Syaikh Ikrimah Shabri, Ulama Pejuang Garis Depan Pembela Al-Aqsha

Penulis (kiri) bersama Syaikh Ikrimah Sabri, Imam dan Khatib Masjid Al-Aqsha, saat safari Ramadhan 1437 di Hotel Savoy Homann Bandung, 13 Juni 2016. (Foto: Istimewa)

Oleh: Rana Setiawan, Redaktur Kantor Berita Islam MINA

“Masing-masing kita punya peran yang sama, sesuai kemampuan dimiliki, dan karena masalah Masjid Al-Aqsha ini menjadi (salah satu) ukuran keimanan dan akidah seseorang, maka perjuangan ke arah itu (pembebasan Al-Aqsha) selamanya tidak akan pernah terputus,” (Syaikh Ikrimah Sabri, Imam dan Khatib Masjid Al-Aqsha)

Tak dinanya insiden penembakan imam sekaligus khatib Masjid Al-Aqsha Palestina Syaikh Ikrimah Sabri baru-baru ini menjadi salah satu pemicu berbagai kutukan dan kecaman dunia terhadap Otoritas Pendudukan Israel.

Boleh dibilang ia salah satu ulama pejuang Palestina kharismatik memiliki keyakinan dan semangat juang tinggi yang ditakuti Zionis dan menjadi target untuk disingkirkan.

Syaikh Ikrimah Sa’id Shabri, Imam sekaligus khatib Masjid Al-Aqsha. Ia pernah menjadi Mufti Agung Kota Al-Quds dan Palestina dari Oktober 1994 sampai Juli 2006. Jabatan sebagai Mufti ditunjuk langsung oleh Presiden Palestina Pertama Yasser Arafat. Ia mendapatkan gelar doktor dari Universitas Al-Azhar di Kairo Mesir dalam tesis berjudul “Wakaf Islam Antara Teori dan Praktik”.

Dia juga masuk dalam daftar 500 tokoh muslim paling berpengaruh di dunia yang dikompilasikan oleh Pusat Pembelajaran Strategis Kerajaan Islam (The Royal Islamic Strategic Studies Centre – RISSC) di Amman, Yordania.

Syaikh Ikrimah Shabri adalah salah satu ulama dan tokoh penting yang dihormati oleh rakyat Palestina karena pandangannya yang terus terang terhadap Israel. Khutbah dan Tausyiahnya pun sangat ditunggu-tunggu baik oleh muslim di Palestina maupun masyarakat Muslim dunia, karena penyampaiannya yang menginspirasi dan menggugah semangat juang untuk mengembalikan hak Masjid Al-Aqsha kepada kaum Muslimin dari tangan penjajah Zionis.

Insiden Penembakan

Syaikh Ikirimah Shabri yang juga Ketua Komite Tertinggi Islam di Kota Al-Quds itu berada di antara puluhan warga Palestina yang terluka dalam bentrokan dengan tentara Otoritas Pendudukan Israel usai menunaikan salat Isya berjamaah di luar gerbang Asbath, salah satu gerbang masuk menuju Masjid Al-Aqsha, Al-Quds Timur, Selasa (18/7/2017).

Syaikh Shabri mengatakan bahwa usai ia memimpin shalat Isya berjamaah bersama sekitar 3.000 jamaah, pasukan Israel menembakkan gas air mata, peluru baja berlapis karet, dan meyerang dengan pukulan tongkat ke arah jamaah usai melaksanakan salat Isya. “Kami adalah sasaran peluru baja berlapis karet, yang menyebabkan (jamaah) terluka dan menderita akibat terinjak-injak orang banyak. Saya adalah salah satu yang terkena peluru dan harus dibawa ke rumah sakit,” ungkapnya, sebagaimana laporan Anadolu Agency.

Syaikh Shabri yang terkena dua peluru baja berlapis karet di bagian kakinya itu kemudian menjalani perawatan dan baru diperbolehkan pulang dari rumah sakit sehari setelah insiden penembakan pada hari Rabu (19/7/2017).

