Konselor Hukum: Kampus Harus Peka Isu Kekerasan Pada Mahasiswanya

Konselor Hukum Rifka Annisa Women’s Crisis Center, Lisa Oktavia. (Foto: )

Jakarta, 24 Rabi’ul Awwal 1438/24 Desember 2016 (MINA) – Kasus kekerasan banyak mengincar korban dari kalangan remaja usia 18-21 tahun, terutama . Usia tersebut merupakan usia mahasiswa Indonesia pada umumnya.

Konselor Hukum Rifka Annisa Women’s Crisis Center, Lisa Oktavia mengungkapkan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh mahasiswa banyak jenisnya, mulai dari kekerasan dalam perpeloncoan hingga kekerasan seksual.

“Oleh karena itu, pihak kampus dihimbau untuk aktif dalam menangani dan mencegah terjadinya kekerasan yang terjadi pada mahasiswanya,” ujar Rifka dalam Workshop Kampus Tanpa Kekerasan yang diselenggarakan oleh Magister Ilmu Pemerintahan UMY bekerja sama dengan Kementerian Perlindungan Perempuan dan Pemberdayaan Anak (KPPA) di Hotel Neo Malioboro, Sabtu (24/12).

Menurutnya, dalam laman resmi UMY yang dikutip MINA, kampus juga harus turut andil dalam mencegah terjadinya kekerasan. Ia merekomendasikan adanya mekanisme layanan pengaduan dan penanganan kasus yang dibentuk oleh pihak universitas.

“Selain itu, kampus harus memiliki tata ruang yang baik seperti menambah pencahayaan di sekitar kampus dan juga penempatan penjaga di tempat-tempat strategis. Patroli juga butuh dilakukan oleh satpam kampus di lokasi-lokasi yang sekiranya rawan terjadinya kekerasan,” jelasnya.

Dalam kasus kekerasan seksual, ia menilai, banyak mahasiswa putri yang diincar sebagai sasaran. Hal ini biasanya terjadi pada mahasiswa yang berpacaran. “Biasanya laki-laki yang memacari perempuan akan memberikan perhatian lebih kepadanya melebihi perhatian yang diberikan oleh orang tuanya. Dengan begitu, perempuan itu akan dengan mudah dipengaruhi dan dirayu oleh pacarnya. Pacar laki-lakinya akan bilang bahwa dirinya akan bertanggung jawab menikahi perempuan tersebut bila perempuan tersebut hamil, namun kenyataannya tidak,” tuturnya.

Di samping itu, ia menambahkan bahwa banyak korban yang cenderung takut untuk melaporkan kasus kekerasan seksual kepada petugas berwajib. Hal ini disebabkan oleh kritikan lingkungan disekitarnya yang menganggap remeh kasus kekerasan seksual yang dialami korban.

“Biasanya saat mau melapor, tetangga korban akan berkomentar ‘ah hanya begitu saja’. Belum lagi korban akan terus menerus diinterogasi tetapi kasusnya belum tentu ditangani, sehingga korban malas dan takut untuk melapor. Belum lagi bila melapor, korban akan didatangi oleh media dan diwawancarai dan dieksploitasi. Sehingga psikis korban juga akan terpengaruh oleh itu,” tutupnya. (T/R09/R01)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)