Jakarta, MINA – Beberapa waktu belakangan, tensi di Myanmar meningkat yang menyebabkan ribuan warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh. Bahkan, pertempuran terbaru militer Myanmar dengan warga menewaskan 71 korban jiwa. Pembantaian sistematis atau genosida pemerintah Myanmar terhadap muslim Rohingya, sebagaimana diduga oleh PBB, harus diinvestigasi secara kritis.
“Krisis ini aib bagi para tokoh dan negara-negara yang gemar berceramah tentang hak asasi manusia. Ini akan menguji apakah kita sungguh-sungguh memperjuangkan kesetaraan dan persaudaraan manusia,” tegas Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari, dalam laman DPR yang dikutip MINA, Senin (28/8).
Yang lebih memprihatinkan, tambah Kharis, respon negara-negara tetangga termasuk negara-negara ASEAN maupun negara-negara mayoritas Muslim, seperti sedang melakukan ‘pingpong maritim’, dengan tujuan mencegah para pengungsi mendarat dan mendorongnya ke negara lain.
“Kita mengapresiasi para nelayan Aceh yang kerap memandu para pengungsi ke pantai. Begitupula lembaga-lembaga kemanusiaan yang merespon peristiwa ini dengan cepat. Sebagian bahkan sudah terlibat dalam membantu pengungsi Rohingya jauh sebelum peristiwa terakhir ini,” imbuh Kharis.
Baca Juga: Lewat Wakaf & Zakat Run 2024, Masyarakat Diajak Berolahraga Sambil Beramal
Politisi F-PKS itu menjelaskan, para ‘manusia perahu’ Rohingya ini bukan sesuatu yang tiba-tiba. Gelombang eksodus yang terbaru dimulai sejak Mei 2012, sejak meletusnya konflik di wilayah Rakhine atau Arakan yang menjadikan kelompok minoritas Rohingya sebagai sasaran kekerasan.
Bahkan, persekusi terhadap orang-orang Rohingya di Myanmar telah dimulai sejak lama. Tahun 1950-an sampai 1960-an, etnis Rohingya diakui sebagai bagian dari Myanmar. Pada tahun 1970-an pemerintah melakukan berbagai operasi militer dan berbagai mekanisme diskriminatif untuk membatasi mobilitas dan pertumbuhan orang-orang Rohingya. Akan tetapi, pada tahun 1982 rezim militer mengeluarkan orang-orang Rohingya dari kategori warga negara. Sejak saat itu, represi yang dilakukan oleh negara semakin keras.
“Hanya dengan melihat keberanian mereka mengambil risiko untuk terombang ambing tanpa nasib yang jelas di laut, kita seharusnya dapat memahami betapa mengerikannya penindasan yang mereka alami di Myanmar,” tambah Kharis.
Gelombang kekerasan terhadap orang-orang Rohingya yang terakhir ini telah memperlihatkan keterlibatan komunitas Buddha di Rakhine. Konflik yang sebelum ini bersifat ‘vertikal’ antara negara atau rezim militer versus masyarakat berubah menjadi konflik ‘horizontal’ antara masyarakat Muslim Rohingya versus masyarakat Buddha Rakhine yang lebih kompleks.
Baca Juga: Prof Abd Fattah: Pembebasan Al-Aqsa Perlu Langkah Jelas
“Kenapa sang peraih Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi diam? Apakah beliau takut kehilangan banyak suara dalam Pemilihan Umum atau sesungguhnya kelompok ‘pro-demokrasi’. Kita harus mengetuk hati negara-negara dunia. Krisis memperlihatkan rombongan manusia yang kurus kering dan penuh luka berdempetan di kapal-kapal yang dapat karam sewaktu-waktu. Rombongan pengungsi Rohingya tidak boleh diidentifikasi sebagai beban dan ancaman,” tegas Kharis.
Kharis mendorong pemerintah Indonesia membuat gagasan tentang pendirian sebuah institusi atau mekanisme pendanaan global untuk pengungsi Rohingya. Namun, hal ini harus dibarengi dengan upaya untuk menyelesaikan akar dari krisis Rohingya ini, yaitu eksklusi dan diskriminasi terhadap orang-orang Rohingya di Myanmar.
“Tentu saja, hal ini merupakan ujian bagi ASEAN yang terkenal dengan norma ‘non-interference’-nya. Stop segera kejahatan kemanusiaan, apa gunanya ASEAN bersatu kalau tidak mampu melindungi manusia-manusia yang ada di dalamnya?,” tutup politisi asal dapil Jawa Tengah itu seolah bertanya. (R/R09/P2)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: MUI Tekankan Operasi Kelamin Tidak Mengubah Status Gender dalam Agama