Kesedihan Sang Presiden

Oleh : Taufiqurrahman, Redaktur Kantor Berita MINA Edisi Arab

Tahun 2020 benar-benar berat bagi sang Presiden RI, .  Kepemimpinnanya teruji karena Covid-19. Dunia prihatin, persentase angka kematian akibat Covid-19 di Indonesia tertinggi kedua setelah Italia. Dan paling tinggi se-Asean.

Tentu ia sedih. Dan makin sedih saat sang Ibunda meninggal. Empat tahun menderita kanker, katanya.

Foto Pak Jokowi menutup muka di samping jenazah ibunya ramai di media massa. Berat sekali tampaknya.Kamis siang dimakamkan di Solo.

Malamnya ia harus tampak tegar di hadapan pemimpin negara-negara G20. Mengikuti sidang KTT Luar Biasa G20. Membahas corona. Dari Bogor secara virtual. Dan masih dalam kondisi berkabung.

Virus seukuran 0,125 mikron itu telah memporak-porandakan dunia. Di Indonesia situasinya sangat mengkhawatirkan. Jumlah kematian akibat corona di Indonesia jadi sorotan. Persentasenya 8,9 persen. Nomor dua setelah Italia.

Skenario terburuk, kata Associate CMMID profesor Stefan Flasche, akhir April bisa saja 1 juta kasus positif corona. Jika benar, mampukah Indonesia menghadapinya ? Banyak yang ragu dan miris.

Infrastruktur medis kita jauh di atas normal. Ledakan pasien covid19 menghantui fasilitas kesehatan. Jumlah nakes terbatas. Jumlah dokter yang meninggal karena covid 19 hingga kini 9 orang. Mengalahkan Tiongkok yang 6 orang.

APD kita mencemaskan. Banyak nakes yang terpaksa pakai jas hujan. Tentu tidak menjamin keamanan mereka. Mungkin karena ini banyak mereka yang tertular dan meninggal. Itu di Jakarta, bagaimana di daerah-daerah ?

Realita di masyarakat tak kalah mencemaskan. Himbauan stay at home jadi dilema. Di satu sisi banyak yang harus out of home. Cari nafkah. Di sisi lain harus berhadapan dengan hantu corona. Tukang ojol misalnya. Maka narik jadi taruhan. Akhirnya pendapatan mereka turun drastis.

Gerakan lockdown mandiri jadi tidak masif. Masyarakat butuh pangan. Mereka harus keluar mencari. Maka pasarpun buka. Warung-warung masih jualan. Tidak ada yang menjamin pangan mereka jika harus rebahan di rumah.

Pemerintah pusat tak berani jamin. Lockdown wilayah berarti ada jaminan distribusi pangan gratis untuk rakyat. Mungkin Jakarta bisa, seperti disebut Dewan Guru Besar FKUI. Uangnya ada. 14 hari lockdown Jakarta butuh Rp.4 triliun. Penerimaan pajaknya perbulan di atas Rp. 1.000 triliyun. Tapi tidak dengan daerah lainnya. Yang jumlah penduduknya lebih besar tapi dananya kecil.

Untungnya banyak pemerintah daerah di skala paling kecil yang tak mau bergantung pemerintah. Mereka pilih lockdown sendiri. Melawan himbauan pemerintah. Uangnya ?

Di Purbalingga, Pemdes Gunungwuled gunakan APBD sebanyak Rp. 21 juta untuk hidupi 30 KK selama 14 hari.

Di Tegal Walikota siapkan Rp 2 miliar untuk lockdown. Dananya himpunan sukarela ASN dan anggota DPRD Tegal.

Akhirnya lockdown jadi pilihan pahit. Kalau ujung-ujungnya lockdown mengapa tidak segera ?

Sayangnya kita lebih senang mengobati dari pada mencegah. Padahal kita tahu obat dan dokter yang kita punya terbatas. Padahal kita tahu uang kita tak cukup untuk beli obat. Padahal kita tahu obat belum tentu menyembuhkan. Atau sebenarnya kita tidak tahu ?

Covid 19 sudah berubah jadi krisis ekonomi. Nilai tukar rupiah sempat merosot tajam. Bayang-bayang krisis 1998 menghantui. Semoga tidak.

Tapi saya setuju statemen Nana Akufo Addo, Presiden Ghana. Yang viral di Indonesia. Dan sebaiknya Pak Jokowi lebih menjiwainya. Agar kesedihan tahun ini terlewati dengan senyuman.

“Kami tahu cara menghidupkan kembali ekonomi. Yang kami tidak tahu adalah cara menghidupkan kembali manusia,” kata Nana usai mengumumkan lockdown parsial di Republik Ghana. (RA 02/P1)

Wartawan: توفيق

Editor: Ismet Rauf

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.