Oleh Bahron Ansori, jurnalis MINA
Jika mau merenung saja sejenak, maka kita ini bukan siapa-siapa. Kita bukan pula pejabat sekaliber Nabi Sulaiman AS. Kita bukan juga ulama mulia sebesar Hasan Al Bashri. Bahkan, kita bukan manusia teragung laiknya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasalam. Namun, mengapa saat ada orang menegur, menasihati dan meluruskan, hati kita menjadi tinggi, angkuh dan tidak terima? Kita bukan siapa-siapa kecuali hanya sekelompok manusia lemah yang masih bernafas di akhir jaman.
Jika hari ini Anda adalah seorang pemimpin, maka sesungguhnya kepemimpinan Anda hanyalah bentuk ujian dari Allah semata. Karena kepemimpinan itu ujian, maka tidak perlu merasa bangga dengannya. Karena kekuasaan itu manis, maka setelah rasa manis kekuasaan itu habis, rasa hampa dan hambar akan datang menyelimuti.
Jika mau berkaca pada sejarah, tentu seorang pemimpin akan bijak, berlapang dada, lalu menerima masukan saat ditegur. Sebab bisa saja, seorang pemimpin yang ditegur karena bukti rasa cinta dan wujud peduli orang-orang yang dipimpinnya agar sang pemimpin menjadi lebih baik lagi. Ditegur (dinasehati) bagi sebagian pemimpin memang bisa menimbulkan rasa tidak nyaman, dianggap rivalnya, dan sebagainya. Terlebih jika yang menasihati itu orang yang tidak faham adab bagaimana seharusnya menasihati pemimpin.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-4 ] Proses Penciptaan Manusia dan Takdir dalam Lauhul Mahfuzh
Namun, yang tak kalah penting dari semua itu adalah bagaimana menjadi pemimpin yang bijak. Pemimpin yang bijak, jika ada orang awam menasihatinya, selama itu adalah kebaikan, mau beradab atau tidak, cara menyampaikannya, maka ia akan tetap merasa legowo dan bersyukur sebab ada yang menariknya dari jurang kesalahan. Pemimpin yang bijak, akan melihat setiap nasihat adalah kebaikan untuk meningkatkan kualitas dirinya dalam memimpin.
Pemimpin yang bijak adalah pemimpin yang berjiwa besar. Bukan sekedar isi kepalanya saja yang cerdas karena aneka ragam ilmu pengetahuan yang dimiliki. Namun, jauh tak kalah penting ia juga mempunyai isi hati (iman) yang juga cerdas, emosionalnya cerdas, tidak mudah terpancing untuk marah. Dengan begitu, dia akan dicintai oleh setiap orang yang dipimpinnya. Ia akan dicintai rakyatnya.
Kisah yang Indah
Sebelum cahaya Allah terpatri kuat di sanubarinya, Umar bin Khattab adalah orang yang berperangai kasar, bengis dan kejam. Bahkan, suatu hari dalam sebuah riwayat disebut ia tega mengubur hidup-hidup seorang anak perempuannya karena merasa malu memiliki anak perempuan. Tak heran, setelah masuk Islam, salah satu dosanya di masa jahiliyah yang seringkali menghantuinya sehingga membuatnya mengucurkan air mata adalah dosa mengubur anaknya hidup-hidup.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-3] Rukun Islam
Biidznillah, setelah mendapatkan hidayah, dalam perjalanan ‘karir’ hidupnya, Umar menjadi satu di antara empat khalifah mulia menggantikan Abu Bakar Ash Shiddiq. Setelah di baiat, Khalifah Umar bin Khattab semakin tegas dan keras terhadap siapapun dari umatnya yang melakukan kemaksiatan dan dosa. Tidak perduli apakah yang berbuat kesalahan itu anak pejabat, rakyat jelata atauh bahkan darah dagingnya sendiri. Selama ia melanggar tatanan syariat yang telah digariskan Allah dan Nabi-Nya, maka ia akan mendapat hukuman yang setimpal.
Seperti diketahui, Umar bin Al Khathab, adalah salah satu sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam yang berkapasitas sebagai mujtahid ini suatu ketika berpidato di atas mimbar. Setelah memuji Allah, ia berkata. “Ketahuilah, janganlah kalian mempermahal mahar wanita, sebab seandainya hal itu merupakan suatu kehormatan di dunia atau ketaqwaan di sisi Allah, niscaya orang yang paling pertama melakukannya adalah Rasululullah, namun beliau tidak pernah memberikan mahar kepada seorang istrinya dan tidak juga seorang putrinya diberi mahar lebih dari dua belas uqiyyah.”
