Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketika Lobi Yahudi Mulai Rapuh

Redaksi Editor : Rudi Hendrik - 21 detik yang lalu

21 detik yang lalu

0 Views

Lobi Yahudi di Amerika Serikat (AS) bernama American Israel Public Affairs Committee (AIPAC). (foto: Getty)

Oleh Imaam Yakhsyallah Mansur

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَنُرِيدُ أَنْ نَمُنَّ عَلَى الَّذِينَ اسْتُضْعِفُوا فِي الْأَرْضِ وَنَجْعَلَهُمْ أَئِمَّةً وَنَجْعَلَهُمُ الْوَارِثِينَ (القصص [٢٨]: ٥)

Baca Juga: Jangan Remehkan Kekuatan Doa Orang-orang Lemah

“Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin serta menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi).” (QS. Al-Qashash [28]: 5)

Imam Al-Qurthubi Rahimahullah menjelaskan, bahwa ayat ini adalah kabar gembira bagi seluruh umat yang didzalimi, bahwa penindasan tidak akan kekal, karena kekuasaan hakiki ada di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia mempergilirkan kejayaan dan kehancuran pada setiap kaum, sebagaimana dialami oleh Fir’aun dan Bani Israil.

Sementara itu, Prof. Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir menegaskan bahwa ayat berlaku berlaku lintas zaman, menjadi hukum umum bagi semua umat manusia, tidak hanya bagi Bani Israil pada zaman Nabi Musa Alaihi Salam saja.

Nabi Muhammad ﷺ menegaskan dalam sabdanya, menguatkan ayat di atas:

Baca Juga: Ketika Nabi Ibrahim Alaihi Salam di Palestina

إِنَّ اللَّهَ لَيُمْلِي لِلظَّالِمِ، فَإِذَا أَخَذَهُ لَمْ يُفْلِتْهُ (رواه البخاري ومسلم)

“Sesungguhnya Allah memberi waktu (tangguh) kepada orang zalim, tetapi apabila Dia menghukumnya, maka Dia tidak akan melepaskannya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Hadits tersebut menegaskan, bahwa kezhaliman pasti memiliki batas. Sehebat apapun kekuatan yang dimiliki kelompok penindas, ia pasti akan runtuh ketika sunnatullah (ketetapan Allah) berlaku kepada mereka.

Dalam konteks kekinian, banyak ulama dan tokoh melihat fenomena penjajahan dan penindasan Zionis Israel terhadap rakyat Palestina suatu hari nanti pasti akan berakhir. Syaikh Yusuf Al-Qaradawi Rahimahullah pernah menyatakan, “Umat Islam jangan takut dengan kekuatan Zionis, sebab mereka berdiri di atas kedzaliman dan tidak ada kezaliman yang kekal di dunia ini.”

Baca Juga: Tabligh Akbar Jawa Tengah 2025, Saatnya Umat Bersatu Hadapi Krisis Global dengan Ukhuwah Islamiyah

Lobi Yahudi di AS

Lobi Yahudi di Amerika Serikat (AS) dimulai dari sebuah lembaga bernama American Israel Public Affairs Committee (AIPAC). Lembaga itu berdiri pada 1954, dipelopori oleh Isaiah Leo Kenen.  Organisasi ini sejak awal berperan mengonsolidasikan dukungan politik di Washington bagi kepentingan Zionis Israel.

Transformasi besar AIPAC dimulai pada masa kepemimpinan Morris J. Amitay pada pertengahan 1970-an. Di bawah arahannya, lembaga itu menjadi kekuatan besar di Capitol Hill, dengan staf dan dana yang berkembang pesat. Sejak saat itu, AIPAC berhasil mengamankan bantuan militer bernilai miliaran dolar, mendorong veto AS dalam resolusi PBB yang mengancam kepentingan Israel, dan memperkuat narasi bahwa hubungan Washington–Tel Aviv adalah pilar utama kebijakan luar negeri negara itu.

Namun, di balik kesuksesan itu, AIPAC pernah dihantui kontroversi. Pada tahun 2005, organisasi ini diguncang skandal serius ketika analis Pentagon, Lawrence Franklin terbukti menyampaikan dokumen rahasia kepada dua pejabat AIPAC, Steven Rosen dan Keith Weissman.

Baca Juga: Tertib Itu Sunnah yang Terlupakan

Pada akhir 2021, AIPAC memiliki lembaga bernama United Democracy Project (UDP) yang terjun langsung ke dalam kampanye politik dengan menggelontorkan dana besar untuk mendukung kandidat pro-Israel sekaligus menjegal politisi yang kritis terhadap kebijakan Tel Aviv.

