Khilafah Vs NKRI

Oleh: Rendy Setiawan*

Sebetulnya kurang tepat membandingkan antara Khilafah dan . Tapi, karena dalam beberapa waktu terakhir, santer diberitakan Barisan Serbaguna (Banser) GP Ansor menolak dan membubarkan kajian-kajian yang diselenggarakan Hizbut Tahrir Indonesia () dengan isu ada upaya mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi Khilafah, maka perlu dijelaskan secara ringkas dan jelas apa itu Khilafah dan apa itu NKRI.

Menurut penulis, isu itu menjadi tak sedap di tengah umat Islam yang ingin menegakkan syariat Khilafah. Karena, pada kesempatan yang sama, banyak organisasi-organisasi Islam, lembaga-lembaga Islam hingga paguyuban bernuansa Islam yang juga menyebarkan agar diamalkannya syariat Khilafah, kemudian tanpa konfirmasi dan mendapatkan alasan yang jelas, dipukul rata sebagai kelompok yang ingin menggulingkan pemerintahan sah di negeri ini.

Yang menjadi persoalan adalah pemahaman makna Khilafah yang berbeda antar setiap ormas, lembaga, hingga paguyuban Islam itu sendiri yang tidak dipahami oleh pihak-pihak yang menentang syariat ini, sehingga dipukul rata siapa pun yang ingin menerapkan syariat Khilafah di Indonesia, itu artinya sama dengan upaya merubah ideologi negara Indonesia yang sudah ada sejak 1945.

Perbedaan pendapat makna Khilafah antar kelompok Islam diawali dari pemahaman yang menyamakan antara zaman Nubuwwah dan Khulafa Ar-Rasyidin Al-Mahdiyyin yang penuh dengan kedamaian dengan zaman Mulkan Adldlon dan Mulkan Jabariyyah yang sarat dengan penaklukan wilayah tertentu. Kelompok ini beranggapan bahwa Khilafah bisa tegak hanya dengan menguasai wilayah dan batas teritori tertentu melalui kekuatan militer untuk mencapai kejayaan.

Di sisi lain, ada pula kelompok yang memahami bahwa zaman Nubuwwah dan Khulafa Ar-Rasyidin Al-Mahdiyyin yang penuh dengan kedamaian tidak sama dengan zaman Mulkan Adldlon dan Mulkan Jabariyyah yang sarat dengan . Kelompok ini beranggapan bahwa Khilafah bisa tegak kapan pun sesuai dengan kehendak Allah tanpa harus memulainya dengan penaklukan wilayah teritori tertentu. Dengan kata lain, untuk mengamalkan sistem Khilafah tidak harus menguasai suatu negra.

Kedua pemahaman ini, kemudian berbeda posisinya dalam memahami dan memandang pemerintahan yang sah di Indonesia.

Jika Khilafah Islamiyyah dimaknai sebagai kekuasaan Islam terhadap suatu wilayah tertentu oleh sebagian pihak, maka bisa dipastikan pemahaman keliru itu akan mengundang reaksi keras dan tentu saja berseberangan dengan ideologi Pancasila.

Namun, bila konsep Khilafah Islamiyyah dimaknai sebagai sebuah wadah (tempat) bersatunya umat Islam dengan seperangkat aturan hidup yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam, tanpa melihat batas kekuasaan dan batas wilayah tertentu, maka tidak akan ada gesekan antara syariat Khilafah itu dengan NKRI.

Indonesia, sebagai sebuah negara berideologi Pancasila, telah lama dirumuskan oleh tokoh-tokoh Islam, adalah tren dari akhir Perang Dunia 1 dan 2. Usai peperangan yang merenggut puluhan juta jiwa itu, mulailah muncul negara-negara baru di wilayah-wilayah yang dahulu dikuasai oleh Kerajaan Turki Utsmani sebagai pihak yang kalah pada Perang Dunia 1 melawan pasukan sekutu.

