Jakarta, MINA – Maarif Institute menyesalkan adanya politisasi mengenai penolakan terhadap Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) nomor 23 tahun 2017 terkait kebijakan Lima Hari Sekolah (LHS) delapan jam dalam sehari.
“Kita menyesalkan politisasi terhadap kebijakan pendidikan seperti ini. Ini membuktikan peradaban politik kita berada di bawah titik nadir. Penolakan ini sama sekali tak berdasar, sebab kebijakan yang tertuang dalam Permendikbud nomor 23 tahun 2017 sama sekali bukanlah kebijakan Full Day School,” kata Direktur Eksekutif Maarif Institute Muhammad Abdullah Darraz dalam siaran pers yang diterima Mi’raj Islamic New Agency (MINA), di Jakarta, Rabu (9/8),
Ia menyanyangkan adanya penolakan yang terjadi saat ini, terlebih adanya penolakan tersebut kental dengan nuansa politik di dalamnya.
“Kebijakan pendidikan bukanlah instrumen politik murahan untuk tawar-menawar politik. Tidak elok kebijakan pendidikan dijadikan alat politik oleh politisi tuna visi,” ujarnya.
Baca Juga: Doa Bersama Menyambut Pilkada: Jateng Siap Sambut Pesta Demokrasi Damai!
Menurutnya, kebijakan Permendikbud ini tujuannya untuk membangun dan memperkuat pendidikan karakter kebangsaan yang menargetkan anak-anak pelajar di sekolah.
“Permendikbud ini adalah kebijakan untuk memperkuat pendidikan karakter di sekolah. Kebijakan Sekolah 8 Jam adalah salah satu instrumen dari program penguatan pendidikan karakter dari Kemdikbud. Program ini sangat penting memberikan ruang dan waktu lebih luas bagi pihak sekolah dan publik untuk secara kreatif menciptakan aktivitas sekolah yang lebih positif bagi pelajar,” paparnya.
Ia menambahkan bahwa kebijakan tentu memiliki kelemahan, mestilah direspon dengan bijak melalui saluran yang telah disediakan, bukan dengan pernyataan politik.
“Terlalu mahal masa depan pendidikan kita jika hanya menjadi bahan politisasi politisi-politisi yang berpandangan pendek,” tambahnya. (R/R10/RI-1)
Baca Juga: Cuaca Jakarta Berpotensi Hujan Sore Hari Ini
Mi’raj islamic News Agency (MINA)