Pada pemilu 2024, UDP menyiapkan dana sekitar $100 juta untuk mengalahkan politisi dari Partai Demokrat, termasuk Jamaal Bowman dan Cori Bush, yang vokal mengkritik kebijakan Israel di Palestina. Media seperti The Guardian dan Al Jazeera bahkan menyoroti AIPAC sebagai kekuatan yang menggunakan kekayaan untuk membungkam kekuatan oposisi di AS.

AIPAC yang Mulai Redup di AS

Perang berkepanjangan Israel di Gaza dan berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang terekam kamera para wartawan dan aktifis dunia telah menimbulkan resistensi global yang tidak bisa lagi dibendung oleh propaganda.

Baca Juga: Teka-Teki Hudzaifah dan Kecerdasan Ali Bin Abi Thalib

Realitas politik di Amerika Serikat (AS) beberapa tahun terakhir yang memperlihatkan pergeseran dinamis dan signifikan. AIPAC yang dulu sangat kuat mencengkeram negara itu kini mulai melemah.

Lembaga Pew Research Center (2023) mencatat, generasi muda Amerika lebih banyak bersimpati kepada Palestina. Pergeseran opini publik ini menjadi faktor penting yang membuat lobi pro-Israel di Washington itu mulai kehilangan cengkeramannya.

Perusahaan riset lainnya, Gallup merilis penelitiannya, bahwa tingkat dukungan publik terhadap Yahudi Israel merosot drastis dari sekitar 50 persen menjadi hanya 32 persen di 2023. Lebih mengejutkan, dukungan dari kalangan Demokrat dan independen turun ke level sangat rendah. Hal itu menunjukkan bahwa gelombang kesadaran moral tengah berkembang di akar rumput masyarakat AS.

Seorang tokoh AS bernama Paul Findley menulis di beberapa media AS bahwa AIPAC adalah “gorilla seberat 700 pon di Washington,” sebuah metafora yang tajam untuk menjelaskan kebijakan luar negeri AS yang disetir AIPAC sangat membahayakan.

Baca Juga: Keadilan, Pilar Utama Peradaban Manusia

Pelemahan dukungan terhadap Yahudi Israel juga tampak nyata di kampus-kampus Amerika, termasuk universitas elitnya. Gerakan Students for Justice in Palestine (SJP) semakin menguat dan mendapat dukungan luas dari kalangan akademisi.

Beberapa universitas besar seperti: Harvard, Columbia, dan Stanford menjadi saksi berbagai aksi mahasiswa yang menuntut pemutusan hubungan institusi dengan perusahaan-perusahaan yang mendukung penjajahan Yahudi Israel. Kampanye Boycott, Divestment, and Sanctions (BDS) pun semakin mendapat legitimasi di kalangan masyarakat AS.

Guru Besar University of Chicago, Prof. John Mearsheimer dan Stephen Walt menulis dalam karya mereka “The Israel Lobby and U.S. Foreign Policy” (2007) sudah lama memperingatkan bahwa dominasi lobi ini rapuh karena tidak sejalan dengan kepentingan nasional Amerika. Kini, analisis itu semakin terbukti.

Mendiang Presiden AS Jimmy Carter (1924-2024) menulis dalam bukunya “Palestine: Peace Not Apartheid” (2006) bahwa kebijakan Amerika yang terlalu tunduk pada lobi Israel justru merugikan kepentingan jangka panjang Amerika sendiri. Kritik itu terus bergema hingga kini.

Baca Juga: Korelasi Mukmin Sejati dengan Pembebasan Masjid Al-Aqsa dan Palestina

Bahkan, tokoh Yahudi progresif seperti Noam Chomsky mengkritik keras lobi pro-Israel di AS yang menurutnya telah mencengkeram kebijakan luar negeri negara itu secara tidak wajar. Chomsky menyebut bahwa publik Amerika kini mulai sadar bahwa dukungan tanpa syarat kepada Israel hanya merusak reputasi AS di dunia internasional.

Propaganda Yahudi Kedodoran di Eropa

Salah satu tanda paling jelas dari melemahnya dukungan terhadap Yahudi Israel adalah meningkatnya aksi solidaritas besar-besaran di kota-kota utama Eropa. Dari Amsterdam, London, Paris, Berlin dan kota-kota besar lainnya, ratusan ribu orang turun ke jalan menyerukan penghentian agresi Israel dan pembebasan Palestina.

Fenomena itu menunjukkan bahwa narasi Yahudi Israel sebagai korban tidak lagi dipercaya oleh publik Barat, terutama generasi muda yang lebih kritis terhadap isu keadilan global. Pemandangan bendera Palestina berkibar di pusat-pusat kota besar Eropa kini menjadi hal yang lumrah.

