“Setengah dari masyarakat Garabulli masih dalam bisnis ini,” kata Ibrahim kepada wartawan Francesca Mannocchi yang kemudian menulis kisahnya.
Ibrahim adalah pria berusia 32 tahun yang menyandang gelar sarjana teknik sipil. Dia tinggal di Garabulli, sebuah kota pesisir yang terletak 60km arah timur Tripoli, ibu kota Libya.
Ibrahim bertubuh tinggi, ramping, memiliki wajah bersih yang dicukur. Dia memakai kaos bergaya, sepasang sepatu desainer dan sangat ingin memamerkan model tablet terbaru yang ada di mobilnya.
Baca Juga: Bencana Kebakaran Los Angeles dalam Perspektif Al-Qur’an
Ibrahim menunjukkan level ekonominya. Dia ingin membeli rumah di Tunisia dan satu lagi di Turki. Ia kaya karena ia bekerja sebagai seorang penyelundup.
Libya adalah negara transit utama bagi para migran asal negara-negara Afrika yang ingin menyeberang ke Benua Eropa. Salah satu jalur utama untuk menyeberangi Laut Mediterania menuju Italia adalah Libya. Arus migran itu nyaris tidak pernah berhenti hingga kini.
Uang adalah satu-satunya alasan pada awal dirinya terjun ke pekerjaan menyelundupkan manusia.
Awalnya dia mengurus tugas-tugas kecil seperti mendapatkan mesin untuk kapal karet. Pada malam harinya dia membawa para migran dari pedesaan ke pantai, kemudian bos membayarnya .
Baca Juga: Mahkamah Agung: TikTok Dilarang di AS Mulai 19 Januari
Setelah Ibrahim mengerti semua mekanismenya, dia menciptakan lingkarannya sendiri. Ada lima sampai sepuluh orang yang bekerja untuknya, tergantung dari arus migran yang pergi atau dari kondisi laut dan cuaca.
Dalam pekerjaannya, Ibrahim duduk di lantai sebuah bangunan beton di pedesaan di luar Garabulli. Di kamarnya ada bantal, televisi, dan tangki air.
Ada puluhan bangunan beton lainnya yang tampak kosong, tapi tidak. Bangunan beton terkecil diperuntukkan bagi orang-orang yang bekerja untuk Irahim. Sementara yang terbesar atau gudang digunakan untuk menahan migran sebelum keberangkatannya.
Ibrahim menjelaskan bahwa itulah bangunan tempat dia menantikan anak buahnya di malam hari, saat mereka tiba untuk mengangkut para migran dari gudang ke pantai. Gudang itu berjejer dengan pintu digembok.
Baca Juga: Kebakaran Kembali Landa AS, Kali Ini Akibat Ledakan Pabrik Baterai di California
Migran pria dan wanita terus berdatangan dari selatan. Mereka berhenti di Beni Walid. Orang-orang dari Beni Walid mengangkut mereka ke Garabulli, kemudian semuanya berjalan seperti biasanya. Setiap hari gudang di Garabulli penuh oleh migran.
Ibrahim memiliki “daftar harga” seperti penyelundup yang lain. Sebuah “tiket” untuk melewati Laut Mediterania setidaknya seharga US$ 500. Harganya meningkat jika migran ingin memilih tempat teraman di atas kapal kayu.
Kursi di atas perahu karet harganya sama untuk semua orang, bisa menampung 80 hingga 100 orang. Saat laut tenang, satu perahu karet masing-masing menampung hingga 120 orang.
Perahu karet menghabiskan biaya sekitar 20.000 dinar Libya (1 dinar = US$ 9).
Baca Juga: PBB: Israel Bunuh 35 Anak Palestina Setiap Hari
Salah satu perahu karet yang penuh sesak itu meninggalkan pantai Garabulli pada bulan Januari 2018 yang lalu, kemudian tenggelam beberapa mil dari pantai.
Penjaga pantai yang tiba dari Tripoli membawa 140 orang kembali ke pantai beberapa jam kemudian. Sedikitnya 30 mayat terbungkus karung mayat putih dan dibawa ke Tripoli. Tiga puluh karung tanpa nama dan tiga puluh mati tanpa identitas. (AT/RI-1/P1)
Sumber: tulisan Francesca Mannocchi di The New Arab. Ia adalah seorang jurnalis yang sebelumnya melaporkan pemberitaan dari garis depan pertempuran di Mosul dan krisis pengungsi di Libya.
Baca Juga: India Dapat Kuota Haji 175.025 Jamaah Pada 2025
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Rudal Balistik Yaman Serang Kementerian Keamanan Israel di Tel Aviv