- Di Arafah, padang yang luas lagi gersang itu, seluruh jamaah haji wuquf (berhenti) sampai terbenamnya matahari. Di sinilah seharusnya setiap pribadi menemukan ma’rifah (pengetahuan) tentang jatidirinya bahwa mereka masing-masing adalah bagian dari satu umat yang tidak dapat dipisahkan dalam segala situasi dan kondisi bahkan dalam saat yang paling menderita sekalipun seperti kondisi di padang Mahsyar. Arafah adalah miniatur padang Mahsyar, terminal akhir perjalanan manusia sebelum ditentukan nasibnya, apakah dia akan ke surga atau ke neraka. Disinilah manusia akan diadili oleh Allah dengan seadil-adilnya. Oleh karena itu, apabila terjadi perselisihan, janganlah merasa diri paling benar selama yang diperselisihkan bukan hal-hal yang qath’i yang sudah dipastikan kebenarannya oleh Allah dan Rasul-Nya. Di Arafah ini hendaknya manusia menyadari pula bahwa apapun perbedaan yang terjadi diantara mereka akhirnya mereka akan bersatu kembali di padang Mahsyar di bawah keagungan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, satu-satunya Dzat yang mampu menyatukan segala perbedaan. Kesadaran inilah yang akan mengantarkan manusia menjadi arif (memahami) diri sendiri dan orang lain. Menurut Ibn Sina, apabila kearifan telah menghiasi diri seseorang, maka dia akan “Selalu gembira, banyak senyum karena hatinya telah gembira sejak ia mengenal Allah Subhanhu Wa Ta’ala. Dimana-mana ia melihat satu saja, melihat Allah yang Mahasuci. Semua makhluk dipandangnya sama. Ia tidak mengintip-ngintip atau mencari-cari kesalahan orang. Ia tidak akan cepat tersinggung walau melihat yang mungkar sekalipun (namun bukan berarti tidak memiliki kepekaan terhadap lingkungan). Karena jiwanya telah diliputi oleh rahmat dan kasih sayang.” Di Arafah inilah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyampaikan khutbah pada Haji Wada’ yang intinya menekankan:
- Persamaan diantara manusia
- Keharusan memelihara jiwa, harta dan kehormatan orang lain
- Larangan melakukan penindasan atau pemerasan terhadap kaum lemah baik di bidang ekonomi, maupun bidang-bidang lain.
- Dari Arafah, para jamaah haji menuju Mudzalifah untuk mengumpulkan batu di malam hari dalam rangka melempar jumrah di Mina. Mereka melemparkan batu pada titik yang sama secara bersama-sama pada waktu yang sama dengan cara yang sama. Batu dikumpulkan di tengah malam sebagai lambang bahwa musuh tidak boleh mengetahui siasat dan senjata kita. Melempar batu pada titik yang sama secara bersama-sama pada waktu yang sama dan dengan cara yang sama merupakan pengajaran bahwa umat Islam dalam menghadapi musuh, mereka harus bekerja sama. Apabila mereka menghadapi musuh sendiri-sendiri bahkan saling berselisih, jangan diharap mereka dapat menang. Allahu Akbar, Allahu Akbar walillahilhamd.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Kurban dan Kesatuan Umat
Nabi Ibrahim ‘Alaihi Salam hadir di pentas kehidupan pada suatu masa persimpangan menyangkut tentang pandangan manusia tentang boleh tidaknya manusia dikurbankan sebagai persembahan kepada Tuhan. Satu pihak membolehkannya dan pihak lain tidak membolehkan, karena manusia terlalu mulia untuk tujuan tersebut. Melalui Nabi Ibrahim ‘Alaihi Salam secara amaliah dan tegas larangan itu dikukuhkan. Bukan karena manusia terlalu tinggi nilainya sehingga tidak wajar dikurbankan, tetapi karena Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Putranya Ismail yang semata wayang dan sangat dikasihi diperintahkan Allah untuk dikurbankan, sebagai pertanda bahwa apapun, apabila panggilan Allah datang, semuanya wajar dikorbankan. Setelah perintah tersebut dilaksanakan dengan sepenuh hati oleh ayah dan anak, Allah dengan kekuasaan-Nya menghalangi penyembelihan tersebut dan menggantinya dengan domba sebagai pertanda bahwa hanya karena kasih sayang Allah kepada manusia, praktek pengurbanan manusia itu tidak diperkenankan.
Baca Juga: Khutbah Jumat: Jalan Mendaki Menuju Ridha Ilahi
Peristiwa dramatis yang menjebol naluri kemanusiaan akan teladan agung tentang kurban ini, dikisahkan dengan indah dalam rangkaian ayat-ayat berikut ini:
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ(١۰۰)فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ(١۰١)فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَاأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ(١۰٢)فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ(١۰۳)وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَاإِبْرَاهِيمُ(١۰٤)قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ(١۰٥)إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ(١۰۶)وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ(١۰۷)وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآخِرِينَ(١۰۸) سَلَامٌ عَلَى إِبْرَاهِيمَ(١۰۹)كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ(١١۰)
“Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!” Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu”, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) “Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Shaffaat: 100-110)
Baca Juga: Khutbah Jumat: Akhir Kehancuran Negara Zionis
Ketika Ibrahim ‘Alaihi Salam akan melaksanakan perintah penyembelihan ini dan mata pisau siap menebas leher Ismail, Allah memanggilnya, ‘Hai Ibrahim, engkau telah melaksanakan mimpi itu.” Kemudian Ismail ditebus dengan domba yang besar.
