Kunjungan Raja Salman dan Budaya Arab di Indonesia

image: beritagar.id

Beberapa waktu lalu, di media sosial beredar ungkapan sinis tentang Arab dan budayanya. Ungkapan “Kalau mau jadi orang Islam jangan jadi ” menjadi viral tidak hanya di dunia maya, tetapi juga di warung kopi dan kedai-kedai kopi tempat nongkrong anak muda.

Hari ini, ketika Raja berkunjung ke Indonesia dengan penyambutan yang sangat mewah  karena memang menjadi kunjungan bersejarah pemimpin Negara itu, tidak ada yang menyatakan keberatan atau protes kepada pemerintah. Hal ini seolah kontradiktif dengan pernyataan sebelumnya yang seolah anti-Arab dan kebudayaannya, yang disuarakan kalangan-kalangan kecil tertentu.

Negar Indonesia dengan mayoritas umat Islam di dalamnya memang sangat lekat dengan budaya Arab. Bahkan, jika kita lihat sejarah tidak sedikit peninggalan berupa situs, budaya dan bahasa Indonesia yang terwarnai oleh kebudayaan Arab.

Kunjungan Raja Salman  seolah mengukuhkan kembali bahwa hubungan Indonesia dengan dunia Arab sangat erat. Bahkan sebelum Indonesia lahir, yaitu sejak zaman kerajaan-kerajaan di Nusantara, masyarakat sudah mengenal Islam dan budaya Arab melalui para dai dan saudagar yang melakukan ekspedisi ke nusantara.

Dari catatan redaksi MINA, dalam dua tahun terakhir, hubungan Indonesia-Arab Saudi mengalami peningkatan. Kerjasama antara dua negara tidak lagi terbatas pada urusan Haji dan Tenaga Kerja Indonesia, namun  meluas pada urusan ekonomi, perdagangan, dan investasi dalam bidang energi dan infrastruktur. Baik Indonesia maupun Arab Saudi saling melakukan kunjungan para pejabat tinggi negara ke masing-masing negara.

Sejarah Hubungan Arab-Indonesia

Seorang sejarahwan Australia, M.C. Ricklefs (Australian National University) menyebutkan, ada dua proses masuknya Arab-Persia ke nusantara. Pertama, penduduk pribumi mengalami kontak dengan agama Islam dan kemudian menganutnya. Kedua, orang-orang asing (Arab, India, Cina) yang telah memeluk agama Islam tinggal secara permanen di beberapa wilayah Indonesia, menikah dengan penduduk pribum, dan mengikuti adat istiadat lokal.

Baca Juga:  Menag Cek Persiapan Akhir Layanan Jamaah Haji di Saudi

Budaya Arab berkembang lewat perantaraan bahasa. Penggunaan bahasa Arab terjadi di sebagian besar wilayah pesisir pantai. Utamanya lewat proses perdagangan antara penduduk lokal dengan para pedagang bangsa Arab, dan India Gujarat. Kontak-kontak ini, pada perkembangannya, memunculkan proses akulturisasi budaya.

Wilayah-wilayah Nusantara yang diketahui mengenal budaya Arab yaitu di  masa Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 M) yang menguasai jalur pelayaran-perdagangan di wilayah Indonesia bagian barat termasuk Selat Malaka. Hubungan pedagang Arab dengan Kerajaan Sriwijaya terbukti dengan adanya sebutan para pedagang Arab untuk Kerajaan Sriwijaya, yaitu Zabaq, Zabay atau Sribusa.

Selain itu,berita dari Marco Polo saat kali pertama menginjakkan kakinya di wilayah Indonesia, sepulang dari China menuju Eropa melalui jalur laut. la menyatakan singgah di Sumatera bagian utara. Di daerah itu, ia menemukan adanya kerajaan Islam, yaitu Kerajaan Samudera dengan sebagai ibukota Pasai.

Sementara menurut catatan Ma-Huan, seorang penulis yang mengikuti perjalanan Laksamana Cheng-Ho. la menyatakan bahwa sejak tahun 1400 M telah ada saudagar-saudagar Islam yang bertempat tinggal di pantai utara Pulau Jawa.