Baca Juga: Tiga Langkah Rahasia Membangun Jiwa

Para politisi mulai berani bersuara melawan dominasi Yahudi Israel di negara mereka. Josep Borrell, Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, secara terbuka mengkritik agresi Yahudi Israel di Gaza dan menegaskan bahwa tidak ada justifikasi (pembenaran) bagi pembantaian warga sipil.

Beberapa parlemen Eropa mulai mendesak pemerintah mereka untuk mengambil sikap tegas terhadap Yahudi Israel. Di Irlandia dan Spanyol, pemerintahnya secara resmi mengakui negara Palestina, sementara negara-negara lain mulai mempertimbangkan langkah serupa.

Bahkan di parlemen Inggris (negara yang memberi mandat bagi Yahudi untuk menjajah Palestina), diskusi mengenai pengakuan negara Palestina terus menguat. Hal itu didorong oleh tekanan rakyat yang menuntut konsistensi terhadap nilai-nilai demokrasi dan HAM. Lebih jauh, sejumlah serikat pekerja di Inggris bahkan menyerukan boikot terhadap perusahaan yang berafiliasi dengan Yahudi Israel.

Dana Pensiun Norwegia mengambil langkah kuat dengan melepas $2 miliar dari perusahaan-perusahaan Yahudi Israel. Ini bukan sekadar keputusan finansial, melainkan pernyataan moral bahwa investasi tidak boleh mendukung penjajahan.

Baca Juga: Dakwahmu Menginspirasi, Tapi Akhlakmu Menyakiti

Tidak hanya masyarakat sipil, para tokoh dan politisi pun mulai bersuara. Beberapa pemimpin di Eropa menyerukan solidaritas kepada rakyat Palestina. Hal itu menegaskan bahwa tragedi Palestina adalah isu kemanusiaan yang universal.

Perdana Menteri Denmark, Mette Frederiksen menyebut Benjamin Netanyahu sebagai sumber masalah di Timur Tengah. Ia juga menyatakan bahwa Denmark akan mendorong peningkatan tekanan terhadap Israel, termasuk sanksi dari Uni Eropa untuk entitas penjajah itu.

Selain Frederiksen, Presiden Prancis Emmanuel Macron, Kanselir Jerman Friedrich Merz, Perdana Menteri Inggris Keir Starmer, Perdana Menteri Spanyol Pedro Sánchez dan lainnya juga menyuarakan hal yang sama.

Selain itu, munculnya media-media independen dan jejaring sosial semakin memperlemah kontrol narasi yang selama ini dipropagandakan oleh media arus utama pro-Yahudi Israel.

Baca Juga: Dua Cara Allah Menambah Nikmat bagi Hamba yang Bersyukur: Kualitas dan Kuantitas

Video dan laporan langsung dari Gaza yang disiarkan warganet (netizen) membuat publik Eropa dan Barat tidak lagi bergantung pada framing media besar. Fakta di lapangan yang sulit disembunyikan itulah yang membuat simpati publik dunia internasional semakin berpihak kepada Palestina.

Hal ini menunjukkan bahwa opini publik benar-benar mempengaruhi kebijakan luar negeri negara-negara tersebut.

Setiap Perjuangan Tidak Akan Sia-sia

Dukungan global kepada Palestina adalah simbol dari pergeseran dominasi dunia. Selama puluhan tahun, narasi pro-Yahudi Israel mendominasi wacana internasional melalui kekuatan media, ekonomi, dan politik. Namun, kini dunia mulai menyaksikan perubahan arah.

Fenomena dukungan global kepada Palestina bukan sekadar momentum politik, melainkan tanda adanya perubahan besar dalam peradaban dunia menuju nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan solidaritas universal.

Dukungan global kepada Palestina bukan hanya sebuah gerakan kemanusiaan, tetapi juga pertanda hadirnya babak baru peradaban. Dan di ujung jalan panjang ini, rakyat Palestina akan menjadi simbol perlawanan dan kemenangan atas kedzaliman.

Hal ini sekaligus menandai bahwa dominasi Barat dalam menentukan arah politik global tidak lagi absolut, melainkan mulai dipengaruhi oleh suara rakyat dunia.

Lebih jauh, pelemahan dukungan terhadap Israel juga harus dibaca sebagai pertanda munculnya tatanan dunia multipolar. Dominasi narasi tunggal Yahudi yang dulu sulit digugat, kini menghadapi tantangan serius dari opini global.

Kekuatan dan diplomasi negara-negara Selatan (Asia, Afrika dan Amerika Latin) muncul sebagai kekuatan baru, seklaigus menjadi simbol perlawanan atas ketidakadilan dan hegemoni Yahudi Israel dan sekutu-sekutunya.

