Oleh Deni Rahman, M.I.Kom, ketua Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) STAI Al-Fatah, Bogor
DALAM lintasan sejarah keyakinan manusia, sosok Isa putra Maryam ‘alaihissalam menjadi figur yang sangat dimuliakan. Ia adalah nabi yang lahir dengan mukjizat besar, berbicara sejak dalam buaian, dan diutus membawa risalah tauhid kepada Bani Israil. Namun di balik kemuliaan itu, sebagian manusia justru menyimpang — ada yang menghina dan menuduhnya lahir dari zina, ada pula yang menuhankannya dan menganggapnya sebagai Anak Tuhan.
Padahal Al-Qur’an datang untuk meluruskan dua penyimpangan besar ini, mengembalikan Isa kepada derajat yang sebenarnya: sebagai nabi mulia, bukan Tuhan; sebagai hamba Allah, bukan anak-Nya.
Allah SWT berfirman :
Baca Juga: Kantor Berita MINA dan Diplomasi Naratif Indonesia untuk Palestina
رَبِّيْ وَرَبَّكُمْۗ اِنَّهٗ مَنْ يُّشْرِكْ بِاللّٰهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللّٰهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوٰىهُ النَّارُۗ وَمَا لِلظّٰلِمِيْنَ مِنْ اَنْصَارٍ ٧٢ لَقَدْ كَفَرَ الَّذِيْنَ قَالُوْٓا اِنَّ اللّٰهَ ثَالِثُ ثَلٰثَةٍۘ وَمَا مِنْ اِلٰهٍ اِلَّآ اِلٰهٌ وَّاحِدٌۗ وَاِنْ لَّمْ يَنْتَهُوْا عَمَّا يَقُوْلُوْنَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌ ٧٣ اَفَلَا يَتُوْبُوْنَ اِلَى اللّٰهِ وَيَسْتَغْفِرُوْنَهٗۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ ٧٤ مَا الْمَسِيْحُ ابْنُ مَرْيَمَ اِلَّا رَسُوْلٌۚ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُۗ وَاُمُّهٗ صِدِّيْقَةٌۗ كَانَا يَأْكُلَانِ الطَّعَامَۗ اُنْظُرْ كَيْفَ نُبَيِّنُ لَهُمُ الْاٰيٰتِ ثُمَّ انْظُرْ اَنّٰى يُؤْفَكُوْنَ ٧٥
“Sungguh, telah kufur orang-orang yang berkata, “Sesungguhnya Allah itulah Almasih putra Maryam.” Almasih (sendiri) berkata, “Wahai Bani Israil, sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu!” Sesungguhnya siapa yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka sungguh, Allah mengharamkan surga baginya dan tempatnya ialah neraka. Tidak ada seorang penolong pun bagi orang-orang zalim itu. Sungguh, telah kufur orang-orang yang mengatakan bahwa Allah adalah salah satu dari yang tiga, padahal tidak ada tuhan selain Tuhan Yang Maha Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan, pasti orang-orang yang kufur di antara mereka akan ditimpa azab yang sangat pedih. Tidakkah mereka bertobat kepada Allah dan memohon ampunan kepada-Nya, padahal Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang? Almasih putra Maryam hanyalah seorang rasul. Sebelumnya pun sudah berlalu beberapa rasul. Ibunya adalah seorang yang berpegang teguh pada kebenaran. Keduanya makan (seperti halnya manusia biasa). Perhatikanlah bagaimana Kami menjelaskan ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) kepada mereka (Ahlulkitab), kemudian perhatikanlah bagaimana mereka dipalingkan (dari kebenaran)”. (QS. Surah Al-Māidah [5]: 72–75)
Ibnu Katsir dalam Tafsir-nya menjelaskan bahwa firman Allah dalam surah ini merupakan bantahan tegas terhadap kaum Nasrani yang menuhankan Isa. Menurut Ibnu Katsir, ayat ini adalah penegasan logika ilahiah, bagaimana mungkin seseorang yang makan, minum, dan hidup seperti manusia disembah sebagai Tuhan? Kalimat “keduanya biasa memakan makanan” menjadi argumentasi rasional bahwa Isa dan ibunya adalah makhluk yang bergantung pada karunia Allah, bukan sumber karunia itu sendiri.
Tafsir Jalalain menambahkan, ayat ini menegaskan bahwa Isa adalah rasul dari kalangan manusia, bukan Tuhan. Ia hanya diutus kepada kaum Bani Israil, sebagaimana firman Allah dalam Surah Ali ‘Imran [3]:49 yang artinya:
Baca Juga: 78 Tahun Penantian, Keadilan yang Belum Kunjung Datang ke Lembah Kashmir
“(Allah akan menjadikannya) sebagai seorang rasul kepada Bani Israil. (Isa berkata,) “Sesungguhnya aku telah datang kepadamu dengan tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, sesungguhnya aku membuatkan bagimu (sesuatu) dari tanah yang berbentuk seperti burung. Lalu, aku meniupnya sehingga menjadi seekor burung dengan izin Allah. Aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahir dan orang yang berpenyakit buras (belang) serta menghidupkan orang-orang mati dengan izin Allah. Aku beri tahukan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kerasulanku) bagimu jika kamu orang-orang mukmin”.
