Oleh Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, Antropolog, Penulis Buku Acehnologi
DALAM perjalanan untuk menghadiri kegiatan Short Course di Universitas Uskudar, Saya mengambil rute dari Bangkok ke Amman (Yordania) melalui Maskapal Royal Jordanian. Ketika transit dari Jordan, kebetulan Saya duduk bersama dengan diplomat Amerika Serikat yang bekerja di Irak dan warga Gaza yang sudah menetap di Amman. Sang diplomat sangat ramah. Saya melirik dari paspornya, bahwa dia adalah seorang diplomat. Sebagaimana biasanya, seorang diplomat, jika bukan mata-mata, selalu akan ramah dengan orang lain.
Mereka duduk bersebelahan, sedangkan Saya persis di samping jendela. Warga Gaza menuturkan bahwa dia sudah pindah dari Gaza dan menetap beberapa lama di Jordan. Menurutnya, begitu mereka keluar dari Gaza, tidak ada cerita untuk kembali lagi. Demikian pula, mereka yang menetap di Gaza saat ini, tidak akan ada cerita dapat keluar dari Gaza. Dia hanya memiliki seorang saudaranya yang masih tinggal di Gaza.
Anak-anaknya sudah bekerja di beberapa perusahan terkemuka di Amerika. Dia menampakkan tas dan perangkat dari perusahan anaknya sekarang. Ketika melihat nama perusahan Amerika Serikat, yang dimiliki oleh Michael Saylor, Saya agak kaget. Mereka di Gaza anti dengan Amerika, ketika keluar dari sana, Amerika, Eropa, dan beberapa negara yang aman, adalah impian bagi setiap warga Gaza. Begitu menurut penuturan warga Gaza ini.
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat
Dia mengatakan pemuaian dendam, setiap hari akan terus berlanjut di Gaza. Sang diplomat yang berada disampingnya, mengangguk-angguk. Dia sangat memahami dan mimik wajah yang sangat prihatin. Mereka kadang bercengkrama antara satu sama lain. Tidak tampak kebencian dari warga Gaza ini kepada sang diplomat yang berkebangsaan Amerika.
Warga Gaza ini mengatakan bahwa setiap pembunuhan yang dilakukan oleh Israel, akan menimbulkan banyak lagi pasukan-pasukan Hamas di kemudian hari. Karena itu, perilaku pembasmian oleh pemerintah Pendudukan Israel terhadap warga Gaza dapat dipahami dalam konteks ini. Yaitu, pihak pemerintah Israel ingin memutuskan pemuaian dendam di antara keluarga korban perang terhadap bangsa Israel. Harapan ini tentu saja akan sangat sia-sia, mengingat sudah hampir setahun lamanya, perang antara Israel dan Gaza belum berhenti.
Kemudian, ketika sang warga Gaza lelap tertidur, lantas Sang Diplomat, mulai menceritakan berbagai hal tentang geopolitik di Timur Tengah. Keadaan Irak yang tidak menentu. Aktifitas perusahaan Amerika Serikat di beberapa titik di negara tersebut. Dia mengatakan bahwa masalah di Timur Tengah sangat kompleks dan agak sukar untuk diselesaikan.
Masalah etnisitas di Irak selalu memicu konflik yang berkepanjangan. Persoalan kelompok Hazara di Afghanistan juga belum kunjung terselesaikan dengan baik. Belum lagi konflik yang berkepanjangan antara Israel dan Palestina. Intinya, masa depan yang suram tampaknya masih akan terjadi Timur Tengah.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-8] Mengajak Kepada Kalimat Syahadat
Hal di atas terkonfirmasi, misalnya, dengan pernyataan salah seorang mahasiswi Asian University for Women (AUW) di Chittagong, yang mengatakan bahwa keadaan di Afghanistan belum stabil sama sekali. Penguasan Taliban tidak memberikan akses yang luas kepada kelompok perempuan. Etnis Hazara selalu menjadi target daripada rezim Taliban tersebut. Bagi mereka, keluar dari Afghanistan adalah mimpi yang terbaik.
[Artikel lainnya dari Prof Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, dapat disimak di laman KBA13.com]
Ketika sudah berhasil keluar dari Afghanistan, maka tidak ada untuk kembali ke kampung halaman. Saat ini, orang tua daripada mahasiswi tersebut berada di Iran. Sedangkan dia berada di Bangladesh. Mimpinya adalah supaya dapat bekerja di Eropa. Hampir ratusan wanita dari Afghanistan yang belajar di AUW, melalui berbagai program sponsorsip dari negara-negara Barat.
Demikian pula, ketika berjumpa dengan seorang mahasiswa dari Kanada yang berasal dari Irak, juga menuturkan peristiwa yang sama. Dia bersama keluarga keluar dari Irak. Lalu menetap di Kanada. Dia mengatakan bagaimana kekejaman rezim Saddam Hussein dan rezim sesudahnya yang melakukan balas dendam, terhadap apa yang sudah dilakukan oleh Saddam Hussein sebelumnya.
Baca Juga: Tertib dan Terpimpin
Dia menuturkan bahwa keadaan yang tidak stabil dan dimana-mana bom yang meledak adalah hal yang biasa terjadi di Irak. Karena itu, warga selalu berusaha untuk keluar dari kemelut ini, minimal mereka dapat berteduh negara-negara di Timur Tengah yang relatif stabil.
Jadi, kisah dari Sang Diplomat dan Warga Gaza di atas merupakan nestapa Timur Tengah yang tidak pernah berakhir di Timur Tengah. Kawasan ini seakan-akan menjadi panggung orkestra kematian bagi mereka yang berada di kawasan konflik. Sang diplomat mengatakan bahwa keadaan ini sangat menyulitkan bagi Amerika Serikat untuk melakukan pemulihan ke arah yang stabil.
Sampai di sini, Saya ingin mengatakan bahwa kisah-kisah nestapa dari beberapa negara di Timur Tengah, dari beberapa individu yang saya jumpai, merupakan bagian ribuan kisah kemanusiaan yang tidak pernah terselesaikan dengan baik dan utuh. Akan tetapi, melihat Sang Warga Gaza dengan semangat kehidupannya di sisa-sia usianya, selalu menyerahkan kepada Allah, setiap masalah yang menimpa ke atas dirinya dan keluarganya.
Demikian pula, dengan mahasiswa dari Irak yang sudah piawai dengan aksen Kanada-nya, selalu ingin menampilkan sosoknya yang riang dan pandai bersahabat. Akan tetapi, ketika diminta untuk bercerita tentang kisah masa lalunya, dia mampu menguraikan dengan sangat detail. Seolah-olah perlakuan rezim terhadap keluarganya merupakan sesuatu yang harus diterima sebagai takdir atas diri dan keluarganya.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-7] Agama itu Nasihat
Kisah nestapa dalam perjalanan ini, memang saya menyentuh perasaan saya. Sebab, konflik di Timur Tengah sepertinya tidak akan berakhir. Pada titik tertentu, sebenarnya konflik ini juga terjadi di kawasan lainnya di Asia Selatan, seperti kisah Rohingya di Myanmar. Akan tetapi, melihat candaan demi candaan antara dua penumpang Royal Jordanian tersebut, antara warga Gaza dan Diplomat Amerika Serikat ini, menyiratkan masih ada ruang kemanusiaan untuk diisi dengan harapan untuk berdamai, atas nama kemanusiaan. []
Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?