Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

KEPEDULIAN UMAT UNTUK ROHINGYA LAMPAUI NURANI PEMERINTAH

Rudi Hendrik - Ahad, 17 Mei 2015 - 12:48 WIB

Ahad, 17 Mei 2015 - 12:48 WIB

1812 Views

Wanita tua Muslim Rohingya berdoa setelah dibantu oleh masyarakat Aceh. (Foto: dok. www.radioelnury.com)

ROHINGYA-08-300x200.jpg" alt="Ratusan migran Rohingya dan Bangladesh makan bersama di tempat penampungan GOR Lhoksukon, Aceh Utara, Selasa 12 Mei 2015. (Foto: Portal Satu)" width="300" height="200" /> Ratusan migran Rohingya dan Bangladesh makan bersama di tempat penampungan GOR Lhoksukon, Aceh Utara, Selasa 12 Mei 2015. (Foto: Portal Satu)

Oleh: Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Seketika Indonesia disorot oleh dunia internasional karena mengambil dua langkah yang saling bertentangan terkait kedatangan gelombang migran rohingya/">Muslim Rohingya dan Bangladesh di Aceh Utara.

Langkah pertama adalah penerimaan warga Aceh terhadap terdamparnya beberapa perahu migran yang memuat lebih 500 migran di pantai mereka dalam kondisi kurus, lemah, sakit dan kelaparan. Tak sedikit pula yang mencapai batas usianya di tengah laut.

Ketakutan, putus asa dan tangisan yang mereka bawa seketika sirna ketika pemerintah dan rakyat Aceh dengan ramah menyambut dan loyal membantu mereka. Wajah-wajah senyum kembali muncul setelah hilang tergerus oleh penderitaan di negeri kelahirannya (Myanmar) dan selama perjalanan maut melintasi perbatasan dan terapung di tengah laut berbulan lamanya.

Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa

Langkah kedua yang membuat Indonesia menjadi sorotan adalah mengusir perahu migran dari perairan Indonesia, padahal perahu mengangkut sekitar 400 migran Rohingya yang kehabisan bahan bakar, makanan dan air minum.

Meskipun Angkatan Laut Indonesia berdalih bahwa para migran telah dibantu dengan bahan bakar, makanan dan air untuk meneruskan perjalanan ke Malaysia, negara yang menjadi tujuan utama para migran, tetap saja dunia menganggap pemerintah Indonesia telah berbuat kejam terhadap pengungsi, bahkan PBB memperingatkan Indonesia dan Malaysia terkait sikapnya dalam menerima kedatangan ribuan migran dari Myanmar dan Bangladesh itu.

Ketika negara kecil Malaysia baru mengatakan “cukup” bagi kedatangan migran setelah menerima lebih 45.000 asal Myanmar, rasanya terlalu dini bagi pemerintah Indonesia untuk mengatakan “cukup” ketika baru menampung sekitar seribu migran saja, apa lagi Indonesia negara besar dan luas, di mana etnis Rohingya memiliki banyak saudara seakidah di sini.

Kepedulian umat mengalahkan nurani pemerintah

Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat

Umat Islam di berbagai negara tidak menutup mata atas derita saudara-saudara mereka di Myanmar, yaitu rohingya/">Muslim Rohingya atau Muslim Rakhine. Namun batas-batas negara dan rumitnya prosedural yang dipasang oleh pemerintah Myanmar yang sama sekali tidak berniat menolong mereka, membuat bantuan rasanya mustahil sampai.

Kondisi inilah yang akhirnya memaksa puluhan ribu rohingya/">Muslim Rohingya nekat melakukan perjalanan laut yang berbahaya menggunakan jasa para agen atau tekong yang tidak bertanggung jawab. Di dalam perjalanan ini pun mereka menjadi mangsa empuk bagi pedagang dan penyelundup manusia.

Maka ketika ratusan migran rohingya/">Muslim Rohingya terdampar di Aceh dengan kondisi yang mengenaskan pada Ahad pagi tanggal 10 Mei 2015, tidak ada lagi halangan bagi Muslim Indonesia untuk membantu mereka.

ROHINGYA-09-300x200.jpg" alt="Keramahan dan bantuan warga Aceh membuat warga rohingya/">Muslim Rohingya kembali tersenyum dan melihat harapan. (Foto: Portal Satu)" width="300" height="200" /> Keramahan dan bantuan warga Aceh membuat warga rohingya/">Muslim Rohingya kembali tersenyum dan melihat harapan. Aktivitas pengungsi di tempat penampungan TPI Kuala Cangkoi, Kec. Lapang, Aceh Utara, Kamis 14 Mei 2015. (Foto: Portal Satu)

Cerita penderitaan etnis rohingya/">Muslim Rohingya di negerinya dan di sepanjang perjalanannya menuju negeri harapan, membuat rakyat Aceh yang berkarakter reaktif dan loyal menaruh simpati. Bantuan spontan rakyat Aceh Utara segera diberikan kepada para migran yang kondisinya membuat hati Muslim dunia menangis.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat

Bantuan spontanitas dari Gubernur Aceh Zaini Abdullah berupa tiga truk sembako dan lainnya, tidak terlihat sebagai bantuan dari pemerintah, tapi bantuan secara pribadi sebagai seorang tokoh Muslim dan Aceh.