Dengan demikian, risalah Isa bersifat lokal, sebagaimana para nabi sebelumnya. Sedangkan Nabi Muhammad ﷺ adalah rasul terakhir yang diutus untuk seluruh umat manusia, sebagaimana firman Allah:
وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا كَاۤفَّةً لِّلنَّاسِ بَشِيْرًا وَّنَذِيْرًا وَّلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَ ٢
“Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan kepada seluruh manusia sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan.” (QS. Saba’ [34]: 28)
Baca Juga: Tersihir Drakor, Terseret Fitnah: Saatnya Muslim Bangkit!
Dalam catatan sejarah keagamaan, misi Isa adalah menyelamatkan domba-domba Bani Israil yang tersesat, yakni mengembalikan umatnya kepada tauhid sejati yang telah mereka selewengkan. Hal ini ditegaskan pula dalam Injil Matius (15:24):
“Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel.”
Maka, jelaslah bahwa Isa bukan Tuhan dan bukan pula rasul untuk seluruh bangsa. Ia adalah nabi yang membawa kembali Bani Israil kepada ajaran Musa AS, bukan pencipta ajaran baru, dan terlebih bukan penebus dosa manusia.
Membantah Kekeliruan Yahudi dan Nasrani akan Isa dan Maryam
Baca Juga: Peran Diaspora Palestina dalam Perlawanan Naratif Global
Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menjelaskan dengan penuh hikmah bahwa kelahiran Isa AS adalah mukjizat, bukan bukti ketuhanan. Isa lahir tanpa ayah bukan karena ia Tuhan, tetapi karena Allah ingin menunjukkan kekuasaan-Nya yang mutlak. Sebagaimana Dia menciptakan Adam tanpa ayah dan ibu, demikian pula Isa diciptakan tanpa ayah.
Hamka menegaskan: “Yang dijadikan tanda oleh Allah bukanlah Isa sebagai Tuhan, melainkan sebagai bukti bahwa kekuasaan Allah tidak terbatas.”
Lebih dari itu, hal ini sekaligus menolak tuduhan keji kaum Yahudi yang menistakan Maryam sebagai pezina dan menganggap Isa lahir dari perbuatan Nista. Tuduhan keji itu dibantah langsung oleh Allah ﷻ dalam Al-Qur’an, yang menegaskan kesucian Maryam dan kemuliaannya di atas seluruh wanita di zamannya. (QS. Ali ‘Imran: 42).
Kaum Nasrani, sebaliknya, berlebih-lebihan dalam memuliakan Isa hingga menuhankannya. Mereka menjadikan Maryam sebagai “ibunda Tuhan” dan meyakini Trinitas, bahwa Isa adalah Tuhan Anak, bagian dari tiga oknum Ilahi (Tuhan Bapak dan Tuhan Ibu).
Baca Juga: Solidaritas Palestina; Dari Ruang Kelas hingga ke Puncak Gunung
Kedua pandangan ini sama-sama menyimpang dari kebenaran wahyu. Karena itulah, datanglah Islam sebagai jalan lurus yang meluruskan keduanya.
Islam menegaskan bahwa Isa adalah hamba Allah, rasul pilihan-Nya, dan kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam, sedangkan Maryam adalah wanita suci yang terjaga kehormatannya, bukan ibu Tuhan sebagaimana diklaim kaum Nasrani, dan bukan wanita hina sebagaimana dituduh kaum Yahudi.
Dengan demikian, Islam menegakkan keadilan dan keseimbangan dalam pandangan terhadap Isa dan Maryam, memuliakan tanpa menuhankan, menghormati tanpa mengultuskan. Sebuah posisi yang berlandaskan ilmu, wahyu, dan logika kebenaran.
Peran Paulus dan Dogma Trinitas
Baca Juga: Proyek Israel Raya, Upaya Menguasai Timteng dengan Dukungan AS
Setelah masa Nabi Isa ‘alaihissalam berlalu, muncul seorang tokoh bernama Paulus (Saulus dari Tarsus), yang semula adalah pembenci dan penganiaya para pengikut Isa. Namun kemudian ia mengaku mendapat “wahyu” untuk menjadi rasul bagi bangsa-bangsa non-Yahudi. Dari sinilah, wajah ajaran Nabi Isa yang semula bertauhid mulai berubah.
Paulus memperkenalkan konsep baru, bahwa Yesus mati untuk menebus dosa manusia, dan keselamatan hanya dapat diraih melalui “iman kepada Anak Tuhan” sebagai penebus dosa turunan. Doktrin inilah yang kemudian menjadi dasar teologi Kristen modern. Padahal, Isa sendiri tidak pernah mengajarkan bahwa dirinya adalah Tuhan atau anak Tuhan. Ia justru berkata:
“Sesungguhnya Allah adalah Tuhanku dan Tuhanmu, maka sembahlah Dia, inilah jalan yang lurus.” (QS. Maryam: 36)
Seiring berjalannya waktu, berbagai aliran muncul di kalangan pengikut Isa. Sebagian tetap memegang ajaran tauhid murni (yang dikenal sebagai kaum Unitarian), sedangkan sebagian lain yang mengikuti ajaran Paulus, mulai meyakini bahwa Isa adalah Tuhan, bagian dari “Tritunggal” bersama Tuhan Bapa dan Roh Kudus.
