laut Mediterania antara 1 Januari – 28 Juli 2016, dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu hanya 1.970 jiwa.
Menurut Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), jumlah kematian meningkat 54 persen dalam periode yang sama dari tahun sebelumnya.
Selama setahun penuh 2015, setidaknya 3.771 pengungsi kehilangan nyawa mereka saat melintasi Laut Mediterania.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Mengingat angka yang mengkhawatirkan, 2016 akan mencetak angka rekor baru untuk kematian pengungsi. Hal ini menjadi tanda bahwa seruan organisasi hak asasi manusia untuk memberikan pelayanan yang lebih aman, telah diabaikan.
Niels Frenzen, Direktur Klinik Imigrasi di USC Gould School of Law, California, mengatakan, kebijakan yang diterapkan dengan keras lebih berfokus pada kontrol perbatasan dan kurang pada kecenderungan untuk perlindungan kemanusiaan.
Meningkatnya kematian pengungsi dan migran yang berusaha menyeberang ke Eropa, lebih dikarenakan perahu yang digunakan tidak aman dan kelebihan beban.
Menurut Frenzen, kondisi ekstrim sangat mempengaruhi perdebatan di Eropa dan Amerika Serikat, bagaimana tentang perlindungan terhadap pengungsi dan kemungkinan akan menghasilkan kebijakan yang lebih tegas.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
“Kebijakan garis keras yang diambil oleh Hungaria dan negara-negara timur Uni Eropa lainnya adalah alasan yang signifikan bagi Uni Eropa menetapkan negosiasi perjanjian Uni Eropa-Turki,” katanya.
Sementara itu, sejak diterapkannya kesepakatan Uni Eropa-Turki, korban di rute Laut Mediterania timur antara Turki dan Yunani, turun drastis. Hingga saat ini, orang meninggal di tahun 2016 berjumlah 383 jiwa di rute tersebut, sementara rute dari Libya ke Italia sebanyak 2.606 jiwa.
“Ini bukan hanya noda pada ‘nilai-nilai’ Eropa, tetapi juga ancaman terhadap stabilitas negara di mana para pengungsi dan migran dipaksa pulang,” kata Mattia Toaldo, seorang anggota di Dewan Eropa Hubungan Luar Negeri (ECFR).
Menurutnya, sebagian negara besar seperti Perancis dan Inggris, hampir sepenuhnya mengisolasi diri dari krisis pengungsi ini.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
“Perbatasan Eropa di Balkan telah ditutup, puluhan ribu orang terdampar di Yunani dan banyak lagi yang terkunci di Suriah (perbatasan) karena Turki tidak tertarik membiarkan mereka masuk,” kata Toaldo.
Seperti Perbudakan
Kebanyakan para pengungsi dan migran yang berangkat dari Libya melalui laut menuju Eropa adalah dari negara-negara Afrika. Pengungsi Suriah memilih berhenti menggunakan rute Libya untuk masuk Eropa karena tingginya bahaya.
Dalam laporan terbaru, Dokter Lintas Batas (MSF) menyamakan kondisi penyelundupan di Libya seperti “perdagangan budak”.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
“Dalam praktek seperti perbudakan, banyak orang yang telah menggambarkan bagaimana mereka diambil paksa dan ditahan untuk tujuan kerja paksa,” kata MSF.
Para migran sering ditahan oleh para makelar. Di malam hari mereka dikunci di dalam tempat seperti rumah-rumah pribadi atau gudang. Di siang hari, laki-laki dipaksa untuk bekerja di lokasi konstruksi atau peternakan. Hal itu sering terjadi selama berbulan-bulan pada satu waktu, sampai mereka bisa membayar harga agar mereka bisa bebas. Banyak wanita yang melaporkan dirinya telah disimpan di penangkaran sebagai pembantu rumah tangga atau dipaksa melacur.
Kondisi yang buruk di Libya adalah salah satu faktor pendorong utama bagi migran di negara itu untuk migrasi melalui laut Mediterania ke Italia, negara yang menjadi salah satu pintu utama masuk ke Eropa.
“Dulu Libya menjadi negara tujuan, tetapi sekarang, karena sudah menjadi neraka seperti itu, orang mencoba untuk melarikan diri ke Eropa sebisa yang mereka dapat,” kata Toaldo.
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Wanita Nigeria mendominasi
Menurut Kementerian Dalam Negeri Italia, setidaknya 3.529 perempuan Nigeria telah tiba melalui penyelundupan kapal selama 2016, dibandingkan dengan 1.491 perempuan pada periode yang sama tahun lalu.
Nigeria adalah salah satu negara menyuplai migran tertinggi ke Libya. IOM mengatakan, setidaknya 80 persen anak perempuan Nigeria menjadi korban perdagangan manusia.
“Mereka terjerat oleh perbudakan dan dikenakan ritual voodoo guna mencuci otak mereka untuk menerima nasib,” kata juru bicara IOM Roma Flavio Di Giacomo. “Mereka meyakini bahwa setiap upaya untuk melarikan diri atau memberontak melawan pedagang akan membahayakan mereka dan keluarganya.”
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Kelompok penyelundupan manusia sering saling bekerja sama membentuk jaringan.
Sering orang yang diselundupkan melewati tangan seseorang dari satu kelompok ke kelompok lainnya sebagai bagian dari paket.
Kadang-kadang kelompok penyelundup bertarung satu sama lain, menculik migran dari operasi penyelundupan kelompok lain, yang kemudian menetapkan harga baru kepada migran atau keluarganya.
Menurut IOM, tahun lalu lebih dari satu juta pengungsi tiba di Eropa. Untuk tahun ini, setidaknya 251.557 telah tiba, meningkat 14 persen dari tahun lalu pada periode yang sama. (P001/P4)
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Sumber: Tulisan Anealla Safdar di Al Jazeera
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin