oleh: Illa Kartila*
Melegalkan peraturan tentang aborsi bagi wanita korban perkosaan – meski di dalamnya terkandung niat baik – tetap saja menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat. Ada yang setuju, tetapi tidak sedikit yang tak sepakat.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 21 Juli 2014 menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) nomor 61 tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi. Dalam PP tersebut dilegalkan aborsi bagi perempuan hamil yang diindikasikan memiliki kedaruratan medis atau hamil akibat perkosaan.
Menurut Menteri Hukum dan HAM, Amir Syamsudin, ada dasar hukum dari PP itu. Salah satunya adalah perlindungan HAM bagi korban perkosaan. “Kan kejadian itu tidak berdasarkan keinginan dia. Anda bisa bayangkan seseorang yang jadi korban pemerkosaan seperti apa.”
Baca Juga: Bebaskan Masjidil Aqsa dengan Berjama’ah
Dia menyebutkan, pelegalan Aborsi untuk korban perkosaan sudah berlaku di beberapa negara. Apalagi ada tinjauan medis yang jadi pertimbangan. “Pendekatan kita pendekatan medis. Saya kira wajar dan itu universal.”
Situs Sekretariat Kabinet menjelaskan, pelegalan aborsi mengacu pada UU Kesehatan No. 36/2009, khususnya pasal 75 ayat (1) yang menyatakan, setiap orang dilarang melakukan aborsi terkecuali berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan yang dapat menimbulkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
Berdasarkan PP ini, tindakan aborsi hanya dapat dilakukan pada: a. Indikasi kedaruratan medis dan b. Kehamilan akibat perkosaan. “Tindakan aborsi akibat perkosaan hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir,” kata pasal 31 ayat (2) PP ini.
“Penentuan adanya indikasi kedaruratan medis dilakukan oleh tim kelayakan aborsi, paling sedikit dari 2 orang tenaga kesehatan yang diketuai oleh dokter yang memiliki kompetensi dan kewenangan,” kata pasal 33 ayat (1,2) PP tersebut.
Baca Juga: Tak Perlu Khawatir Tentang Urusan Dunia
Namun, apapun bunyi pasal-pasal dalam PP tersebut sejumlah kelompok yang tidak setuju mempermasalahkan legalisasi praktik aborsi. “Aborsi sama saja dengan menghilangkan hak hidup seseorang. Alasan pelaku adalah korban pemerkosaan, tidak bisa menjadi legitimasi bagi tindakan aborsi,” kata Wakil Ketua Komisi IX DPR, Irgan Chairul Mahfiz.
Dia berpendapat, PP ini justru bisa berpotensi menjadi celah untuk melakukan aborsi dengan alasan atau berpura-pura sebagai korban pemerkosaan.”Karena itu, legalisasi aborsi bagi wanita korban pemerkosaan kurang tepat.”
Setiap bayi berhak untuk hidup
Setiap bayi menurut Sekretaris Pengurus Pusat Lembaga Kesehatan Nahdhatul Ulama (NU) Anggia Ermarini berhak untuk hidup. Dia bersifat suci dan terbebas dari dosa sehingga tidak memahami akan aksi pemerkosaan yang mungkin dialami ibu yang mengandungnya. “Jadi saya kira akan berdosa jika tiba-tiba digugurkan.”
Baca Juga: Keutamaan Al-Aqsa dalam Islam, Sebuah Tinjauan Berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis
Anggia berpendapat, penyebab kehamilan tidak menjadi alasan utama dilakukannya aborsi. Terlebih lagi bila kehamilan itu normal. Apresiasi terhadap eksistensi individu menurutnya harus lebih diutamakan. Kalau kehamilan mengancam kelangsungan hidup si ibu, maka akan berbeda. “Dalam hal ini, aborsi mungkin bisa menjadi pilihan.”
Namun, jika kehamilan bisa diteruskan sementara si ibu tidak mengalami gangguan kesehatan akibat kehamilan, katanya, maka aborsi bukan sebuah pilihan.Sikap bijak adalah meneruskan kehamilan itu hingga akhirnya melahirkan dengan baik.
Anggia menilai, peraturan pemerintah yang mengatur kesehatan reproduksi tidak didasarkan argumentasi yang kuat. Peraturan ini memunculkan kontroversi sehingga sejumlah pihak menolak.”Di sini ada penghilangan hak untuk hidup.”
Dia mengimbau agar dilakukan kajian dari berbagai tradisi keilmuan. Pertama dalam tinjauan medis. Kedua tentunya harus dilakukan dalam tinjauan tradisi keagamaan. “Madzahibul arba’ah menjadi patokan tersendiri dalam memandang persoalan aborsi. Kajian fikih, dapat menjadi alternatif memandang aborsi ini.”
