Yayan DNS, Pemerhati Politik dan Sejarah Islam
Lukisan sejarah peradaban dunia tercatat dengan tinta merah genangan darah manusia. Permusuhan, kebencian, dendam kesumat dan perkelahian individu, suku, antarbangsa, hingga perang perbedaan ideology dan perang agama berlangsung.
Demikian pula terjadi persaingan ekonomi, perang perebutan wilayah, perebutan kekuasaan serta konflik kepentingan lainnya, yang menyulut dan mengobarkan api segala bentuk peperangan.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Namun kalau kita telusuri dari akar sejarahnya, sumber segala konflik adalah syaitan yang hendak melakukan makar terhadap Allah dan para nabi utusan-Nya serta sekalian orang yang beriman. Syaitan semua dengan para pendukungnya (hizbusy syaithan) berhadapan dengan mereka yang berpihak kepada Allah (hizbullah).
Semua nabi adalah khalifatullah, mewakili Allah di permukaan muka bumi (khalifatullah fil ardh). Tetapi, tidak setiap khalifatullah adalah nabi. Khulafaur Rasyidin Al-Mahdiyyin juga adalah para khalifah atau disebut juga dengan Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah (khalifah pengikut jejak kenabian). Khalifah nabi akhir zaman adalah Nabi Muhammad Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam.
Syaithan dan para pengikutnya mengobarkan kebencian dan peperangan
di muka bumi dan menimbulkan malapetaka dan penghancuran peradaban manusia. Sedangkan Khilafah mengibarkan cinta kasih dan perdamaian dunia yang hakiki dan abadi, serta penuh dengan rahmat bagi semesta alam.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Khilafah terwujud dengan terlebih dahulu menciptakan ummat terbaik (kuntum khoiru ummah) di antara sekalian derajat manusia dengan karakter dan akhlakul karimah, “menegakkan yang maruf dan mencegah segala bentuk kemungkaran”.
Sumber Al-Quran
Memang ada perbedaan persepsi, misi dan visi tentang kekhilafahan yang sangat beragam. Hal itu sangat tergantung pada latar belakang, paradigma pemikiran dan penafsiran masing-masing, walaupun sumber referensinya mungkin saja sama.
Dengan banyaknya ragam penafsiran, kebenaran Al-Quran yang mutlak dan final tidak lagi mempunyai kesamaan makna tunggal. Akan tetapi beragam dan terkadang kontradiktif, yang haq diyakini bathil dan yang bathil diyakini haq, yang sunnah dibilang bid’ah yang bid’ah dibilang sunnah.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Padahal Qur’an atau Al Furqon adalah kitabullah yang secara jelas dan terang benderang memberi petunjuk “Mana haq dan mana bathil”. Petunjuk yang benar dan tidak meragukan isinya ini, berubah menjadi kebenaran relatif yang samar dan nisbi, yang mengambang di ruang “atmosfeer kebingungan”.
Parameter salah dan benar bukan lagi fokus pada Quran dan Sunnah Rasul secara utuh, tapi bias oleh ragam faham dan golongan.
Selamat di dunia dan di akhirat, bukanlah sloganisme yang hampa dan utopia, melainkan karena manusia mengamalkan Islam secara kaffah, tidak sulit untuk untuk mencapainya.
Allah menurunkan Al-Quran bukan untuk mendatangkan kesusahan (kesulitan), sebagai mana firman-Nya dalam Al Qur’an, yang maknanya, “Kami tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah”. (Q.S. Thaaha [20]: 2).
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Berbicara tentang sumber referensi khilafah, maka seluruh kaum muslimin tentu akan berpedoman kepada Al-Quran (Sunah Allah) dan Sunah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Allah menyebutkan, yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya“. (Q.S. An-Nisa [4]: 59).
Khilafah ‘Ala Minhajin Nubuwwah
Allah telah menurunkan sejarah (kisah) para nabi dan ummatnya dari kurun para nabi sebelumnya, agar menjadi ibrah (pelajaran berharga) bagi ummat yang akan datang kemudian (sepanjang masa).
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?
Dalam tarikh Islam, para pelaku Khilafah ‘Ala Minhajin nubuwwah (Khilafah pengikut jejak kenabian) adalah Khulafaur Rasyidin Al Mahdiyyin. Mereka dalah empat shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang sudah di-nash (ditetapkan) oleh Allah dan Rasul-Nya sebagai ahlul jannah (ahli surga), yaitu ummat periode masa awal, baik Muhajirin maupun kaum Anshar sebagai mukminin periode awal.
Mereka adalah para Khailfah, Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Ustman Bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Keterangan hadits dan tareh Khulafaur Rasyidin Al-Mahdiyyin tersebut dapat disimpulkan, bahwa sunnah Nabi Muhammad Shalallohu ‘Alaihi Wassalam itu meliputi juga sunnah Khulaur Rasyidin Al Mahdiyyin yang mengikuti jejak kenabian.
Para pelaku Khulafaur Rasyidin Al-Mahdiyyin itulah yang dimaksud dengan penerus jejak langkah kenabian (Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah).
Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang
Pertanyaan yang selalu menggelitik di hati Penulis adalah, “Mengapa Para shahabat Nabi yang di-nash (ditetapkan) sebagai ahli surga mengamalkan syariat Islam berkhilafah, tapi mengapa ummat Islam sekarang tidak?”
