Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kisah Dr. Alaa Al-Najjar dan Genosida di Gaza, Dokter yang Tak Bisa Menyelamatkan Anaknya

Rana Setiawan Editor : Arif R - 27 detik yang lalu

27 detik yang lalu

0 Views

Satu-satunya anak dokter Alaa al-Najjar yang masih hidup di rumah sakit Nasser di Khan Younis.(Foto: WAFA)

Pada Jumat pagi yang cerah di Gaza, dr. Alaa Al-Najjar berangkat seperti biasa menuju Nasser Medical Complex di Khan Younis, selatan Gaza, tempat ia bertugas sebagai dokter anak. Ia mencium satu per satu dari sepuluh anaknya sebelum melangkah keluar, tanpa pernah menyangka itu akan menjadi ciuman terakhir.

Ketika ia sedang menyelamatkan nyawa anak-anak lain yang terluka akibat serangan udara, rumahnya sendiri dihantam rudal Israel. Dalam sekejap, sembilan anaknya tewas. Suaminya, juga seorang dokter, kritis. Hanya satu anak yang selamat, namun dalam kondisi luka parah. Ironi ini merangkum nestapa Gaza hari ini: seorang penyelamat yang kehilangan seluruh keluarga karena kekejaman genosida.

Tragedi yang Lebih dari Sekadar Angka

Gaza tak pernah benar-benar tidur sejak 7 Oktober 2023. Rudal demi rudal meluluhlantakkan rumah, sekolah, dan rumah sakit. Namun, kisah dr. Alaa Al-Najjar menyibak luka yang lebih dalam dari angka dan statistik. Ia bukan hanya korban, ia adalah simbol dari tragedi yang tak bisa diukur hanya dengan hitungan kematian.

Pada 23 Mei 2025, rumah keluarga Al-Najjar di kawasan Qizan Al-Najjar, Khan Younis, dihantam rudal yang disebut-sebut “berpresisi tinggi”. Namun hasilnya adalah pembantaian: sepuluh anak tewas, delapan di antaranya ditemukan dalam kondisi tubuh hangus dan hancur.

Baca Juga: Skandal Spionase Israel atas ICC Ancam Masa Depan Keadilan Global

Beberapa tanpa kepala, beberapa tak lagi bisa dikenali. Suaminya, dr. Hamdi Al-Najjar, masih bertarung untuk hidup di unit perawatan intensif. Anak bungsu mereka, yang baru berusia enam bulan, termasuk di antara korban tewas.

Rekaman video dari Tim Pertahanan Sipil Palestina menunjukkan proses penyelamatan yang memilukan: jasad anak-anak ditarik dari puing-puing dengan tangan kosong. Tak ada peringatan. Tak ada waktu untuk melarikan diri. Rumah itu rata dengan tanah dalam hitungan detik.

“Mereka Tahu Siapa yang Ada di Dalam”

Dr. Suheir Al-Najjar, keponakan dari Hamdi dan juga seorang dokter, mengungkapkan detail mengerikan serangan tersebut. “Sebuah rudal pertama ditembakkan, tapi tidak meledak. Beberapa menit kemudian, rudal kedua menghantam dan menghancurkan rumah sepenuhnya,” katanya dalam wawancara dengan Anadolu Agency, sembari menahan air mata.

Menurutnya, serangan tersebut bukan kebetulan. “Mereka tahu siapa yang ada di dalam rumah itu. Sepuluh anak. Dua dokter. Mereka tahu. Dan mereka tetap melakukannya,” ungkap Suheir.

Baca Juga: Jejak Pertama di Tanah Suci: Haru, Lelah, dan Syukur yang Membuncah

Bahkan, beberapa hari sebelum serangan, tokoh sayap kanan Israel, Moshe Feiglin, secara terang-terangan menyerukan pembunuhan anak-anak Gaza. “Setiap anak, setiap bayi di Gaza adalah musuh,” katanya di Channel 14, media televisi Israel.

Retorika itu kini menjadi kenyataan berdarah di tubuh anak-anak keluarga Al-Najjar.