Baca Juga:  Ibadah Haji dan Kesatuan Umat Islam

Hingga kini, ketegangan telah meningkat di Kota Al-Quds, lokasi tempat Masjid Al-Aqsha berada, sejak Otoritas Pendudukan Israel menutup kompleks Masjid Al-Aqsha pada hari Jumat (14/07/2017), menyusul baku tembak mematikan yang menewaskan dua petugas kemanan Israel dan tiga warga Palestina.

Tindakan itu adalah yang pertama kalinya umat Islam dilarang menunaikan shalat Jumat di Al-Aqsha sejak 1969 dan pertama kalinya Jamaah Muslim Palestina dilarang memasuki kompleks masjid sejak 1994. Hal itulah yang memicu kemarahan dari umat Islam dunia.

Pihak berwenang Israel membuka kembali masjid tersebut pada hari Ahad (16/7/2017), namun memasang alat detektor logam dan kamera pengawas tambahan di gerbang masuk menuju masjid, sebuah langkah yang menurut rakyat Palestina bertujuan untuk mengubah status quo, keseimbangan ibadah dan hak kunjungan di tempat suci. Sejak saat itu, jamaah muslim Palestina berkumpul di gerbang masjid, menolak memasuki situs tersuci ketiga dalam Islam tersebut melalui pintu detektor Israel.

Usai menjalani perawatan, Syaikh Ikrimah Shabri masih terus menyuarakan dan menggelorkan perjuangan untuk membebaskan Masjid Al-Aqsha, meski terpaksa masih berjalan dengan kursi roda.

“Detektor ini adalah serangan terhadap Masjid Al-Aqsha dan campur tangan dalam urusan Muslim. Masjid Al-Aqsha milik Muslim dan masjid harus diurus oleh umat Islam juga,” tegasnya.

Syaikh Ikrima Shabri menyampaikan khutbah Jumat pada aksi “Jumat Kemarahan,” di lingkungan luar Al-Aqsha, (21/7). Dia dengan lantang mengatakan bahwa negara-negara Arab terlalu sibuk bertengkar untuk sekedar mengkhawatirkan situs tersuci ketiga dalam Islam, demikian laporan Aljazeera.net.

Baca Juga:  Inilah 13 Keutamaan Ibadah Qurban  

Dia menegaskan bahwa otoritas pendudukan Israel telah menempatkan pintu elektronik atau detektor logam di gerbang Masjid Al-Aqsha untuk menguji kehendak dunia Arab.

“Ini bukan ujian bagi kami karena sikap kami, seperti penduduk Al-Quds, sangat jelas … tapi ini adalah ujian kehendak negara-negara Arab yang secara diplomatis lemah karena pertempuran mereka satu sama lain,” tegasnya.

Imam berusia 78 tahun itu mencatat bahwa orang-orang Arab sibuk membeli senjata “untuk membunuh satu sama lain.”

Kewajiban Bela Al-Aqsha

Syaikh Ikrimah Sabri bersama isteri dan puterinya saat itu sempat melakukan safari dakwah awal Ramadhan 1437 H di beberapa kota di Indonesia, di antaranya ke Jakarta dan Bandung, dalam upaya menyosialisikan situasi terkini di kawasan Al-Aqsha.

Ummu Amr isterinya, merupakan seorang Muslimah ahli tafsir pertama di dunia. Ia menyusun Kitab Tafsir Al-Mufsir fii Nuril Quran.

Saya masih teringat isi tausyiah Syaikh Ikrimah Shabri saat berkunjung ke Indonesia dan menggelar safari dakwah pada 8 Ramadhan 1437 bertepatan dengan 13 Juni 2016 di Hotel Savoy Homann Bandung.

Saat itu, saya berkesempatan mendapatkan syal Al-Aqsha yang diberikan langsung oleh Syaikh Ikrimah Shabri. Pada kesempatan itu, saya sempat menyampaikan pesan solidaritas dan dukungan perjuangan pembebasan Masjid Al-Aqsha kepada beliau. Saya meminta doa beliau agar saya dan umat Islam di Indonesia dapat melaksanakan shalat berjamaah dengan khusyu di Al-Aqsha dan menjadi bagian dalam perjuangan pembebasan Masjid Al-Aqsha.