Baca Juga: Selamatkan Palestina sebagai Tanggung Jawab Kemanusiaan Global
NU mengharapkan pemerintah tidak hanya berdasar pada ilmu kedokteran dalam mengambil kebijakan terkait aborsi. “Islam memiliki pandangan tersendiri berdasarkan ijtihad ulama,” ujarnya.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan tegas menyatakan aborsi diharamkan dalam Islam. Ketua MUI Bidang Pemberdayaan Perempuan Tutty Alawiyah menegaskan, apa pun alasannya, membunuh bayi dalam kandungan secara sengaja jelas tak diperbolehkan.
Tindakan aborsi, tak seharusnya dilegalkan, karena bersifat pengecualian (exception). “Di sini bukan negara sekuler yang bisa melegalkan segalanya,” ujar Tutty sambil menambahkan bahwa untuk menentukan seseorang boleh melakukan aborsi atau tidak, harus mendapat rekomendasi dari dokter.
Dia khawatir banyak orang tak bertanggung jawab akan memanfaatkan peraturan pemerintah yang melegalkan aborsi. “Hingga saat ini belum ada pembicaraan resmi di kalangan internal MUI untuk membahas masalah PP Aborsi. PP ini diharapkan bisa dibahas dalam rapat kerja nasional di Jakarta pada 13-14 Agustus 2014.
Baca Juga: [Hadits Al-Arbain ke-24] Tentang Haramnya Berbuat Zalim
Rawan diselewengkan
Menanggapi PP No. 61 Tahun 2014 yang memperbolehkan aborsi bagi korban pemerkosaan, Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) berpendapat, apa pun alasannya, aborsi tetaplah merupakan tindakan pemusnahan kehidupan.
“Saya memahami bahwa Tuhan adalah pemelihara hidup. Secara Kristen, hal itu tampak pada konsentrasi Yesus yang memulihkan, menyembuhkan, dan merawat kehidupan,” ujar Sekretaris Eksekutif Departemen Perempuan dan Anak PGI, Krise Anki Rotti-Gosal.
Ia menambahkan, janin dalam rahim merupakan suatu kehidupan. Menurut Krise, mungkin sebenarnya pemerintah ingin menyelamatkan masa depan korban dengan mengorbankan janin, namun janin itu juga termasuk ‘korban’. “Saya pun jadi bertanya, dari mana manusia mendapat kuasa untuk menetapkan mana yang harus diselamatkan dan mana yang perlu dibunuh?”
Baca Juga: Bantuan Pangan untuk Palestina
Penolakan terhadap PP tentang Kesehatan Reproduksi juga datang dari Muslimat Nahdatul Ulama, organisasi sayap perempuan NU yang menyatakan tidak sepakat dengan pasal legalisasi aborsi terhadap kehamilan karena perkosaan.
Ketua Umum Muslimat NU Khofifah Indar Parawansa mempertanyakan, “memangnya siapa yang akan memonitor, mengontrol, memastikan seorang perempuan hamil karena diperkoksa. PP ini rawan diselewengkan.”
Menurut Khofifah, tanpa adanya PP tersebut pun, praktik aborsi sudah begitu marak, termasuk yang dilakukan oleh dukun-dukun kandungan. Dia dengan tegas meminta pemerintah segera meninjau ulang peraturan tersebut. “Harus direvisi sebelum mendapat lebih banyak penentangan dari masyarakat.”
Mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ini juga mengatakan, karena rawan diselewengkan, dia khawatir PP tersebut akan memicu pergaulan bebas. “Ini akan menumbuhkan ruang free sex. Godaannya sudah besar, jangan lagi diberi peluang.”
Baca Juga: Keutamaan Menulis: Perspektif Ilmiah dan Syari
Kendati banyak yang menolak, tak sedikit pula kelompok yang mendukung PP tersebut. Anggota Komisi IX DPR, Prof. dr. H. Mahyuddin NS, SP.OG (K) beralasan, aborsi diperbolehkan apabila ada indikasi medis berdasarkan rekomendasi oleh para ahli kesehatan, psikolog dan agama. Jika kehamilan itu dapat menyebabkan kematian dan mengancam kesehatan ibu dan anak di dalam kandungannya.
Tetapi, katanya ini tidak diartikan pemerintah melegalkan aborsi, karena tidak boleh dilakukan sembarangan. “Ada ketentuan-ketentuannya termasuk untuk korban pemerkosaan dan gangguan kesehatan ibu dan anak.”
Dia menyarankan, peraturan teknis sebagai pengimplementasian PP Kesehatan Reproduksi tersebut harus diatur lebih rinci lagi mengenai syarat-syarat aborsi, bisa melalui Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes), Keputusan Menkes atau lainnya.”Syarat (aborsi untuk kekerasan seksual) dipertegas lagi oleh Permenkes.”