Bantuan masyarakat di daerah-daerah yang menjadi lokasi penampungan bagi ratusan migran Rohingya dan Bangladesh menjadi reaksi bantuan awal yang kemudian disusul oleh bantuan dari kalangan yang lebih luas di Aceh. Muslim Indonesia yang sudah lama memendam hasrat membantunya, akhirnya akan membantu secara berduyun-duyun.

Jelas akan sangat kontras jika pemerintah pusat Indonesia seolah menutup mata dan membiarkan pemerintah Aceh cukup mewakili saja, seolah sebagai formalitas kepedulian saja. Alasan tidak memiliki dana anggaran sosial yang cukup, terlebih untuk migran asing, menjadi alasan klasik yang sudah basi. Dan terlebih tidak masuk akal jika “tidak ada tempat lagi” dijadikan alasan untuk menolak kedatangan migran-migran yang sudah nyaris mati, bahkan sudah banyak yang mati.

Sikap baik dan bantuan pemerintah Aceh yang diberikan untuk pengungsi adalah suatu kebijakan yang wajar dan wajib. Akan menjadi aib yang sangat memalukan jika Aceh yang pernah menjadi pusat kerajaan dan masyarakat Islam, menolak kedatangan saudara-sudara seakidah mereka yang datang memerlukan pertolongan, apa lagi sampai mengusirnya.

Baca Juga: Tertib dan Terpimpin

Tingginya solidaritas keumatan di Aceh terbukti ketika berbagai elemen sipil Aceh yang terdiri dari dosen muda, perwakilan BEM universitas, OKP serta organisasi mahasiswa dan sejumlah gerakan sosial, sepakat membentuk Aliansi Masyarakat Aceh Peduli Rohingya.

Tim ini dibentuk karena elemen sipil di Aceh menilai perlu ada perjuangan bersama dari Aceh untuk menyelamatkan nasib rohingya/">Muslim Rohingya.

“Atas dasar ini kita duduk bersama dengan lintas organisasi. Kita sepakat membentuk Aliansi Masyarakat Aceh peduli Rohingya,” kata Darlis Azis dari KAMMI Aceh di Warung Makan Bintang Lima Blang Bintang, Sabtu siang, 16 Mei 2015.

Tim ini sepakat merumuskan perjuangan bersama masyarakat Aceh guna memperjuangkan nasib Rohingya, mulai dari advokasi, kebutuhan sandang dan pangan di tempat penampungan hingga hak-hak warga Rohingya nantinya.

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat

“Kita ajak semua lembaga untuk bergabung serta tidak ada pemaksaan dan penokohan,” katanya.

Aliansi menunjuk Basri Effendi, dosen Fakultas Hukum Unsyiah sebagai koordinator. Sedangkan posko pusat rencananya di Anjungan Kota Banda Aceh di Taman Ratu Safiatuddin.

Aliansi juga telah menyusun rencana penggalangan dana besar-besaran untuk pengungsi Rohingya ini.

Beberapa bulan yang lalu, atas nama rakyat Aceh, pemerintah Provinsi Aceh berhasil mengumpulkan dana bantuan lebih Rp 6 miliar untuk rakyat Palestina yang nun jauh di sana. Tentunya hal yang sama bisa diperbuat rakyat Aceh kepada para rohingya/">Muslim Rohingya yang berlabuh di Tanah Rencong itu.

Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?

Memberdayakan pengungsi

ROHINGYA-10-300x200.jpg" alt="Razu (tengah), migran dari Bangladesh mengungkapkan ingin tinggal terus di Aceh dan menikah dengan gadis Aceh, karena warga Aceh ramah dan baik. (Foto: Portal Satu)" width="300" height="200" /> Razu (tengah), migran dari Bangladesh mengungkapkan ingin tinggal terus di Aceh dan menikah dengan gadis Aceh, karena warga Aceh ramah dan baik. (Foto: Portal Satu)

Akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Ar Raniry Banda Aceh, Budi Azhari, meminta Pemerintah Aceh untuk mencari solusi jangka panjang dalam penanganan para migran tersebut.