Dengan demikian, fenomena melemahnya dukungan terhadap Israel di Eropa dan Amerika Serikat (AS) bukan sekadar dinamika politik sesaat, melainkan tanda zaman bahwa dominasi lobi Yahudi mulai rapuh.

Dunia tengah bergerak menuju fase baru. Keadilan, solidaritas, dan suara rakyat mulai menggantikan dominasi kekuatan lobi dan uang. Peralihan ini menjadi isyarat kuat, bahwa meski jalan menuju kemerdekaan Palestina mungkin masih panjang, namun arah sejarah sedang menuju jalan keadilan dan berpihak pada kebenaran.

Fenomena ini menegaskan kebenaran janji Allah Ta’ala. Sehebat apapun sebuah bangsa, ketika mereka menentang ketentuan Allah Ta’ala, maka kehancuran pasti akan mereka rasakan.

وَاِذَآ اَرَدْنَآ اَنْ نُّهْلِكَ قَرْيَةً اَمَرْنَا مُتْرَفِيْهَا فَفَسَقُوْا فِيْهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنٰهَا تَدْمِيْرًا ۝١٦ وَكَمْ اَهْلَكْنَا مِنَ الْقُرُوْنِ مِنْۢ بَعْدِ نُوْحٍۗ وَكَفٰى بِرَبِّكَ بِذُنُوْبِ عِبَادِهٖ خَبِيْرًا ۢ بَصِيْرًا ۝١٧ (الاسراء [١٧]: ١٦ــ١٧)

“Jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, Kami perintahkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (agar menaati Allah). Lalu, mereka melakukan kedurhakaan di negeri itu sehingga pantaslah berlaku padanya perkataan (azab Kami). Maka, Kami hancurkan (negeri itu) sehancur-hancurnya. Berapa banyak generasi setelah Nuh yang telah Kami binasakan. Cukuplah Tuhanmu sebagai Zat Yang Mahateliti lagi Maha Melihat dosa-dosa hamba-Nya.” (QS Al-Isra [17]: 16-17).

Kedua ayat di atas menjadi peringatan bahwa kehancuran suatu bangsa bermula dari keserakahan dan penyimpangan moral kalangan elitnya, yang kemudian diikuti oleh masyarakat luas.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan bahwa telah banyak negeri-negeri yang dibinasakan karena melupakan peringatan-Nya, enggan menegakkan keadilan dan lalai pada nilai-nilai kemanusiaan.

Ayat di atas dapat kita lihat relevansinya pada kondisi Yahudi Israel dan sekutu-sekutunya, terutama Amerika Serikat (AS). Negeri-negeri yang dilimpahi kekayaan dan kemajuan teknologi, namun ketidakadilan, kesenjangan sosial, serta kejahatan yang merajalela.

Data resmi pemerintah AS menunjukkan, pada tahun 2024, tercatat lebih dari 14 juta tindak pidana yang dilaporkan ke program Uniform Crime Reporting (UCR) FBI. Dari jumlah tersebut, 2/3 nya adalah kejahatan kekerasan, termasuk pembunuhan, pemerkosaan, perampokan, dan penyerangan tingkat berat.

Ketika para pemimpin dan kelompok berpengaruh justru mengabaikan nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan, maka sebuah negeri itu sedang berada di tepi jurang kehancuran. Sejarah mencatat bagaimana Fir’aun hancur binasa karena kesombongannya. Negeri-negeri besar seperti Romawi, Persia dan lainnya yang menentang ketentuan Allah Ta’ala, semua hancur dan kini tinggal cerita saja.

Maka, sehebat apapun kekuatan lobi Yahudi di dunia, ia pasti akan hancur karena menentang ketentuan Allah Ta’ala. Hari ini kita menyaksikan kekuatan mereka mulai retak, bukan disebabkan dari pihak luar, tetapi dari dalam negeri mereka sendiri.

Bagi umat Islam, kondisi ini menjadi isyarat bahwa perjuangan membela Palestina tidak lah sia-sia. Dinamika peristiwa global yang terjadi di berbagai belahan dunia adalah isyarat bagi umat ini bahwa dominasi dunia pasti akan berubah. Kedzaliman sekuat apapun pasti akan menuju jurang kehancurannya.

Pertanyaan untuk diri kita masing-masing, di poisis mana diri kita saat ini berada? Apakah di barisan para pejuang, penonton atau justru pendukung kedzaliman. Presiden Turkitye, Recep Tayib Erdogan berkata, “Dalam kondisi seperti ini, memilih sikap diam berarti mendukung kedzaliman.”

والله أعلمُ بِالصَّوَابِ

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Tausiyah
Kolom
Indonesia
Indonesia