Dalam kesempatan itu juga dia menyampaikan bahwa kaum Muslimin di Palestina telah menjadi garda terdepan dalam pembelaan terhadap eksistensi Masjid Al-Aqsha. Maka, menjadi kewajiban bagi kaum Muslimin lainnya untuk mendukung perjuangan itu.

Muslimin dan Muslimat di Al-Aqsha mempertaruhkan diri dalam menjaga Al-Aqsha. Demikian juga hendaknya semua Muslimin dan Muslimat di belahan negeri lainnya. “Masjid Al-Aqsha adalah milik dan tanggung jawab kaum Muslimin dunia, bukan hanya milik Palestina semata. Setiap kita kaum Muslimin akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat nanti di hadapan Allah, apa peran kita,” ujarnya.

Sebab, menurutnya, walaupun sudah ada saudara-saudara Muslimin di Kota Al-Quds yang sedang dan terus menjaga kesucian Masjid Al-Aqsha. Namun itu tidak menggugurkan kewajiban umat Islam lainnya dalam menyelamatkan Al-Aqsha.

Baca Juga:  Tuntunan Doa Berlindung dari Empat Jenis Fitnah

Mereka menjadi murabithun, para penjaga Al-Aqsha, yang berjaga sepanjang 24 jam tiap hari, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Mereka telah menggantikan dan mewakili umat Islam dunia, di garda terdepan dalam berhadapan langsung dengan Zionis Israel.

“Masing-masing kita punya peran yang sama, sesuai kemampuan yang kita miliki, dan karena masalah Masjid Al-Aqsha ini menjadi ukuran keimanan dan akidah seseorang, maka perjuangan ke arah itu selamanya tidak akan pernah terputus,” Syaikh Sabri meyakinkan.

Ayat Al-Quran, hadis, dan sumber lainnya menegaskan Al-Aqsha dan Kota Al-Quds memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam.

Masjid Al-Aqsha di Kota Al-Quds Al-Haram As-Sharif (Yerusalem) Palestina adalah kiblat pertama umat Islam, tempat ziarah yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah. Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun untuk pertama kalinya menunaikan shalat  di Masjid Al-Aqsha. Hal ini juga membuktikan bahwa Al-Aqsha adalah milik kaum Muslimin di manapun berada.

Tidak heran jika Syaikh Ikrimah Shabri menegaskan bahwa permasalahan Masjid Al-Aqsha dan Al-Quds merupakan bagian dari keimanan seseorang. Al-Aqsha dan Al-Quds merupakan bagian dari keimanan kita, karena masjid ini disandingkan dengan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.

Menurutnya, dibandingkan dengan Masjidil Haram maupun Masjid Nabawi, Masjid Al-Aqsha sesuai namanya memang yang paling jauh. Namun jangan sampai dilalaikan. Melalaikan permasalahan Al-Aqsha berarti hilangnya keimanan seorang Muslim.

Kawasan Masjid Al-Aqsha merupakan pintu gerbang Mi’raj Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Melalui peristiwa Mi’raj inilah kita menerima perintah shalat lima waktu.

Kejahatan Israel menutup Masjid Al-Aqsha adalah rentetan penistaan dan penodaan terhadap kesucian Islam. Israel telah menghapus banyak jejak peninggalan sejarah Islam. Tembok Buroq disulap menjadi Tembok Ratapan untuk ritual keagamaan Yahudi.

Pembakaran Masjid Al-Aqsha, 21 Agustus 1969, berakibat sepertiga masjid rusak berat. Penggalian terowongan di bawah masjid, menjadikan Al-Aqsha berdiri di atas pondasi rapuh. Pemaksaan UU Pembagian Al-Aqsha, mempersempit akses ibadah. Pemberlakuan UU Pelarangan azan, sebagaimana kondisi yang kita saksikan memperjelas ambisi Israel melumpuhkan kiblat pertama umat Islam itu.

 

Mari kita sempatkan berdoa di waktu-waktu mustajab. Semoga Alloh memberikan kekuatan dan perlindungan bagi Syaikh Ikrimah Shabri (Imam Besar Masjid Al-Aqsha) dan para murabithun yang kini sedang berjuang melakukan perlawanan terhadap penodaan dan penindasan Zionis di Al-Aqsha, aamiin. (R01/P1)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Wartawan: Rana Setiawan

Editor: Rana Setiawan