Tak selang berapa lama Umar turun dari mimbarnya. Arahan kalifah yang singkat, padat dan lugas. Namun, setelah itu, tiba-tiba datang seorang perempuan dari Quraisy. Tanpa basa basi wanita itu berkata, “Wahai pemimpin orang Mukmin. Apakah Kitab Allah yang lebih berhak kami ikuti ataukah ucapanmu?”
Spontan Umar pun menjawab, “Tentu al Quranlah yang lebih berhak dikuti.”
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-2] Rukun Islam, Iman, dan Ihsan
“Apa yang kamu maksudkan?” lanjut Umar.
Wanita itu berkata, “Engkau baru saja melarang untuk memberi mahar yang lebih banyak dari mas kawin Rasulullah. Padahal Allah Ta’ala berfirman,
وءاتيتم إحداهن قنطارا فلا تأخذوا منه شيئا {٢٠} سورة النساء
“Dan kalian telah memberikan pada salah satu wanita harta yang banyak sebagai mas kawin……….”
Khalifah Umar langsung menerima nasehat dari wanita Quraisy tersebut. Atas saran atau bahkan bisa dikatakan sanggahan dari seorang perempuan itu, Khalifah Umar bin Khattab tidak merasa canggung, tidak malu, tidak gengsi menerimanya, bahkan Umar berkata:
Baca Juga: Kaya Bukan Tanda Mulia, Miskin Bukan Tanda Hina
كل أحد أفقه من عمر
“Setiap orang lebih paham agama daripada Umar,” kata Umar.
Ucapan itu dilontarkan Umar dan diulang-ulang dua tiga kali. Ia kembali naik ke atas mimbar lalu berkata, “Hadirin sekalian, aku telah melarang kalian memberi mahar lebih dari mahar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ketahuilah bahwa aku cabut pernyatanku. Dan sekarang lakukanlah apa yang maslahat bagi kalian. Aku tidak membatasi. Selama tidak bertentangan dengan syariat.”
Sikap yang ditunjukkan oleh Khalifah Umar bin Khattab ini adalah sikap bijak seorang pemimpin yang berpegang teguh terhadap kebenaran. Khalifah Umar tanpa sungkan dan malu menerima pendapat sekaligus kritikan, masukan atau bahkan nasihat dari orang lain di muka umum.
Kisah di atas shohih, diriwayatkan Abu Dawud 2106, Nasai 2/87, Timidzi 1/208, Ibnu Hibban 1259, ad-Darimi 2/141, al-Hakim 2/175, al-Baihaqi 7/234, Ahmad 1/40-48, al-Humaidi 23 dari jalur Muhammad bin Sirin dari Abu ‘Ajfa’ dari Umar. Hadits ini dishohihkan oleh Tirmidzi, al-Hakim dan disetujui adz-Dzahabi.
Baca Juga: [Hadist Arbain ke-1] Amalan Bergantung pada Niat
Jadi, larangan Umar dari mempermahal mahar sesuai dengan sunnah Nabi. Adapun kisah ini, kalaulah memang shohih maka hal itu tidak bertentangan dengan ayat karena ditinjau dari dua hal:
Pertama, larangan Umar tersebut bukan bermakna haram tetapi hanya makruh saja.
Kedua, ayat tersebut (Qs. An-Nisa’: 20) berkaitan tentang seorang wanita yang ingin agar suaminya menceraikannya, sedangkan dia telah memberikan kepada sang istri mahar yang banyak. Maka tidak boleh baginya untuk mengambil kembali tanpa kerelaan istri.
Inti dari kisah di atas adalah bagaimana sikap berjiwa besar pemimpin sekaliber Umar bin Khattab.
Baca Juga: Enam Langkah Menjadi Pribadi yang Dirindukan
Andai saja para pemimpin negeri ini mau belajar dari seorang Umar bin Khattab tentang bagaimana cara memimpin. Belajar bagaimana berjiwa besar saat menerima nasihat. Tegas saat melihat yang dipimpin melakukan dosa dan kemaksiatan, tentu akan lahir kedamaian dan kesejahteraan dalam kehidupan ini. Namun, jika para pemimpin sudah tidak lagi bisa menerima kritikan, masukan bahkan nasehat, maka tunggulah perpecahan akan terjadi di mana-mana, wallahua’lam. (A/RS3/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: BSP 2024, Solidaritas dan Penghormatan Bagi Pahlawan di Tengah Genosida