Gaza: Neraka yang Diciptakan Manusia

Tragedi Al-Najjar bukanlah insiden terisolasi. Ini hanyalah satu dari ribuan kisah kehancuran di Gaza. Data terbaru dari organisasi kemanusiaan internasional menunjukkan bahwa sejak Oktober 2023, lebih dari 176.000 warga Palestina terbunuh atau terluka, mayoritas di antaranya adalah perempuan dan anak-anak. Sedikitnya 11.000 orang masih hilang, tertimbun di bawah reruntuhan atau tak teridentifikasi di kamar jenazah yang tak pernah sepi.

Kondisi Gaza saat ini digambarkan oleh lebih dari 80 negara dalam sidang PBB sebagai krisis kemanusiaan terburuk di abad ini. Rumah sakit kehabisan pasokan medis, listrik mati total, dan blokade Israel membuat distribusi bantuan nyaris mustahil.

Baca Juga: Setelah Bill Gates Bicara Vaksin, Jakarta Mendadak Siaga TBC, Adakah Hubungannya?

Serangan tidak hanya menyasar warga sipil, tetapi juga petugas medis, jurnalis, pekerja kemanusiaan, hingga tim pertahanan sipil. Ini bukan perang antar militer, tapi penghancuran sistematis terhadap segala bentuk kehidupan di Gaza.

Dokter yang Harus Merawat Luka Sendiri

Di Nasser Medical Complex, dr. Alaa kini bukan hanya seorang tenaga medis. Ia adalah seorang ibu yang kehilangan dunia dalam sekejap. Dulu ia dikenal sebagai sosok yang tak kenal lelah menyelamatkan anak-anak yang menjadi korban perang. Kini, ia menyaksikan jasad anak-anaknya sendiri dibaringkan di rumah sakit tempat ia biasa bekerja.

“Kami bahkan tidak bisa mencium mereka untuk terakhir kali. Terlalu hangus. Terlalu hancur,” katanya lirih.

Dr. Alaa tak bisa mengucapkan sepatah kata pun saat diminta keterangan oleh media lokal. Ia hanya menangis dalam diam, tubuhnya lemas, pandangannya kosong. Dunia medis mengenalnya sebagai pejuang tanpa pamrih. Namun hari itu, ia bukan lagi penyelamat. Ia adalah korban dari kekejaman yang membunuh tidak hanya tubuh, tapi juga jiwa.

Baca Juga: Ibadah Haji dan Kesehatan: Pelukan Spiritual Yang Menyembuhkan Jasmani

Dunia Harus Bertindak, Sebelum Nama Anak-anak Gaza Menjadi Lupa

Serangan ini, seperti ribuan lainnya, merupakan bagian dari pola yang lebih besar, yang oleh banyak pengamat dan organisasi disebut sebagai genosida modern. Penggunaan teknologi canggih seperti drone, penggunaan AI, dan peluru berpemandu justru menjadikan pembunuhan ini lebih terencana, lebih “dingin”.

Pemerintah dan masyarakat dunia tidak bisa terus berdiam diri. Ketika anak-anak dibunuh di ranjang mereka, ketika rumah sakit dijadikan sasaran, ketika dokter kehilangan seluruh keluarganya, maka ini bukan lagi soal konflik. Ini adalah soal eksistensi kemanusiaan.

Dengan menyuarakan kisah dr. Alaa, kita menyuarakan ribuan ibu lainnya. Dengan menyampaikan cerita ini kepada dunia, kita mempertahankan nyala nurani di tengah gelapnya tragedi.

Hari ini, wajah dr. Alaa Al-Najjar menjadi ikon kesedihan Gaza. Tapi lebih dari itu, ia adalah simbol keberanian, keteguhan, dan pengingat bahwa di balik angka-angka kematian, ada nama, ada kisah, ada cinta yang hancur.

Baca Juga: Zionisme: Wajah Kezaliman yang Membungkam Nurani Dunia

Kisahnya adalah sebuah seruan, bukan hanya kepada media, tetapi kepada hati nurani dunia. Jangan biarkan tragedi ini berlalu seperti debu di antara puing-puing. Jangan biarkan nama anak-anaknya lenyap ditelan statistik.

Biarlah dunia tahu, bahwa ada seorang dokter yang kehilangan seluruh anaknya dalam sekejap mata. Biarlah dunia tahu, bahwa genosida ini nyata. Dan biarlah dunia bertindak, sebelum semuanya terlambat.[]

Mi’raj News Agency (MINA)

Baca Juga: Al-Jama’ah: Wadah Iman, Ladang Amal, dan Kunci Kejayaan Islam

Rekomendasi untuk Anda