Karena itu, adalah sebuah realita, bahwa para Khalifah Nabi, sejak Nabi Adam Alaihis Salam sampai dengan Khalifah Nabi akhir zaman, Muhammad Rasullullah Shallallahu ‘Alaihi Wassalam, yang dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin Al-Madiyyin yang mengikuti jejak kenabian (khilafah ‘ala minhajin nubuwwah), adalah wujud utuh dan konkrit yang tampil dalam panggung sejarah Dunia Islam.
Sepatah kata yang disebut “Khalifah”, itulah jati diri kepemimpinan orang orang yang beriman yang telah mengukir sejarah peradaban manusia seutuhnya dengan Islam.
Persepsi kekhilafahan.
Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat
Kekhilafahan adalah satu satunya sistem sosial ilahi Rabbi untuk mengurus dan menggembala ummat manusia di muka bumi dengan segala isinya, berlandaskan Al-Islam yang menebarkan rahmat bagi semesta ‘alam.
Allah menyebtu di dalam ayat-Nya,“Tidaklah aku utus engkau (Muhammad), kecuali untuk menebar rahmat bagi semesta ‘alam”. (Q.S. Al-Anbiya [21]: 107).
Maka, sesuai dengan fungsi dan kapasitasnya, Khalifah disebut juga sebagai Imaamul Muslimin (Pemimpin orang orang muslim di seluruh muka bumi), Ulil Amri minkum (Yang memimpin urusan orang orang mukmin), Imaamah linnas (Pemimpin semua ummat manusia), dan Ro’in (Penggembala ummat).
Visi Misi Khilafah
Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin
Visi yang hendak dicapai oleh Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah adalah mewujudkan perdamaian dunia yang hakiki dan abadi berdasarkan petunjuk Allah dan Rasul-Nya serta rahmat bagi semesta alam. Visi lainnya adalah mengharap ampunan dan ridha Allah di akhirat nanti.
Itulah makna hakiki dari pengamalan tadabbur Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, yang akan membentuk “kuntum khairu ummah uhrijat linnas, ta’ muruna bil ma- ruf watan khaunna ‘anil munkar”, (ummat terbaik dari sekalian derajat manusia, menegakkan yang maruf dan mencegah yang munkar).
Adapun misi Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah (Khilafah penerus jejak kenabian) adalah meneruskan estafeta kepemimpinan para nabi untuk mengembala ummat dalam hal:
- Membangun aqidah yang bersih, bebas dari unsur-unsur kemusyrikan yang menodainya.
- Meluruskan ubudiyah sesuai tuntunan Rasulullah.
- Mengikuti teladan Rasulullah dalam membangun akhlakul karimah, akhlak mulia dan terpuji, menjauhkan diri dari segala bentuk akhlak yang tercela.
- Membangun ukhuwah Islamiyah dengan sesama muslim sebagai saudara seiman, dan membangun ukhuwah insaniyah. Santun, toleran dan adil terhadap sesama manusia ciptaan Allah, Khaliqul insan, walau berbeda latar belakang agama dan keyakinan. Memperlakukan flora dan fauna sesuai dengan hak dan kodratnya.
- Memberikan tarbiyah tentang kaidah hukum hukum islam.
- Mewajibkan mencari ilmu-ilmu lain yang manfaat/maslahat bagi manusia.
- Tidak boleh perang, kecuali diserang/diperangi musuh.
Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa
Secara aksiomatis, ummat terbaik seperti itu akan menjadi sumber perdamaian dunia yang hakiki dan abadi dalam kehidupan social. Bukan perdamaian dunia semu ala semboyan doctrinal yang dikumandangkan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa yang tendensius, mengusung sebuah kepentingan terselubung penuh misteri.
Dalam praktiknya PBB bukan mencegah atau menghukum Negara aggressor, tapi malah melegalisirnya melalui hak veto. Inikah Perdamaian Dunia ala PBB yang dicibir oleh Ir Soekarno sebagai : “The Old established force’s” (kekuatan kolot yang sudah renta yang mengusung misi kolonialisme).
Lawan dari itu menurut Ir Soekarno adalah, “The new emerging force’s”, kekuatan baru yang sedang bangkit dan mengusung missi kemerdekaan, perdamaian dunia dan mengangkat derajat kemanusiaan.
Dan itulah Khilafah, sekalipun beliau tidak mengatakan secara eksplisit seperti itu.
Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati
Maka, sudah sepantasnya dan sudah waktunya bagi masyarakat dunia termasuk di dalamnya ummat Islam untuk memilih satu di antara dua opsi : Memilih Kekhilafahan sebagai sumber perdamaian dunia yang hakiki dan abadi yang universal petunjuk ilahi Robbi Yang Rahman-Rahim atau memilih perdamaian semu yang penuh intrik ciptaan Zionis Yahudi?
Jawabannya, sangat tergantung kepada apa yang berbisik di dalam hati nurani kita yang paling dalam.
Tapi yang jelas, iman atau tidak beriman, khilafah itu adalah syariat Islam yang wajib diamalkan! Wallahu ‘alam bish shawab. (P4)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)