Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

LPPOM MUI: GELATIN BABI TIDAK BISA DIDASARKAN PADA ‘ISTIHALAH’

kurnia - Senin, 4 Mei 2015 - 18:30 WIB

Senin, 4 Mei 2015 - 18:30 WIB

570 Views ㅤ

Direktur LPPOM MUI Ir. Lukmanul Hakim, Msi (Foto : MUI)
Direktur <a href=

LPPOM MUI Ir. Lukmanul Hakim, Msi (Foto : MUI)" width="300" height="202" /> Direktur LPPOM MUI Ir. Lukmanul Hakim, Msi (Foto : MUI)

Jakarta, 15 Rajab 1436/4 Mei 2015 (MINA) – Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika, Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI), Lukmanul Hakim mengatakan, penggunaan gelatin babi tidak bisa didasarkan pada istihalah, yakni dibolehkannya bahan-bahan haram berubah menjadi halal sebab dianggap telah terjadi perubahan zat.

“Pengertian “istihalah” yang dipakai oleh beberapa pihak, tidak bisa dijadikan landasan untuk menghalalkan sesuatu sesuai syariah,” tegas Lukmanul Hakim, demikian siaran pers yang diterima Mi’raj Islamic News Agency (MINA), Senin (4/5).

Sebab, lanjutnya, bahan-bahan yang haram di sisi agama Islam akan tetap dianggap haram meskipun ia telah mengalami perubahan zat.

Pandangan Lukmanul Hakim itu, seolah menjawab diskursus publik selama ini mengenai istihalah yang oleh beberapa kalangan dianggap legitimasi secara syariah.

Baca Juga: BPJPH Tegaskan Kewajiban Sertifikasi Halal untuk Perlindungan Konsumen

Dasarnya dalam konferensi di Kuwait yang dihadiri oleh Syaikh Yusuf Qaradhawi menyatakan, gelatin hewan termasuk babi halal digunakan termasuk di dalam produk makanan setelah gelatin babi itu bertransformasi menjadi zat lain.

Menurut Qaradhawi, hukum ditetapkan bergantung pada illat (sebab) yang ada dan yang tiada.

Lukmanul Hakim tak sependapat mengenai hal tersebut. Dalam syariat Islam, hukum haramnya babi dan turunannya bersifat zero tolerance. Artinya, meski sudah berubah bentuk, jika suatu zat telah tercampur dengan babi maka hukumnya adalah haram.

Argumentasi itulah yang ia pertahankan, hingga Lukmanul Hakim meraih gelar philosophy of doctor (Ph.D).

Baca Juga: BPJPH Tekankan Kembali Wajib Halal Telah Berlaku

Selain itu, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), bidang Produk Halal K.H. Amidhan Shaberah menyatakan, pencapaian Lukmanul Hakim sebagai doktor merupakan sesuatu yang luar biasa.

Alasannya, masalah yang diangkat dalam disertasinya, merupakan persoalan krusial di bidang halal, yakni menyangkut masalah istihalah.

“Saudara Lukmanul Hakim bisa menjelaskan hal ini dengan sangat, baik dalam kerangka ilmu pengetahuan (science) maupun kaidah fiqih,” ujarnya.

Menurutnya, beberapa ulama di berbagai negara selama ini, masih ada yang berbeda pandangan mengenai istihalah.

Baca Juga: UMK Wajib Sertifikasi Halal 17 Oktober 2026: Bagaimana dengan Produk Luar Negeri?

Perbedaan pandangan itu, antara lain diungkapkan Yusuf Qardawi yang gelatin babi boleh digunakan setelah melalui proses transformasi menjadi zat lain.

Padahal,ulama di Indonesia tak mengenal istihalah dan sepakat bahwa hukum babi adalah hukum haramnya babi dan turunannya adalah mutlak.

“Ini yang dijelaskan oleh Lukmanul Hakim dengan dalil-dalil yang sangat kuat,” tambah Amidhan.

Secara personal, menurut Amidhan, penampilan Lukmanul Hakim juga sangat meyakinkan. “Dengan penguasaan materi sekaligus Bahasa Inggris yang sangat baik,” katanya,

Baca Juga: BPJPH, MUI, dan Komite Fatwa Sepakati Solusi Masalah Nama Produk Halal

Ia menambahkan, Lukmanul Hakim bisa meyakinkan para profesor di Universitas Islam Eropa, dia memang layak mendapat gelar doktor dari universitas yang oleh otoritas pemerintahan setempat, dalam hal ini Kementerian Pendidikan, telah memperoleh akreditasi sebagai lembaga perguruan tinggi yang sangat kredibel.(T/P002/R05)

 

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

 

Baca Juga: BPJPH, MUI Tuntaskan Nama Produk Bersertifikat Halal

Rekomendasi untuk Anda

Indonesia
Kolom
Indonesia
MINA Preneur
Indonesia
Indonesia