Konsistensi Amar Makruf Nahi Mungkar (Bagian 2)- Oleh KH Yakhsyallah Mansur

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Sufyan bin Iqbal yang menceritakan bahwa pernah dikatakan kepada Ibnu Umar, “Sebaik-nya engkau tetap duduk di hari-hari sekarang ini, jangan beramar makruf dan bernahi munkar karena sesungguhnya Allah berfirman: Jagalah diri kalian, tiadalah orang yang sesat akan membahayakan kalian apabila kalian telah mendapat petunjuk.” (Q.S. Al-Maidah [5]: 105).

Maka Ibnu Umar berkata, “Sesungguhnya ayat ini tidak ditujukan kepadaku dan tidak pula kepada sahabat-sahabatku. Sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda, “Ingatlah hendaknya yang hadir menyampaikannya kepada yang tidak hadir. Maka kamilah yang dimaksud dengan orang hadir dan kalian adalah orang yang tidak hadir (karena masih ada). Tetapi ayat ini ditujukan kepada orang-orang yang datang sesudah kita, yaitu jika mereka melakukan dan nahi munkar tidak diterima.”

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abu Hazim yang menceritakan bahwa dia berangkat ke Madinah di masa Khalifah Usman. Dia menjumpai suatu kelompok dari orang-orang Islam, lalu salah seorang dari mereka membaca ayat: “Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri kalian, tidaklah orang yang sesat akan membahayakan kalian jika kalian mendapatkan petunjuk.” (Q.S. Al Maidah [5]: 105). Lalu kebanyakan dari mereka mengatakan, “Takwil ayat ini belum ada di masa sekarang ini.”

Sa’id bin Al-Musayyab mengatakan, “Apabila engkau melakukan amar makruf dan nahi munkar, maka tidak akan membahayakan kamu kesesatan orang yang sesat apabila kamu telah mendapatkan petunjuk.”

Dari uraian di atas berdasarkan perkataan tokoh-tokoh sahabat seperti Abdullah bin Masud, Abdullah bin Umar, dan dalam majelis Khalifah Usman bin Affan dapat dipahami bahwa ayat Al-Quran, termasuk ayat ini, ada yang baru didapat pengertiannya sesudah masa Rasulullah ﷺ bahkan sesudah masa sahabat. Sebab di masa para sahabat belum tampak suatu fenomena untuk melaksanakan ayat ini. Semua orang melaksanakan amar makruf dan nahi munkar tanpa ada gangguan.

Tetapi kemudian muncul masa penuh kekacauan, orang hidup individualis, perpecahan merebak di mana-mana, saling salah menyalahkan merajalela, kejujuran menjadi bahan tertawaan, nasihat tidak lagi berharga, kecurangan dianggap wajar, bahwa orang yang berkata benar akan dihukum, diasingkan dan disingkirkan. Dalam kondisi semacam ini sebagian sahabat berpendapat, agar setiap orang menjaga diri sendiri memperkuat iman dan tidak perlu melakukan amar makruf-nahi munkar.

Pendapat semacam ini berbeda dengan pendapat Abu Bakar, berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ bahwa amar makruf-nahi munkar harus tetap berjalan dalam situasi dan kondisi apa-pun. Inilah pendapat yang lebih sesuai dengan pengertian ayat di atas. Hal ini juga diperkuat beberapa hadits yang menerangkan keutamaan amar makruf dan nahi munkar, antara lain:

Dari Durrah binti Abu Lahab berkata, “Seseorang berdiri menghadap Nabi ﷺ, ketika beliau berada di mimbar, lalu orang itu berkata, “Ya Rasulullah siapakah manusia terbaik itu?” Beliau bersabda:

خَيْرُ النَّاسِ أَقْرَؤُهُمْ وَأَتْقَاهُمْ وَآمِرُهُمْ بِالْمَعْرُوْفِ وَأَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأَوْصَلُهُمْ لِلرَّحِمِ (رواه أحمد)

“Sebaik-baik manusia adalah orang yang paling dapat membaca Al-Qur’an, paling bertakwa, paling giat amar makruf dan nahi munkar dan paling rajin menyambung persaudaraan.” (H.R. Ahmad).