Inilah asal mula ibadah kurban yang dilestarikan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan umatnya sampai saat ini.
Allahu Akbar, Allahu Akbar walillahilhamd.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Baca Juga: Khutbah Jumat: Memberantas Miras Menurut Syariat Islam
Ismail memang utuh. Yang terbunuh oleh Nabi Ibrahim ‘Alaihi Salam adalah kecintaan kepada satu-satunya anak yang dimiliki. Kecintaan kepada duniawi terpenggal oleh tajamnya kepasrahan diri kepada Allah. Inilah teladan luhur yang mengajarkan pada manusia untuk rela melepas apa yang sejatinya milik Allah. Keikhlasan untuk berkurban membantu sesamanya dan menolong yang lemah serta mengangkat yang menderita.
Pengurbanan sesungguhnya adalah fitrah manusia. Kehadiran manusia di dunia adalah pengurbanan yang luar biasa besar. Bayi yang begitu lemah dan tidak mandiri meninggalkan rahim ibu dengan segala fasilitasnya. Termasuk pula putus hubungan dengan placenta satu-satunya pipa logistik yang memasok kebutuhan pangan untuknya. Padahal taruhan lahir ke dunia sangat berat. Ibunya, ladang kehidupan selama dalam kandungan dan di dunia nanti mungkin harus mati demi kelahirannya. Disini tampak bahwa pengurbanan adalah sifat dasar manusia. Kelahirannya ke dunia adalah pengurbanan antara dirinya dan ibunya. Oleh karena itu, Mahabenar Allah yang mensyariatkan kurban kepada umat manusia.
Dalam ibadah kurban, hewan adalah simbol duniawi. Makna di balik ibadah kurban adalah perintah Allah untuk membuang jauh-jauh sifat egoisme, sikap mementingkan diri sendiri dan sikap rakus kepada harta atau kedudukan. Sikap inilah yang menjadi penghambat terwujudnya kesatuan. Oleh karena itu, sikap-sikap ini harus kita buang jauh-jauh apabila kita menginginkan terwujudnya kesatuan umat Islam.
Kurban adalah fenomena ibadah yang menolak segala bentuk kerakusan kepada dunia yang akan melanggar hak orang lain terutama orang-orang yang lemah yang akan mengakibatkan permusuhan diantara manusia. Oleh karena itu, kurban sebenarnya adalah wahana pendidikan rohani yang meniscayakan pentingnya persaudaraan (ukhuwwah) diantara manusia. Perintah kurban kepada orang kaya dan membagikan dagingnya untuk orang miskin merupakan pelajaran penting bahwa Islam menganjurkan kepada umatnya agar memperhatikan kepentingan orang lain, terutama orang-orang yang kekurangan. Melalui syariat kurban, Allah berpesan bahwa manusia akan dapat bertaqarrub (mendekatkan) diri kepada Allah dengan mendekati saudara-saudara kita yang serba kekurangan.
Baca Juga: Khutbah Jumat: Menyongsong Bulan Solidaritas Palestina
Orang-orang yang memiliki sikap seperti ini akan menjadi makhluk yang sangat dicintai oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sebaliknya, orang-orang yang selalu menjauhkan sesama muslim bahkan membuat perpecahan diantara mereka akan menjadi orang yang paling dibenci oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
إِنَّ أَحَبَّكُمْ اِلَى اللهِ اَلَّذِينَ يَأْْلِفُونَ وَيُؤْلَفُونَ وَإِنَّ أَغْضَبَكُمْ اِلىَ اللهِ اَلْمَشَاءُونَ بِالنَمِيمَةِ اَلْمُفَرِّقُوْنَ بَيْنَ الْإِخْوَان (رواه الطبرانى)
“Sesungguhnya yang paling dicintai oleh Allah diantara kamu adalah orang yang mampu menyesuaikan diri dan diterima penyesuaian dirinya. Sedangkan yang paling dimurkai oleh Allah diantara kamu adalah orang yang berjalan untuk mengadu domba dan memecah-belah diantara saudara.” (HR. Al-Thabrani)
Apabila kita mampu mengimplementasikan makna ibadah kurban secara lebih mendalam dalam kehidupan sehari-hari maka kita menyadari bahwa kurban bukan sekedar membagi-bagikan daging kepada orang-orang miskin tetapi kurban sebenarnya merupakan salah satu sarana sangat penting untuk mewujudkan kesatuan dan kebersamaan diantara umat Islam.
Baca Juga: Khutbah Jumat: Perintah Berhati-hati dalam Menyebarkan Informasi
Dengan terwujudnya kesatuan dan kebersamaan diantara umat Islam maka insya Allah, berbagai bencana dan krisis yang datang silih berganti akhir-akhir ini akan teratasi. Mengingat terjadinya berbagai bencana dan krisis tersebut antara lain adalah akibat umat Islam tidak dapat menjaga persatuan dan kebersamaan sebagaimana firman Allah:
وَالَّذِينَ كَفَرُوا بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ (الانفال: ۷۳)
“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.“ (QS. Al-Anfaal: 73)
Baca Juga: Khutbah Jumat: Memperkuat Pembelaan terhadap Masjid Al-Aqsa dan Palestina