 

Kebiasaan Arab yang Ada di Indonesia

Gaya komunikasi orang Arab berbeda dengan budaya orang-orang Barat yang umumnya berbicara langsung dan lugas. Orang Arab suka basi-basi (mujamalah). Misalnya, bila seorang bertemu temannya, biasanya mereka berbasa-basi dengan Tanya kabar, keluarga, bisnis dan lainnya. Hal itu juga terjadi di Indonesia

Baca Juga:  Menag Cek Persiapan Akhir Layanan Jamaah Haji di Saudi

Ketika bertemu dengan kawan akrab (sesama jenis) orang Arab terbiasa saling merangkul seraya mencium pipi. Budaya ini juga banyak dipraktekkan oleh para pejabat, artis, dan masyarakat Indonesia umumnya, terutama umat Islam.

Tradisi Arab lainnya yang sangat menghormati dan memuliakan tamu juga dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Mereka menganggap dengan hadirnya tamu di rumah kita berarti keberkahan dan keberuntungan menyertai mereka.

Namun, perlu juga dibedakan, bahwa Islam bukan berarti identik dengan Arab. Setidaknya ada hal yang perlu dibedakan antara Islam dengan Arab.

Nabi Muhammad diutus untuk mengislamkan manusia, bukan mengarabkan. Yang diubah dari umat manusia adalah spiritualnya, bukan identitas ras, suku atau bangsanya. Seseorang dapat menjadi Muslim yang baik sekaligus tetap menjadi orang Indonesia sejati yang tetap menjunjung tinggi budaya asli Indonesia.

Jangan Apatis dengan Arab

Pengamat Politik Timur Tengah Abdul Mutaali mengatakan, jika Amerika Serikat saja tidak malu-malu bermesraan dengan Israel yang notabene dibenci oleh masyarakat internasional karena kepongahan dan penindasannya terhadap rakyat Palestina, mengapa juga Indonesia merasa malu-malu bermesraan dengan Arab Saudi yang notabene kedua Negara memiliki banyak persamaan kepentingan dan arah politik luar negeri.

Menurut Direktur Indonesia-Middle East Institute (IMEINS) Yon Machmudi, Sejak kepemimpinan Raja Abdullah (2005-2015) telah terjadi pergeseran arah politik luar negeri Saudi dengan menjadikan Asia sebagai mitra alternatif menggantikan hegemoni Barat (Amerika).

Dari sisi investasi, Arab Saudi memiliki potensi yang sangat besar. Para investor Saudi sangat identik dengan keluarga istana. Artinya, kebijakan politik istana dan ekonomi selalu saling berkaitan. Sebagian besar orang-orang kaya Saudi adalah keluarga istana.

Baca Juga:  Menag Cek Persiapan Akhir Layanan Jamaah Haji di Saudi

Sebut saja Pangeran Walid bin Talal bin Abdul Aziz adalah termasuk orang terkaya di dunia dengan kekayaan mencapai USD 20 milyar. Pada 2005 dia menyumbang Universitas Harvard dan Georgetown sebesar USD 40 juta dolar untuk pengembangan studi Islam.

Pada sisi lain kerjasama pendidikan di Indonesia lebih banyak diperankan oleh Lembaga Pendidikan Islam dan Arab (LIPIA) di Jakarta yang akan dikembangkan di tiga wilayah di Indonesia. Kerja sama dan bantuan pendidikan tidak banyak dilakukan dengan universitas-universitas di Indonesia.
Oleh kaenanya, kepentingan ekonomi menjadi sangat penting dibanding masalah keagamaan dan keamanan. Besarnya rombongan Raja dan lamanya kunjungan telah mengukuhkan karakteristik politik luar negeri Saudi yang dibangun atas dasar kekeluargaan, persahabatan dan kepercayaan.

Sementara itu, menurut Direktur Sekolah Kajian Strategik dan Global Universitas Indonesia, Muhamad Luthfi Zuhdi berpendapat kunjungan Raja Arab Saudi, Salman bin Abdulaziz al-Saud merupakan keberkahan bagi Indonesia.

Sejak 2014 lalu, Arab Saudi mengalami defisit di APBN-nya seiring harga minyak yang semakin hari semakin turun, selain itu Arab Saudi  harus membiayai perang di Suriah dan Yaman,” kata dia.

Dengan kondisi yang krisis tersebut, kata Luthfi Zuhdi, Arab Saudi perlu mencari mitra strategis baru, dalam hal ini adalah Indonesia.

Jadi, bagi yang mengatakan Indonesia anti budaya Arab atau jangan berteman dengan Arab atau juga kalau mau ngikutin budaya Arab, pindah ke Arab saja, rasanya ungkapan tersebut tidak berlaku, setidaknya untuk saat ini.(P02/P1)

Mi’raj Islamic Nes Agency (MINA)

 

Wartawan: Widi Kusnadi

Editor: Widi Kusnadi

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.