Baca Juga: Aneksasi Upaya Menghapus Masa Depan Palestina
Pertentangan ini memuncak pada Konsili Nicea tahun 325 Masehi, yang diselenggarakan oleh Kaisar Romawi Konstantin Agung. Dalam konsili itu, dihadiri lebih dari 300 uskup dan pendeta dari berbagai wilayah, terjadi perdebatan besar antara dua kelompok:
- Kelompok Arius (Arianisme) — yang berpegang bahwa Isa hanyalah makhluk ciptaan, nabi utusan Allah, bukan Tuhan.
- Kelompok Athanasius (Trinitarian) — yang menganggap Isa setara dengan Tuhan Bapa, bagian dari satu kesatuan ilahi.
Ketika perdebatan tidak menemukan titik temu, Kaisar Konstantin melakukan pemungutan suara (voting). Mayoritas memilih pandangan Athanasius — bahwa Isa adalah Tuhan dan bagian dari Trinitas. Pandangan inilah yang kemudian dijadikan doktrin resmi Gereja dan dipaksakan kepada seluruh wilayah Romawi.
Dengan demikian, dogma Trinitas bukanlah hasil wahyu Ilahi, tetapi hasil keputusan politik dan poling suara manusia. Ajaran tauhid yang dibawa Isa pun tertutup oleh doktrin baru yang tidak dikenal oleh para rasul sejatinya.
Sejak saat itu, Paulus dan para penerusnya terus menyebarkan gagasan bahwa “Tuhan adalah tiga dalam satu, dan satu dalam tiga”, sebuah konsep yang bertentangan dengan logika dan akal sehat manusia.
Baca Juga: Olimpiade dan Penjajahan: Polemik IOC–Indonesia
Logika yang sehat dan wahyu yang suci sama-sama menolak ketuhanan Isa. Jika Isa adalah Tuhan, mengapa ia berdoa kepada Allah? Jika Isa adalah Tuhan, mengapa ia berkata, “Aku naik kepada Bapaku dan Bapamu, kepada Tuhanku dan Tuhanmu” (Yohanes 20:17)?
Al-Qur’an meluruskan semua kekeliruan itu dengan satu kalimat yang tegas dan murni:
“Dan (ingatlah) ketika Isa putra Maryam berkata: Wahai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Sesungguhnya siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh Allah mengharamkan surga baginya.” (QS. Al-Māidah: 72)
Tauhid dan Kesatuan Umat
Baca Juga: Tatanan Baru Palestina dan Ujian Bagi Solidaritas Dunia Islam
Dari seluruh penjelasan ini kita belajar bahwa tauhid adalah inti seluruh risalah para nabi selain larangan berpecah belah. Isa datang membawa tauhid. Musa datang membawa tauhid. Dan risalah Nabi Muhammad ﷺ adalah penyempurna dan penjaga tauhid itu hingga akhir zaman. Allah Ta’ala berfirman:
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ يُنِيبُ
“Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya)”. (QS. Asy Syura: 13)
Ibnu Katsri dalam tafsirnya menjelaskan ayat ini, bahwa agama yang dibawa oleh para rasul semuanya adalah agama tauhid, yaitu yang menganjurkan menyembah Allah semata, tiada sekutu bagiNya dan hidup berjamaah, sekalipun syariat dan tuntunannya berbeda-beda.
Baca Juga: Dari Viral ke Vital, Menata Ekonomi Kreatif dan Gig Economy 2025
Karena itu, Allah Swt. memerintahkan kepada semua nabi untuk rukun dan bersatu, serta melarang mereka berpecah belah dan berlainan pendapat, sebagaimana firman-Nya dalam ayat lain:
وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللّٰهِ جَمِيْعًا وَّلَا تَفَرَّقُوْاۖ
“Berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah seraya berjamaah dan janganlah bercerai berai,” (QS. Ali Imran: 103)
Melalui ayat ini Allah menekankan perintah untuk bersatu, berpegang teguh pada tali agama-Nya seraya berjamaah, dan tidak bercerai-berai,
Inilah Islam, bukanlah agama baru, melainkan kembali ke fitrah ajaran para nabi, mengesakan Allah tanpa sekutu dan perintah untuk menjaga kesatuan umat.
Maka marilah kita pegang teguh cahaya tauhid ini, kita sampaikan dengan hikmah kepada siapa pun yang masih terjebak dalam kesesatan Trinitas, agar dunia mengenal Tuhan yang sebenarnya: Allah Yang Maha Esa, Rabb semesta alam. []
Mi’raj News Agency (MINA)
















Mina Indonesia
Mina Arabic