Dari Hudzaifah bin Yaman dari Nabi ﷺ bersabda:

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوفِ، وَلَتَنْهَوُنَّ عَنِ الْمُنْكَرِ، أَوْ لَيُوشِكَنَّ اللَّهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ، ثُمَّ تَدْعُونَهُ فَلَا يُسْتَجَابُ لَكُمْ (رواه الترمذي)

“Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, hendaklah kalian menyuruh yang makruf dan mencegah yang munkar atau Allah pasti akan mengirimkan bencana kepada kalian hingga kalian berdoa kepada-Nya tetapi doa kalian tidak dikabulkan.” (H.R. Tirmidzi).

Dari Abu Sa’id Al-Khudri, Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيْمَانِ (رواه مسلم)

“Barangsiapa di antara kalian melihat kemunkaran hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Jika tidak sanggup hendaklah dia mengubahnya dengan lidahnya. Jika tidak sanggup hendaklah dia mengubahnya dengan hatinya. Dan yang demikian itu adalah selemah-lemah Iman.” (H.R. Mus-lim).

Hadits ini mencakup perintah tingkatan merubah kemunkaran. Barangsiapa mampu merubahnya dengan tangan maka dia wajib menempuh dengan cara itu. Apabila tidak mampu maka kewajiban beralih dengan menggunakan lisan. Dan kalau dengan lisanpun tidak mampu, maka dia wajib merubah-nya dengan hati, itulah selemah-lemah iman. Merubah kemunkaran dengan hati adalah membenci kemunkaran itu dan munculnya pengaruh dalam hati untuk menjauhi kemunkaran itu. Perintah untuk merubah kemunkaran yang terkandung dalam hadits ini tidak bertentangan dengan kandungan firman Allah dalam Q.S. Al-Maidah [5]: 105.

Sebagian ulama menyatakan bahwa makna ayat ini adalah: Apabila kalian telah melaksanakan kewajiban amar makruf-nahi munkar yang dituntut (oleh agama), itu berarti kalian telah menunaikan kewajiban yang dibebankan kepada kalian. Setelah hal itu kalian kerjakan, maka tidak akan membahayakan kalian kesesatan orang yang sesat selama kalian tetap mengikuti petunjuk.

Inilah yang diisyaratkan dengan kata اهتديم yang merupakan bentuk ta’kid (penekanan) dari kata هدى. Imam Ar-Raghib Al-Asfihani dalam “Al-Mufradat fi Gharibil Quran” menjelaskan pengertian اهتديم dalam Al-Quran sebagai berikut:

Mengikuti petunjuk orang yang berilmu.
Mencari petunjuk dan mengikutinya dengan maksimal.

Konsisten terus mencari petunjuk tidak berhenti dan tidak kembali kepada kemaksiatan.
Mencari petunjuk dengan serius, menerimanya dan mengamalkannya.

Ahmad Musthafa Al-Maraghi menjelaskan bahwa ulama salaf sepakat bahwa orang beriman tidak dapat konsisten dalam petunjuk Allah apabila hanya memperhatikan kebaikan diri sendiri dan tidak memperhatikan amar makruf dan nahi munkar karena amar makruf dan nahi munkar adalah kewajiban yang pasti.
Jadi apabila setiap orang beriman telah sadar akan kewajiban dia akan terus melaksanakan amar makruf dan nahi munkar dalam setiap situasi dan kondisi sesuai kemampuan-nya dengan tetap menjaga diri sehingga tidak ikut tenggelam dalam kesesatan. Menjaga diri akan mengakibatkan tiga hal:

Pertama,kebesaran jiwa, sehingga sanggup menegur kesalahan orang yang salah.

Kedua, kalaupun nasihatnya tidak diterima dia sendiri telah melaksanakan kewajiban dan tidak akan berkecil hati apabila ditolak karena tugasnya hanya menyampaikan.

Ketiga, kalaupun nasehatnya diterima dia tidak akan bangga karena ia yakin bahwa petunjuk itu ada di Tangan Allah.

Sebagian ulama pasca sahabat juga menjadikan ayat ini sebagai landasan untuk memperhitungkan situasi dan kondisi dalam amar makruf dan nahi munkar.

Ibnu Jarir berkata, “Kalau sudah jelas atau sudah ada bukti-bukti yang kuat bahwa melancarkan amar makruf dan nahi munkar hanya akan membahayakan saja dan membawa diri dalam kebinasaan, di kala itu amar makruf dan nahi munkar tidaklah lagi faridhah (keutamaan), yakni ketika masih ada faedahnya.”

Hemat kami pandangan ini dapat diterima sebagai kompromi bagi pandangan para sahabat terhadap ayat ini sepanjang tidak mengabaikan amar makruf dan nahi munkar sama sekali. والله أعلم بالصواب. (A/Ast/P1)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.