KH ZAINAL Mustafa dikenal sebagai ulama pejuang dari Tasikmalaya karismatik asal Tasikmalaya, Jawa Barat, seorang pahlawan nasional dan tokoh perlawanan terhadap penjajah Belanda dan Jepang. Dikenal dengan keteguhannya dalam menjaga akidah Islam dan keberaniannya menolak kebijakan penjajahan yang bertentangan dengan ajaran agama.
Beliau tidak hanya berperan sebagai guru pesantren, tetapi juga sebagai pemimpin perlawanan bersenjata. Kiprahnya dalam sejarah Indonesia sangat penting untuk dikenang, khususnya oleh generasi muda yang ingin memahami bagaimana ulama pejuang turut andil dalam merebut kemerdekaan bangsa.
Lahir dengan nama Hudaemi pada tahun 1899 di desa Bageur, Cimerah, Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Mengutip Jurnal Islamika, KH. Zainal Mustafa: Ulama Pejuang dari Tasikmalaya, yang ditulis A Tihami dan MR Sohiri disebutkan, sejak muda, ia dikenal cerdas dan sangat mencintai ilmu agama.
Setelah menimba ilmu di berbagai pesantren lokal, ia melanjutkan studinya ke Makkah. Di Tanah Suci, ia berguru kepada sejumlah ulama besar dan memperdalam ilmu fiqih, tafsir, dan tasawuf.
Baca Juga: Leila Khaled: Pejuang Perempuan Palestina yang Ikonik dan Abadi dalam Sejarah Perlawanan
Setelah kembali ke tanah air, beliau mendirikan pesantren Sukamanah di Tasikmalaya. Dari sinilah perjuangan dakwah dan perlawanan fisiknya terhadap penjajahan mulai berkembang.
Perjuangan KH. Zainal Mustafa tak hanya lewat mimbar dan pesantren, melainkan juga lewat aksi nyata melawan ketidakadilan penjajahan. Ketika Belanda masih berkuasa, beliau aktif menggelorakan semangat kemerdekaan dan menolak tunduk pada kebijakan kolonial.
Namun tantangan paling besar datang saat Jepang masuk ke Indonesia pada awal 1942. Jepang yang awalnya dianggap sebagai “saudara tua” ternyata membawa penindasan baru. Salah satu kebijakan yang ditolak keras oleh KH. Zainal Mustafa adalah keharusan untuk melakukan seikerei—penghormatan dengan membungkuk ke arah matahari sebagai bentuk penghormatan kepada Kaisar Jepang.
Sebagai ulama yang tegas dalam tauhid, KH. Zainal Mustafa menolak tegas praktik itu, karena dianggap sebagai bentuk syirik dan pelanggaran terhadap ajaran Islam. Penolakan itu kemudian memicu ketegangan antara pesantren Sukamanah dan pemerintah militer Jepang.
Baca Juga: Shaukat Ali Khan (1873-1938): Pejuang Kemerdekaan India dan Pendukung Besar Palestina
Dalam Ensiklopedia Pahlawan Nasional, yang diterbitkan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), disebutkan bahwa puncak perlawanan terjadi pada 25 Februari 1944, ketika pasukan Jepang mengepung dan menyerang pesantren Sukamanah.
KH. Zainal Mustafa dan para santrinya melakukan perlawanan bersenjata meskipun dengan perlengkapan seadanya. Dalam pertempuran itu, puluhan santri gugur syahid.
Zainal Mustafa sendiri ditangkap, disiksa, dan akhirnya dieksekusi oleh tentara Jepang pada 25 Oktober 1944 di Jakarta. Meski jasadnya tak pernah ditemukan secara pasti, nama beliau harum sebagai syuhada yang mati dalam keadaan istiqamah sebagai ulama pejuang dari Tasikmalaya yang tak tunduk kepada penjajah.
Baca Juga: Raja Faisal: Sang Raja Pemberani Pembela Palestina
Pada tahun 1972, pemerintah Indonesia secara resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada KH. Zainal Mustafa. Sebagai ulama pejuang dari Tasikmalaya, namanya kini menjadi inspirasi bagi generasi muda, khususnya dalam menjaga integritas keimanan dan semangat perlawanan terhadap segala bentuk penindasan.[]
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Ummu Haram binti Milhan, Sahabiyah yang Menjadi Syahidah di Pulau Siprus