Sementara itu, Deputi Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN), Julianto Witjaksono menyebutkan, PP 61 ini sudah mengakomodir seluruh unsur termasuk unsur agama yang tidak memperbolehkan seseorang melakukan aborsi.
Baca Juga: Daftar Hitam Pelanggaran HAM Zionis Israel di Palestina
“Namun, dari unsur kemanusian serta kesehatan secara medis, jika seseorang terancam keberlangsungan hidupnya, maka dia harus diselamatkan,” katanya.
Dia meluruskan penilaian yang berkembang di masyarakat bahwa pemerintah mengeluarkan PP tersebut bukan untuk melegalkan aborsi di Indonesia. Aborsi hanya akan dilakukan pada korban kekerasan seksual dan itu harus dibuktikan atas rekomendasi dari tenaga kesehatan, agama, psikolog. Korban, lebih dulu harus melaporkan kepada pihak berwenang apabila mengalami kekerasan seksual.
Ada pedoman teknisnya
PP Kespro itu menurut Julianto, nantinya dibuatkan pedoman teknisnya, termasuk prosedurnya seperti apa dan akan ada Permenkes tentang peraturan teknis lainnya. PP ini hanya berisi pandangan atau pedoman secara umum saja yang belum diterapkan apabila belum ada petunjuk teknisnya. “Ini (PP) baru pedoman umum saja sehingga seolah-olah aborsi dilegalkan.”
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-23] Keutamaan Bersuci, Shalat, Sedekah, Sabar, dan Al-Quran
Dia menjelaskan, dalam peraturan teknis pengimplementasian PP itu, nantinya bisa saja pemerintah menunjuk RS tertentu yang diperbolehkan melakukan aborsi pada korban pemerkosaan. Seperti di Australia, contohnya, hanya ada satu RS yang diperbolehkan melakukan aborsi. “Itu harus ada kontrol, tidak bisa sembarangan.”
Menurut Peneliti Senior Pusat Kajian Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Dr. Budi Hartono, SE, MARS, akan ada banyak pertimbangan untuk mengimplementasian PP tersebut.
Pertama adalah aspek kemanusiaan. “Artinya secara hukum, korban kekerasan seksual harus diayomi dan didampingi untuk menanggung derita yang dialaminya.Itu harus dipikirikan karena kemanusian ini juga berhubungan dengan sosial juga,” katanya.
Kedua, aspek kesehatan. Dari segi usia apabila aborsi dilakukan pada perempuan yang usianya terlalu muda, maka dapat juga menyebabkan kematian yang juga berhubungan dengan aspek pertama dari unsur kemanusiaan. Ketiga, aspek agama yang tentunya akan menimbuhkan masalah karena Indonesia merupakan negara yang terdiri dari berbagai macam agama.
Baca Juga: Sejarah Palestina Dalam Islam, tak Ada Jejak Yahudi Sedikit Pun
Sementara itu Prijo Sidipratomo Kedokteran dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), mengatakan, dari aspek etika kedokteran, tidak ada yang dilanggar dalam ketentuan PP tersebut. Alasannya, kehamilan akibat perkosaan dapat menimbulkan trauma psikologis bagi korban. “Aborsi pada korban perkosaan sangat tergantung dari kondisi kejiwaannya. Aborsi tidak boleh dilakukan setelah janin berusia 40.hari.”
Menteri Pemberdayaan Perempuan Linda Gumelar menyambut baik usulan Kapolri Jenderal Polisi Sutarman untuk membahas lebih lanjut pelaksanaan PP No 61 Tahun 2014 soal aturan aborsi. Sutarman sebelumnya meminta pelaksanaan PP itu didiskusikan kepada seluruh komponen bangsa lantaran ada peraturan yang mengizinkan tindakan aborsi bagi wanita.
Biasanya, kata Linda, sebelum diterbitkan Permenkes tentang petunjuk teknis pelaksanaan PP tersebut, akan dilakukan pembahasan lebih dulu dengan pihak-pihak terkait. PP itu tidak begitu saja dilaksanakan, tetapi diterapkan dengan penuh kehati-hatian.
Seperti kata Linda, “kita tentu meyakini ada kehati-hatian – bukan berarti digebyah uyah – tidak bisa dilakukan semua orang. Yang berhak melakukan aborsi hanya wanita yang memiliki kondisi darurat dan korban perkosaan, tentunya dengan rekomendasi dari tim ahli yang sangat berwenang.” (T/IK/E01)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
*Illa Kartila adalah redaktur senior MINA. (Ia dapat dihubungi via Email:[email protected])