Lebih dari 250 warga Palestina telah terbunuh sejak peluncuran aksi Great March of Return di sepanjang perbatasan Gaza dengan Israel pada 30 Maret 2018.
Warga Palestina yang berpartisipasi dalam protes pekanan tersebut menuntut hak mereka untuk kembali ke tanah air mereka di sisi lain dari perbatasan, tempat para orang tua mereka diusir puluhan tahun sebelumnya.
Setiap dua dari tiga warga Palestina di Gaza adalah pengungsi.
Para pemrotes juga menyerukan diakhirinya blokade darat, laut, dan udara Israel di Gaza, yang sekarang memasuki tahun ke-12. Blokade telah menjerumuskan wilayah itu ke dalam kemiskinan dan keputusasaan.
Baca Juga: Pengungsi Sudan Menemukan Kekayaan Di Tanah Emas Mesir
Mohammed Zaanoun, anggota kolektif foto Activestills, telah mendokumentasikan Great March of Return sejak awal.
Pada tulisan “Kesaksian Para Pejuang Protes Great March of Return di Gaza” sebelumnya, diungkapkan kesaksian empat pejuang aksi Great March of Return.
Berikut ini adalah kesaksian lima pejuang Great March of Return lainnya.
Kesaksian Muhammad, 20 tahun dari Al-Shujaiya, timur Gaza City
Baca Juga: Terowongan Silaturahim Istiqlal, Simbol Harmoni Indonesia
Saya berasal dari keluarga miskin. Saya tidak bisa mendapatkan pendidikan karena kondisi kehidupan yang mengerikan dan fakta bahwa ayah saya tidak mampu membayar studi saya. Saya bergabung dengan protes setiap pekan karena saya yakin kami memiliki hak untuk kembali ke rumah kami. Saya belum hidup pada saat kakek nenek saya diusir dari rumah mereka. Tetapi hari ini, saya menegaskan hak saya untuk kembali ke tanah kakek nenek saya.
Tidak ada masa depan bagi kaum muda di Gaza. Kawan-kawan kami gugur di March of Return setelah penembak jitu menembak mereka dengan peluru. Kami biasanya mengingat kata-kata terakhir mereka dan ini mendorong kami untuk terus maju. Saya terluka dua kali, sekali serius, tetapi saya mendapatkan kembali kekuatan saya dan saya bergabung kembali dengan pawai. Kami tidak meminta apa pun dari dunia, tetapi untuk menyaksikan bagaimana kami dapat mengubah realitas kami dengan tangan kami sendiri. Kami membutuhkan kebebasan dan stabilitas. Kami menginginkan tanah air dan pekerjaan.
Aya, gadis 21 tahun dari Gaza City
Saya tahu saya bisa dibunuh oleh penembak jitu Israel, tetapi jika saya tinggal di rumah, blokade akan menjadi lebih buruk dan dunia akan melupakan tujuan kami.
Baca Juga: Bukit Grappela Puncak Eksotis di Selatan Aceh
Kami (wanita) kuat, sama seperti pria, dan kami akan mengambil bagian dalam perubahan politik. Alih-alih dikritik, kami menerima dukungan penuh dari pria, keluarga dan teman-teman. Tidak ada yang bisa mencegah kami ikut dalam protes.
Di March of Return, Anda menyaksikan banyak hal buruk. Hari paling berdarah adalah 14 Mei, penuh dengan adegan tragis yang menghancurkan hati kami ketika menyaksikan orang-orang Israel membunuh para pemuda dengan darah dingin. Saya terluka berkali-kali dan saya pulih lalu kembali lagi untuk mengambil bagian bersama teman-teman saya. Saya telah kehilangan orang-orang terkasih, tetapi kami mengikuti jalan mereka dan kami akan bertemu di surga.
Kami telah mengirim pesan kuat kepada dunia untuk mendukung kami dan menekan penjajah untuk menghentikan penindasannya. Kami menunggu hal itu terjadi, dan kami terus protes.
Baca Juga: Masjid Harun Keuchik Leumik: Permata Spiritual di Banda Aceh
Kesaksian Asma, gadis 23 tahun dari Gaza City
Kami wanita membuat perbedaan dalam sejarah perjuangan. Kami memastikan untuk selalu berada di sana karena kami adalah bagian dari tujuan ini. Ya, perempuan memiliki peran dalam politik dan perjuangan. Wanita dan pria berdiri bahu-membahu dan tidak ada perbedaan dalam cara kita menghadapi tentara. Saya didukung oleh keluarga, saudara, dan teman saya dan tidak ada kritik dari pria. Sebaliknya, mereka mendukung kami.
Kami kehilangan para syuhada dan banyak lainnya terluka. Satu-satunya hal yang dilakukan dunia adalah mengutuk pembunuhan yang berlebihan, yang sangat buruk bagi kita. Tetapi kami perlu melihat dunia menegakkan tanggung jawabnya terhadap Palestina dan Gaza.
Saya menanti-nanti masyarakat yang memiliki kebebasan dan budaya, tempat perempuan setara dengan laki-laki, seperti di March of Return.
Baca Juga: Temukan Keindahan Tersembunyi di Nagan Raya: Sungai Alue Gantung
Kesaksian Raghda, gadis 18 tahun dari Gaza City
Untuk tinggal di Gaza berarti Anda akan terus menderita karena pemadaman listrik yang lama dan ketidakmampuan untuk melakukan pekerjaan rumah, disamping suara ledakan. Impian saya adalah menjadi dokter untuk menyelamatkan nyawa orang yang terluka.
Saya menghadapi orang Israel di perbatasan dan saya tidak takut dengan tembakan mereka. Dunia harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan hidup kami.
Baca Juga: Kisah Perjuangan Relawan Muhammad Abu Murad di Jenin di Tengah Kepungan Pasukan Israel
Kesaksian Hidaya, wanita 39 dari Gaza City
Adalah hak kami untuk mempertahankan tanah kami. Saya menyadari bahaya yang kami hadapi, tetapi jika saya tinggal di rumah, itu lebih berbahaya bagi kami.
Putra bungsu saya terluka parah di perutnya. Saya meminta Tuhan membuatnya tetap hidup dan terima kasih Tuhan, dia baik-baik saja sekarang dan dia masih berpartisipasi dalam March of Return. Saya terluka dua kali dan saya pulih dengan sangat cepat.
Baca Juga: Pejuang Palestina Punya Cara Tersendiri Atasi Kamera Pengintai Israel
Saya berharap dunia akan menekan pendudukan, tetapi setelah Trump mengumumkan kepindahan Kedutaan AS ke Yerusalem, saya menyadari bahwa dunia bersekongkol dalam kejahatan terhadap Palestina.
Saya berharap negara-negara dunia akan bangun dari tidur mereka dan berdiri melawan pendudukan yang menindas. Saya berharap agar Palestina dibebaskan dari pendudukan. (AT/RI-1/P2)
Sumber: tulisan Mohammed Zaanoun di The Electronic Intifada
Baca Juga: Catatan Perjalanan Dakwah ke Malaysia-Thailand, Ada Nuansa Keakraban Budaya Nusantara
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Pengabdian Tanpa Batas: Guru Honorer di Ende Bertahan dengan Gaji Rp250 Ribu