Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ki Hajar Dewantara: Bapak Pendidikan Nasional Indonesia

Redaksi Editor : Arif R - Jumat, 2 Mei 2025 - 09:37 WIB

Jumat, 2 Mei 2025 - 09:37 WIB

236 Views

Ki Hajar Dewantara

SETIAP tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional. Tanggal ini bukan hanya momen seremonial, melainkan waktu untuk mengenang perjuangan Ki Hajar Dewantara, tokoh pelopor pendidikan Indonesia yang dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional.

Ki Hajar Dewantara lahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat pada 2 Mei 1889 di Yogyakarta. Ia berasal dari keluarga bangsawan, namun memilih hidup membaur dengan rakyat dan memperjuangkan hak-hak kaum pribumi, terutama dalam bidang pendidikan.

Masa mudanya diisi dengan pendidikan di sekolah Belanda seperti ELS (Europeesche Lagere School) dan STOVIA, meskipun tidak tamat karena sakit. Meski begitu, ia menemukan kekuatan lewat dunia tulis-menulis dan menjadi jurnalis yang vokal menyuarakan ketidakadilan kolonial.

Pada tahun 1913, Ki Hajar menulis artikel berjudul “Als Ik Eens Nederlander Was” atau “Seandainya Aku Seorang Belanda”.

Baca Juga: Leila Khaled: Pejuang Perempuan Palestina yang Ikonik dan Abadi dalam Sejarah Perlawanan

Dalam tulisan tersebut, ia mengkritik keras kebijakan pemerintah kolonial yang merayakan kemerdekaan Belanda dengan memungut pajak dari rakyat jajahan.

Tulisan tersebut membuatnya diasingkan ke Belanda bersama dua tokoh lainnya: Tjipto Mangoenkoesoemo dan Douwes Dekker. Ketiganya dikenal sebagai Tiga Serangkai.

Pendiri Taman Siswa dan Konsep Pendidikan Nasional

Setelah kembali dari pengasingan, Ki Hajar Dewantara mendirikan Taman Siswa pada tahun 1922. Lembaga pendidikan ini menjadi tonggak penting dalam sejarah pendidikan nasional Indonesia karena terbuka untuk rakyat biasa dan mengusung semangat kebangsaan serta pendidikan berbasis budaya lokal.

Baca Juga: Shaukat Ali Khan (1873-1938): Pejuang Kemerdekaan India dan Pendukung Besar Palestina

Taman Siswa menolak sistem pendidikan kolonial yang menanamkan rasa inferior pada bangsa Indonesia. Ki Hajar percaya bahwa pendidikan sejati harus membebaskan dan memanusiakan.

Salah satu warisan paling dikenal dari Ki Hajar Dewantara adalah semboyannya: “Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.”

Maknanya: Ing ngarsa sung tuladha: di depan memberi teladan

Ing madya mangun karsa: di tengah membangun semangat

Baca Juga: Raja Faisal: Sang Raja Pemberani Pembela Palestina

Tut wuri handayani: di belakang memberi dorongan

Semboyan ini hingga kini digunakan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sebagai filosofi dasar pendidikan nasional.

Pemerintah Indonesia menetapkan Hari Pendidikan Nasional pada tanggal 2 Mei sebagai penghormatan atas jasa-jasanya. Ia juga dianugerahi gelar Pahlawan Nasional atas kontribusinya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

Ki Hajar Dewantara menjabat sebagai Menteri Pengajaran pertama setelah Indonesia merdeka. Dalam posisi itu, ia tetap konsisten memperjuangkan akses pendidikan untuk semua kalangan.

Baca Juga: Ummu Haram binti Milhan, Sahabiyah yang Menjadi Syahidah di Pulau Siprus

Di era digital saat ini, pemikiran Ki Hajar Dewantara masih sangat relevan. Tantangan dunia pendidikan modern seperti kesenjangan akses, minimnya literasi, dan komersialisasi pendidikan, bisa diatasi jika kita kembali pada prinsip-prinsip yang ia ajarkan: pendidikan untuk membebaskan, membangun karakter, dan berbasis pada nilai-nilai kemanusiaan dan kebudayaan.

Penganut Islam yaang Taat

Meskipun Ki Hajar lahir dalam lingkungan bangsawan Pura Pakualaman yang kental dengan budaya Jawa, keluarganya dikenal sebagai penganut Islam yang taat. Sejak kecil, ia dididik dalam tradisi Jawa-Islam yang erat, termasuk mempelajari Al-Qur’an dan dasar-dasar agama Islam.

Menurut beberapa peneliti, seperti diurai di buku Noer, Deliar. (1996). Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900–1942, sebelum menempuh pendidikan formal ala Belanda, Soewardi kecil sempat belajar di pesantren tradisional. Pendidikan ala pesantren ini tidak tercatat secara administratif seperti sekolah Belanda, tapi sering kali diadakan secara informal di rumah-rumah kyai atau langgar (surau).

Baca Juga: Dr Joserizal Jurnalis: Pendiri MER-C, Pejuang Kemanusiaan dari Indonesia untuk Dunia

Falsafah “tut wuri handayani” yang dicetuskan Ki Hajar selaras dengan prinsip tarbiyah Islam, yakni mendidik dengan keteladanan, pembinaan hati, dan pemberdayaan. Dalam berbagai kesempatan, ia juga menyisipkan nilai-nilai tauhid, akhlak, dan adab dalam konsep pendidikan Taman Siswa.

Beberapa naskah pidato Ki Hajar menggunakan istilah “kemerdekaan jiwa” dan “menuntun fitrah manusia,” yang mengingatkan pada konsep Islam tentang pendidikan yang menumbuhkan potensi fitrah insani.

Ki Hajar memiliki hubungan intelektual dengan tokoh-tokoh Islam reformis seperti KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan KH Hasyim Asy’ari (pendiri NU). Mereka memiliki visi yang mirip: membebaskan bangsa melalui pendidikan.

Beberapa sumber mencatat bahwa Ki Hajar sering berdiskusi dan menjalin komunikasi erat dengan KH Ahmad Dahlan, terutama dalam menyusun sistem pendidikan yang berbasis nilai keagamaan namun terbuka terhadap kemajuan zaman.

Baca Juga: Abu Chiek Oemar Di Yan; Ayah Para Teungku Chiek di Aceh

Peringatan Hari Pendidikan Nasional setiap 2 Mei bukan hanya bentuk penghormatan sejarah, tetapi juga momen untuk merenungkan arah pendidikan Indonesia ke depan.

Ki Hajar Dewantara bukan hanya tokoh sejarah, tetapi juga pemikir besar yang meletakkan dasar bagi sistem pendidikan nasional Indonesia.

Melalui Taman Siswa dan semboyan pendidikannya, ia mengajarkan bahwa pendidikan adalah hak semua warga negara dan harus menjadi alat pembebas, bukan penindas.

Memperingati Hari Pendidikan Nasional berarti melanjutkan perjuangan beliau—dengan cara memperjuangkan akses pendidikan yang adil, merata, dan berkualitas untuk seluruh rakyat Indonesia. []

Baca Juga: Abuya Bahauddin Tanah Merah, Ulama Besar Karismatik dari Aceh Singkil

Mi’raj News Agency (MINA)

 

 

 

Baca Juga: Dakwah Tanpa Mimbar: Jejak Tuslim Abdul Saeri Mendidik Jalan Menuju Surga

Rekomendasi untuk Anda