Oleh Hayu S. Prabowo, Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam MUI
Beberapa pekan terakhir, suhu udara di berbagai wilayah Indonesia terasa jauh lebih panas dari biasanya. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mencatat suhu maksimum mencapai 37,6°C di sejumlah daerah.
Fenomena ini bukan sekadar “musim panas”, melainkan bagian dari heat spell—periode panas ekstrem akibat gerak semu matahari dan pengaruh angin timuran yang membawa udara kering.
Cuaca panas ekstrem ini bukan sekadar peristiwa cuaca sesaat. Ia adalah cermin dari sistem bumi yang sedang berjuang menyeimbangkan diri.
Baca Juga: Perdamaian Tidak Akan Terwujud Tanpa Negara Palestina
Kelembapan tanah menurun, udara semakin kering, dan vegetasi mulai kehilangan kemampuan menyimpan air. Bumi seperti sedang berbicara, memberi peringatan halus bahwa hubungan manusia dengan alam sudah tidak seimbang.
Dampak gelombang panas kini terasa di banyak lini. Di bidang kesehatan, masyarakat mengalami dehidrasi, kelelahan, dan meningkatnya risiko penyakit akibat stres panas. Pekerja lapangan, anak-anak, dan lansia menjadi kelompok paling rentan.
Di sektor pertanian, suhu tinggi mempercepat penguapan dan menurunkan produktivitas tanaman. Peternak pun menghadapi hewan ternak yang stres panas dan menurun produktivitasnya.
Fenomena ini juga berdampak pada energi dan ekonomi. Kebutuhan listrik melonjak karena penggunaan pendingin udara meningkat, sementara sumber air untuk irigasi dan pembangkit energi terus berkurang.
Baca Juga: Tahanan Palestina Abu Moussa Pulang, tapi Gaza telah Hancur dan Keluarganya telah Gugur
Di kawasan perkotaan, efek pulau panas urban memperparah kondisi. Beton dan aspal menyerap panas siang hari dan melepaskannya di malam hari, menyebabkan suhu tetap tinggi bahkan setelah matahari terbenam.
Secara ekologis, cuaca panas ekstrem meningkatkan risiko kekeringan, kebakaran hutan, dan penurunan kualitas udara. Jika dibiarkan, fenomena ini dapat memicu krisis ekologis yang mengancam ketahanan pangan, kesehatan, dan keberlanjutan lingkungan. Karena itu, langkah adaptasi dan mitigasi menjadi sangat penting.
Sebagai umat beragama, kita perlu menafsirkan fenomena ini dengan kesadaran spiritual. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT mengingatkan bahwa kerusakan di darat dan laut terjadi akibat perbuatan tangan manusia (QS. Ar-Rum: 41).
Ayat ini menegaskan bahwa perubahan iklim bukan hanya isu ilmiah, tetapi juga krisis moral dan keimanan. Menjaga bumi berarti menunaikan amanah Ilahi untuk melindungi kehidupan (hifz al-nafs) dan alam (hifz al-bi’ah).
Baca Juga: Muka Tembok: Netanyahu dan Ambisi di Atas Darah
Sudah saatnya pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat memperkuat kolaborasi dalam menghadapi gelombang panas dan dampak perubahan iklim. Langkah nyata seperti memperluas ruang terbuka hijau, meningkatkan literasi iklim, dan mengembangkan teknologi adaptif perlu terus digalakkan.
Di tingkat rumah tangga, kesadaran sederhana seperti hemat energi, menanam pohon, dan mengelola air secara bijak merupakan bentuk ibadah ekologis yang bernilai besar.
Cuaca panas ekstrem yang melanda saat ini bukan hanya fenomena meteorologis, tetapi peringatan dari bumi. Alam sedang memanggil manusia untuk kembali menjaga keseimbangan.
Jika kita mampu menanggapi panggilan ini dengan ilmu, iman, dan tindakan nyata, maka gelombang panas hari ini dapat menjadi titik balik menuju masa depan bumi yang lebih teduh, lestari, dan penuh keberkahan. []
Baca Juga: [POPULER MINA] Israel Langgar Gencatan Senjata di Gaza dan Pertukaran Tahanan
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Taaruf Dunia Konstruksi: Hikmah Robohnya Mushala Pesantren Al Khozini