DULU, ilmu lahir dari rahim keikhlasan. Guru mengajar dengan hati, murid belajar dengan hormat, dan orang tua berdoa di setiap sujud agar anaknya menjadi cahaya bagi dunia. Tapi kini, di zaman yang disebut modern, ilmu sering kehilangan ruhnya. Ia masih ada di buku, di ruang kelas, di layar gawai, tapi tak lagi menyala dalam hati manusia. Ilmu kini pandai berbicara, namun kehilangan rasa. Pandai menjelaskan, namun tak lagi menuntun kepada kebenaran.
Sekolah-sekolah megah berdiri di mana-mana. Gedungnya menjulang, fasilitasnya lengkap, kurikulumnya terus diperbarui. Namun di tengah kemegahan itu, semakin sulit ditemukan murid yang memiliki adab. Di ruang-ruang kelas yang sejuk oleh pendingin ruangan, banyak hati yang justru beku. Guru tidak lagi menjadi panutan, melainkan hanya pengajar target nilai. Sementara murid belajar bukan untuk mencari kebenaran, tetapi sekadar untuk mengejar angka dan ijazah.
Dulu, pendidikan adalah jalan menuju kebijaksanaan. Kini, ia sering kali hanya menjadi tangga menuju kebanggaan. Dulu, guru dihormati karena ketulusannya, kini dihormati karena jabatan dan gajinya. Dulu, murid bersyukur karena bisa belajar, kini mereka bertanya: “Apa untungnya pelajaran ini untuk saya?” Dunia pendidikan perlahan kehilangan makna suci yang dulu diwariskan oleh para ulama dan pendidik sejati.
Inilah potret gelap pendidikan di akhir zaman: ilmu dipelajari tanpa niat ibadah, guru bekerja tanpa panggilan jiwa, murid belajar tanpa adab. Rasulullah SAW pernah bersabda, “Sesungguhnya di antara tanda-tanda dekatnya kiamat adalah diangkatnya ilmu, merebaknya kebodohan, dan diminumnya khamr.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Baca Juga: Meneguhkan Peran Santri di Era Digital
Ilmu diangkat bukan karena buku hilang atau guru tiada, tapi karena ilmu tak lagi diamalkan. Ilmu kehilangan barakahnya ketika tak lagi menumbuhkan akhlak, ketika hanya berhenti di otak dan tak menyentuh hati. Banyak orang berilmu tinggi, tapi tak sedikit di antara mereka yang rendah adab dan akhlaknya.
Anak-anak zaman kini pintar berbicara, tapi sulit menghormati. Mereka fasih berargumen, tapi kaku dalam berterima kasih. Mereka mampu menjelaskan teori moralitas, tapi kerap gagal mempraktikkannya dalam kehidupan. Ironisnya, dunia memuji kecerdasan mereka, padahal jiwa mereka sedang kekeringan. Ilmu yang seharusnya menuntun, kini malah menipu—karena tidak lagi bersumber dari nurani, melainkan dari ambisi.
Guru pun kini berada di persimpangan. Banyak yang ingin menyalakan cahaya, namun lilinnya terus ditiup angin zaman. Mereka berhadapan dengan sistem yang lebih menghargai angka daripada akhlak, lebih mengutamakan proyek daripada pengabdian. Tak sedikit guru yang akhirnya kehilangan semangat karena merasa hanya menjadi alat administratif, bukan pendidik sejati.
Di sisi lain, orang tua pun sering terseret arus dunia. Anak disekolahkan bukan agar menjadi manusia baik, tapi agar menjadi manusia sukses. Ukuran keberhasilan bukan lagi akhlak, tapi jabatan dan kekayaan. Mereka lupa bahwa Nabi ﷺ tidak pernah mengukur kejayaan umat dari banyaknya sarjana, tapi dari banyaknya orang yang beriman, berilmu, dan berakhlak mulia.
Baca Juga: Teknologi Bisa Mengajar, Tapi tak Mampu Membentuk Karakter
Maka jadilah kita generasi yang pandai menghitung, tapi lupa bersyukur. Pandai berbicara, tapi jarang mendengar. Pandai meraih nilai tinggi, tapi gagal menilai kebenaran. Pendidikan seolah berjalan di atas rel yang salah: semakin cepat melaju, semakin jauh dari tujuan aslinya.
Padahal, hakikat pendidikan bukan hanya mencetak manusia pintar, tapi menumbuhkan manusia bijak. Bukan hanya mengisi kepala, tapi juga menyiapkan hati untuk hidup dengan iman. Pendidikan yang benar bukan yang melahirkan persaingan, melainkan yang menumbuhkan kasih sayang dan kepedulian.
Kita butuh kembali kepada ruh pendidikan Islam yang diajarkan oleh Rasulullah ﷺ—pendidikan yang menanamkan adab sebelum ilmu, akhlak sebelum logika, dan iman sebelum kecerdasan. Sebab tanpa adab, ilmu hanyalah racun yang membahayakan. Imam Malik rahimahullah pernah berkata, “Pelajarilah adab sebelum engkau belajar ilmu.” Kalimat sederhana, namun kini terdengar seperti pesan dari masa lalu yang nyaris dilupakan.
Bayangkan jika setiap guru kembali mengajar dengan cinta dan keikhlasan, jika setiap murid kembali belajar dengan hormat dan rasa ingin tahu yang suci, jika setiap orang tua kembali berdoa agar anaknya menjadi orang beriman sebelum menjadi orang terkenal. Dunia pendidikan akan kembali bercahaya.
Baca Juga: Pelajaran Bahasa Inggris Wajib di Sekolah Dasar Mulai Tahun Ajaran 2027
Namun selama kita masih menjadikan ilmu sebagai alat untuk kebanggaan, bukan jalan menuju Allah, maka pendidikan akan tetap gelap. Ilmu tanpa iman hanyalah beban. Ia membuat manusia sombong dengan pengetahuannya, tapi rapuh dalam jiwanya. Ia membuat manusia bisa menaklukkan dunia, tapi gagal menaklukkan hawa nafsunya sendiri.
Mungkin inilah yang disebut para ulama sebagai zaman di mana “ilmu tak lagi mendidik”. Banyak sekolah, tapi sedikit yang beradab. Banyak gelar, tapi sedikit yang beriman. Banyak lulusan, tapi sedikit yang punya tujuan hidup yang benar.
Akhirnya, kita hanya bisa bertanya kepada diri sendiri: apakah kita sedang belajar untuk mencari ridha Allah, atau sekadar mencari pengakuan manusia? Apakah ilmu yang kita kejar menuntun kita menuju kebaikan, atau justru menjauhkan kita dari kebenaran?
Sebab di akhir zaman, bukan orang bodoh yang paling berbahaya, tetapi orang berilmu yang kehilangan arah. Mereka punya pengetahuan, tapi tidak punya petunjuk. Mereka tahu segalanya, kecuali bagaimana menjadi manusia yang benar. Dan di saat itulah, pendidikan berhenti menjadi cahaya — dan berubah menjadi bayangan gelap yang menutupi nurani umat manusia.[]
Baca Juga: Generasi Gawai dan Krisis Bahasa Anak
Mi’raj News Agency (MINA)