“Salah satunya mendesak pemerintah Jakarta agar menekan Pemerintah Myanmar. Kalau itu tidak bisa, maka Pemerintah Aceh harus mencari solusi untuk mereka. Jangan biarkan mereka diusir oleh semua negara,” ujarnya kepada portalsatu.com, Sabtu, 16 Mei 2015.

Budi mengatakan, para migran Rohingya dapat diberikan kehidupan yang layak dengan menerima mereka sebagai warga Aceh. Mereka bisa difasilitasi hidup di pulau terluar Aceh, seperti Pulau Beureuh atau Pulau Nasi, maka pulau akan maju bersama warganya, karena kegiatan ekonomi akan jalan.

Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang

Menurut Budi, untuk sementara mereka memang harus difasilitasi, seperti program transmigrasi.

Budi juga mengatakan perlunya peranan pemerintah Aceh untuk meyakinkan pemerintah Jakarta terkait ketakutan berbagai pihak jika para Rohingya diberikan tempat berdomisili di Indonesia. Pemerintah Aceh juga harus meyakinkan negara-negara dan organisasi Islam dunia untuk sama-sama membantu Rohingya yang terusir dari negerinya.

Di sisi lain dia mengingatkan para pejabat daerah yang ada di Aceh bahwa mereka juga pernah merasakan sebagai pencari suaka di negara lain. Negara tujuan warga Aceh saat itu adalah Swedia, Malaysia, Australia dan beberapa negara lain.

Usulan memberdayakan pengungsi negara lain juga menjadi salah satu solusi yang diajukan untuk menyelamatkan kota Detroit di negara bagian Michigan, Amerika Serikat, dari kebangkrutan akut.

Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat

“Dua bencana sosial dan kemanusiaan ini (kebangkrutan kota Detroit dan krisis pengungsi Suriah) disatukan untuk menghasilkan sesuatu yang positif,” tulis Profesor Stanford, David Laitin dan mantan Kepala Perusahaan Pengembangan Perumahan New York City, Marc Jahr.

Kedua pakar itu mencatat, Gubernur Michigan Rick Snyder sebelumnya telah menyerukan suntikan 50.000 imigran sebagai bagian dari program untuk menghidupkan kembali kota Detroit.

Menurut mereka, warga Suriah akan ideal bagi sebuah kota yang sudah memiliki komunitas Arab-Amerika yang hidup dan berwirausaha di Detroit.
Detroit yang dinyatakan bangkrut tahun lalu, sedang berjuang memulihkan kembali “Kota Penggerak” yang kini menjadi “Kota Kosong”.

Jumlah penduduknya telah jatuh dari 1,9 juta jiwa pada pertengahan abad ke-20 menjadi 700.000 orang, meninggalkan pemandangan bangunan kosong yang luas karena ditinggalkan dan banyak lahan kosong.

Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin

Jika para pengungsi hanya sekedar ditampung atau dibiarkan begitu saja, pastinya akan menimbulkan masalah. Akan berbeda ketika para pengungsi dibantu untuk memberdayakan diri dan wilayah pengungsian.

Seperti diketahui, ribuan warga Rohingya meninggalkan negaranya lantaran tidak diakui sebagai warga negara oleh pemerintahan rezim Myanmar, karena menganggap masyarakat Muslim ini bukan kelompok etnis yang sudah ada di Myanmar, sebelum kemerdekaan Myanmar pada 1948. Hal itu ditegaskan kembali oleh Thein Sein, Presiden Myanmar dalam laporan Al Jazeera pada 29 Juli 2012, bahwa negaranya tidak mungkin memberikan kewarganegaraan kepada kelompok Rohingya yang dianggap imigran gelap dan pelintas batas dari Bangladesh. Mereka menyebutnya orang “Bengali”.

Parahnya lagi rohingya/">Muslim Rohingya di Arakan turut mengalami berbagai macam kejahatan dari kelompok Budhis Rakhine dan aparatnya yang sudah termasuk dalam pembersihan etnis. Di negara ini, desa-desa Muslim dibakar, masyarakat Muslim dibantai, para wanita Muslim diperkosa, harta mereka dijarah, dan yang selamat terpaksa mengungsi ke negara-negara tetangga. Hingga saat ini, penderitaan Muslim di sana belum juga berakhir, termasuk ratusan Rohingya yang kini kembali berlabuh di pantai Aceh, Indonesia.

Dalam tiga tahun terakhir, serangan terhadap etnis Rohingya di negerinya telah menewaskan ratusan orang dan memicu eksodus sekitar 120.000 orang yang telah naik kapal pedagang manusia, menyelamatkan diri ke negara-negara lain.

Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa

Jika pemerintah Indonesia tidak sanggup menerima dan membantu rohingya/">Muslim Rohingya, maka Muslim Indonesia – khususnya Aceh – lebih sanggup membantu saudara-saudara mereka. (P001/P2)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
Indonesia
Indonesia
Indonesia