Turki Utsmani memang sempat menjadi sentral kepemimpinan dunia Islam sejak pertengahan abad 12 hingga awal abad 19, tapi Kerajaan Utsmani bukanlah sistem Khilafah Ala Minhajin Nubuwwah. Utsmani hanya bentuk sebuah kerajaan Islam yang sudah digariskan oleh Allah melalui lisan Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam bersabda, “Adalah masa Kenabian itu ada di tengah-tengah kamu sekalian, adanya atas kehendak Allah, kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Khilafah ‘ala minhajin Nubuwwah (Khilafah yang mengikuti jejak kenabian) adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya (menghentikannya) apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Mulkan ‘Adldlon (Kerajaan yang menggigit), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Mulkan Jabbariyah (Kerajaan yang sombong), adanya atas kehendak Allah. Kemudian Allah mengangkatnya, apabila Ia menghendaki untuk mengangkatnya. Kemudian adalah masa Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah (Khilafah yang menempuh jejak kenabian).” Kemudian beliau (Nabi) diam.” (HR. Ahmad dari Nu’man bin Basyir)

Walaupun masa kerasulan dan kenabian telah berakhir dengan wafatnya Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam sebagai khotaman nabiyiin, tapi kepeminpinan muslimin sebagai penggembala umat tidak boleh terputus, muslimin harus tetap ada yang memimpin, muslimin harus mempunyai ulil amri (Qs. An Nisa: 59).

Dalam literatur Islam, sebelum zaman Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam, ada kisah bahwa Nabi Yusuf Alaihis Salam suatu ketika pernah dimasukan ke dalam penjara. Namun, karena mukjizat dari Allah, Nabi Yusuf mampu membuka tabir mimpi raja, hingga akhirnya ia dijadikan sebagai penasihat kerajaan. Apakah ketika itu titel kenabian yang dipakaikan Allah kepada Nabi Yusuf menjadi batal hanya karena menjabat sebagai penasihat kerajaan? Tentu tidak.

Kemudian di zaman Nubuwwah sendiri, pemimpin umat Islam tertinggi saat itu adalah Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam. Bahkan, dalam banyak kisah, berbagai tokoh terkemuka saat itu memeluk Islam, dari Abu Sufyan hingga Raja Najasyi.

Raja Najasyi adalah seorang raja Nashrani kemudian menjadi seorang muslim. Ia yang mengikuti seruan Nabi untuk menyembah Allah. Meski menjadi seorang muslim, Raja Najasyi tidak serta merta dituntut untuk meninggalkan kerajaannya, tapi ia tetap berkuasa di kerajaannya hingga akhir hayatnya tanpa ada larangan dari Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wasallam.

Perbedaan Makna “Kekuasaan”

Mengenai konsep kekuasaan secara fundamental, Islam berbeda dari semua sistem lainnya. Dalam Islam kekuasaan mutlak ada di tangan Allah, dan tidak pada siapa pun. Namun, kekuasaan itu akan diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Kekuasaan bukan milik kerajaan, negara atau bahkan rakyat. Makna kekuasaan di dalam Islam juga tidak dibatasi hanya pada wilayah teritori tertentu.

Konsep Islam tentang kekuasaan levelnya jauh di atas semua sistem yang ada setidak-tidaknya dalam dua hal:

Pertama, keunggulannya terletak pada kepercayaan pada Allah dan ketaatannya untuk melaksanakan kode moral kehidupan yang diberikan Allah dalam kitab suci al Quran maupun melalui sabda rasul-Nya. Sebuah kode yang juga dapat membawa keselarasan di antara syarat-syarat kehidupan material yang bertentangan.

Kedua, konsep Islam tentang kekuasaan lebih jernih dan lebih sederhana dari konsep sistem manapun. Konsep Barat tentang kekuasaan tidak jelas dan kabur karena banyak aliran yang memberikan teorinya sendiri dengan sifat, luas, dan lokasi kekuasaan yang berbeda-beda.

Sebaliknya konsep Islam tentang kekuasan adalah sangat sederhana, jelas, masuk akal dan meyakinkan. Konsep itu sesuai dengan sifat benda, tempat umat manusia dalam jagat, kedaulatan individu dalam masyarakat serta tujuan kehidupan moral, dan ekonomi yang dikembangkan olehnya.

Jadi, bagi siapa saja yang bisa dan mau memahami konsep syariat Khilafah dengan lurus dan benar; merujuk kepada tarikh di masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan sahabat, serta bertanya kepada para ulama yang lurus akidahnya, luas ilmunya, mulia akhlaknya tentu akan mendapatkan bahwa sebenarnya konsep syariat Khilafah itu sama sekali tidak bertentangan dengan ideologi Pancasila di NKRI ini. (R06/RS3)

*Penulis Adalah Wartawan MINA dan Mahasiswa STAI Al-Fatah Bogor

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.