Jakarta, MINA – Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (mui/">LPPOM MUI) memberikan penjelasan secara lengkap guna menjawab pertanyaan sebagian masyarakat terkait dengan biaya sertifikasi halal yang dilakukan oleh MUI melalui mui/">LPPOM MUI.
Direktur mui/">LPPOM MUI Lukmanul Hakim menjelaskan, mengingat mui/">LPPOM MUI bukan instansi atau lembaga pemerintah, maka dalam menjalankan amanah melakukan pemeriksaan kehalalan produk, mui/">LPPOM MUI tidak mendapatkan pembiayaan pemerintah yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Dia menyatakan, maka dalam menjalankan tugas dan fungsi sebagai lembaga pemeriksa halal, utamanya untuk pembiayaan sertifikasi halal bagi pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dan Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM), mui/">LPPOM MUI kerap menjalin kerja sama dengan instansi pemerintah dalam bentuk fasilitasi pembiayaan.
“Seperti halnya lembaga sertifikasi lain, misalnya sertifikasi mutu maupun sertifikasi lainnya, dalam menjalankan tugas dan fungsinya mui/">LPPOM MUI memang mengutip pembiayaan dari perusahaan yang mengajukan sertifikasi halal, dengan besaran dan skema yang telah disepakati oleh pihak perusahaan yang dituangkan dalam akad, jadi bersifat sukarela,” kata Lukmanul sebagaimana keterangan tertulisnya yang diterima MINA, Rabu (15/7).
Baca Juga: BPJPH Tegaskan Kewajiban Sertifikasi Halal untuk Perlindungan Konsumen
Untuk memenuhi ketentuan Undang-Undang Perpajakan, lanjut dia, mui/">LPPOM MUI telah pula ditetapkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), sehingga mui/">LPPOM MUI harus dan telah memenuhi semua aturan dan ketentuan perpajakan yang berlaku, termasuk Laporan Keuangan mui/">LPPOM MUI yang harus diperiksa oleh akuntan publik.
Lukmanul juga menjelaskan, biaya sertifikasi halal mui/">LPPOM MUI meliputi antara lain biaya pemdaftaran, biaya audit, analisis laboratorium (jika diperlukan analisis laboratorium), serta biaya sosialisasi dan edukasi halal.
“Komponen biaya tersebut sudah diketahui oleh pihak pemohon sertifikat halal sejak awal melakukan pendaftaran secara online melalui Sistem Sertifikasi Online mui/">LPPOM MUI (Cerol SS 23000),” ujarnya.
Lukmanul menyatakan, basis perhitungan biaya sertifikasi halal dilakukan per sertifikat halal, bukan jumlah item produk. Penjelasan ini perlu disampaikan mengingat masih ada sementara pihak yang berasumsi bahwa sertifikasi halal dihitung berdasarkan jumlah produk seperti halnya label cukai (misalnya cukai minuman, rokok, dan sejenisnya).
Baca Juga: BPJPH Tekankan Kembali Wajib Halal Telah Berlaku
“Sebagai ilustrasi, hingga Juni 2020 mui/">LPPOM MUI telah mengeluarkan sebanyak 2.662 Sertifikat Halal bagi 2.180 perusahaan, dengan jumlah produk mencapai 125.703 produk. Artinya, biaya sertifikasi halal yang diterima oleh mui/">LPPOM MUI adalah berasal dari 2.662 sertifikat halal, bukan dari 125.703 produk,” jelasnya.
Sebagai lembaga halal, kinerja mui/">LPPOM MUI telah diakui secara nasional maupun internasional. mui/">LPPOM MUI telah mendapatkan sertifikat ISO 17065 untuk kategori Lembaga sertifikasi halal dari Badan Sertifikasi Nasional (BSN).
Lukmanul mengatakan, melalui sertifikasi tersebut mui/">LPPOM MUI dapat beroperasi sebagai lembaga sertifikasi sesuai standar internasional, termasuk keberterimaan produk yang disertifikasi mui/">LPPOM MUI ke negara-negara yang mengimplementasikan acuan standar yang sama.
“Begitu juga Laboratorium Halal mui/">LPPOM MUI yang memperoleh akreditasi dari Komite Akreditasi Nasional (KAN) berupa sertifikat ISO 17025. Sistem Jaminan Halal (SJH) mui/">LPPOM MUI telah diadopsi dan menjadi rujukan oleh lembaga-lembaga halal di sejumlah negara,” imbuhnya.
Baca Juga: UMK Wajib Sertifikasi Halal 17 Oktober 2026: Bagaimana dengan Produk Luar Negeri?
Lukmanul menegaskan, sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH), selama 30 tahun terakhir proses sertifikasi halal dilakukan secara suka rela oleh pihak perusahaan sebagai bentuk tanggung jawab moral dan memenuhi tuntutan konsumen muslim yang menghendaki produk yang terjamin halal.
“Mengingat proses sertifikasi halal dilakukan secara suka rela dan pendaftarannya dilakukan secara online dan transparan serta dituangkan dalam bentuk akad yang ditandatangani oleh pihak perusahaan, maka tuduhan dan anggapan akan adanya mafia dalam pembuatan sertifikasi halal adalah fitnah dan merupakan pencemaran nama baik MUI maupun mui/">LPPOM MUI sebagai lembaga yang secara sah diakui dan dilindungi oleh Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia,” pungkasnya.
Sertifikasi halal oleh MUI bermula dari penugasan pemerintah kepada MUI untuk meredakan kasus lemak babi yang terjadi pada tahun 1988.
Untuk melaksanakan tugas tersebut sekaligus menenteramkan batin umat Islam dalam mengkonsumsi produk pangan olahan, MUI membentuk lembaga semi otonom yakni Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika MUI (mui/">LPPOM MUI) pada 6 Januari 1989. Tugas utama mui/">LPPOM MUI adalah melakukan pemeriksaan kehalalan produk.(L/R1/RS3)
Baca Juga: BPJPH, MUI, dan Komite Fatwa Sepakati Solusi Masalah Nama Produk Halal
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: BPJPH, MUI Tuntaskan Nama Produk Bersertifikat Halal