Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

MAKNA HALAL BI HALAL BULAN SYAWWAL

Ali Farkhan Tsani - Sabtu, 25 Juli 2015 - 22:29 WIB

Sabtu, 25 Juli 2015 - 22:29 WIB

1507 Views

afta peci putihOleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Tausiyah Kantor Berita Islam MINA 

Sudah menjadi tradisi di Indonesia untuk saling meminta dan memberi maaf satu sama lain pada bukan Syawwal, baik secara pribadi atau dalam sebuah acara yang dikenal dengan istilah “Halal bi Halal”. Bagaimana asal mula istilah tersebut, adakah salam syari’at Islam serta bagaimana menyikapinya? Berikut uraiannya.

Istilah Halal bi Halal

Asal-usul tradisi halal bi halal, dari daerah mana, siapa yang memulai dan kapan kegiatan tersebut mulai diselenggarakan sulit untuk diketahui dengan pasti.

Baca Juga: Ada Apa dengan Terpilihnya Trump?

Menurut sumber Keraton Surakarta, bahwa tradisi halal bihalal mula-mula dirintis oleh KGPAA Mangkunegara I (lahir 8 Apri 1725), yang terkenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa.

Dalam rangka menghemat waktu, tenaga, pikiran, dan biaya, maka setelah shalat Idul Fitri diadakanlah pertemuan antara Raja dengan para punggawa dan prajurit secara serentak di balai istana. Semua punggawa dan prajurit dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri.

Apa yang dilakukan oleh Pangeran Sambernyawa itu dianggap baik dan kemudian ditiru oleh organisasi-organisasi Islam dengan istilah halal bi halal. Kemudian instansi-instansi pemerintah dan swasta juga mengadakan halal bi halal, yang pesertanya meliputi warga masyarakat dari berbagai pemeluk agama.

Asal kata Halal bi halal sendiri dalam Bahasa Arab asalnya, sama sekali tidak dikenal oleh kalangan bangsa Arab, tidak pula ada pada zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabat sesudahnya. Kamus bahasa Arab juga tak mengenal istilah itu.

Baca Juga: Pentingnya Memahami Fiqih Jual Beli dalam Berdagang

Namun Halal bi Halal masuk dan diserap ke dalam bahasa Indonesia dan diartikan sebagai “hal maaf-memaafkan setelah menunaikan ibadah puasa Ramadhan, biasanya diadakan di sebuah tempat oleh sekelompok orang dan merupakan suatu kebiasaan khas Indonesia.”

Halal bi Halal merupakan kata majemuk dari dua kata bahasa Arab halal yang diapit dengan satu kata penghubung bi, yang artinya “diperkenankan”, dan sebagai lawan dari kata haram, atau “baik” yang terkait dengan status kelayakan produk makanan.

Kata Halal bi Halal bisa juga berasal dari akar kata halla yang berarti menyelesaikan persoalan atau problem, meluruskan benang kusut, mencairkan air yang keruh, dan melepaskan ikatan yang membelenggu.

Dengan demikian, dengan adanya acara Halal bi Halal diharapkan hubungan yang selama ini keruh dan kusut dapat segera diurai dan dijernihkan.

Baca Juga: Selesaikan Masalahmu dengan Sabar dan Shalat

Ensiklopedi Indonesia, 1978, menyebutkan halal bi halal berasal dari lafadz Arab yang tidak berdasarkan tata bahasa Arab (ilmu nahwu), sebagai pengganti istilah silaturahmi. Sebuah tradisi yang telah melembaga di kalangan penduduk Indonesia.

Secara bahasa, Halal bi Halal adalah kata majemuk dalam bahasa Arab dan berarti halal dengan halal atau sama-sama halal. Tapi kata majemuk ini tidak dikenal dalam kamus-kamus bahasa Arab maupun pemakaian masyarakat Arab sehari-hari.

Beberapa sumber menyebutkan bahwa Halal bi Halal adalah suatu tradisi berkumpul sekelompok orang Islam di Indonesia dalam suatu tempat tertentu untuk saling bersalaman sebagai ungkapan saling memaafkan agar yang haram menjadi halal. Umumnya, kegiatan ini diselenggarakan setelah melakukan shalat Idul Fitri. Kadang-kadang, acara halal bi halal juga dilakukan di hari-hari setelah Idul Fitri dalam bentuk pengajian, ramah tamah atau makan bersama.

Dapat disimpulkan juga bahwa Halal bi Halal adalah suatu tradisi berkumpul sekelompok orang Islam di Indonesia dalam suatu tempat tertentu untuk saling bersalaman sebagai ungkapan saling memaafkan agar yang haram menjadi halal, dan kemudian disebut dengan “halal bi halal”.

Baca Juga: Dentuman Perang Memisahkan Sepasang Calon Pengantin

<a href=halal bi halal" width="300" height="221" />Pandangan Ulama

Dalam perspektif Islam tidak ada landasan teologis di dalam Al-Quran dan Hadits. Biasanya para ulama menggunakan pendekatan kaidah-kaidah ushul fiqh. Salah satu kaidah yang bisa dijadikan rujukan adalah, “al-ashlu fi al-asyyai al-ibahah hatta yadullu al-dalilu ‘ala al-tahrim” (pada dasarnya melaksanakan apa pun diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya). Berdasarkan kaidah ini, halal bi halal diperbolehkan karena memang tidak ada nash yang melarangnya. Selain itu, kegiatan halal bi halal juga tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip aqidah dan syari’at Islamiyyah.

Selain argumen ushuliyyah tersebut, kegiatan halal bi halal dapat juga dianalogikan sebagai kegiatan silaturrahmi. Sedangkan shilaturrahim adalah salah satu ibadah sosial yang sangat dianjurkan dalam Islam. Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyamaikan sabdanya yang artinya, “Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezkinya dan ingin dipanjangkan usianya, maka hendaklah dia menyambung silaturrahmi.” (H.R. Bukhari).

Dengan demikian, jika kegiatan halal bi halal diniatkan untuk menyambung dan mempererat tali silaturrahmi, maka kegiatan tersebut justru bisa bernilai ibadah.

Baca Juga: Bela Masjid Al-Aqsa Sepanjang Masa

Namun, tentu saja upaya menanamkan niat silaturrahmi pada momen Halal bi Halal itu adalah tetap dengan menjaga agar kegiatan itu tidak diselingi dengan tindakan-tindakan yang dilarang agama. Umpamanya perilaku riya (pamer), ghibah (menyebar gosip), mubadzir (berlebihan), makan dan minum yang diharamkan, dan lain-lain, saling bercamur laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom (berkhalwat) hingga melanggar batas-batas (hijab), dan sebagainya.

Refeleksi Halal bi Halal

Halal bi Halal adalah refleksi ajaran Islam yang menekankan sikap persaudaraan, persatuan, dan saling memberi kasih sayang. Fenomena Halal bi Halal sudah menjadi budaya. Budaya memaafkan, saling mengunjungi dan saling berbagi kasih sayang.

Halal bi Halal yang merupakan tradisi khas bangsa Indonesia akhirnya menjadi sebuah simbol yang merefleksikan bahwa Islam adalah agama toleran, yang mengedepankan pendekatan hidup rukun dengan semua agama. Perbedaan agama bukanlah tanda untuk saling memusuhi dan mencurigai, tetapi hanyalah sebagai sarana untuk saling berlomba-lomba dalam kebajikan.

Baca Juga: Cinta Dunia dan Takut Mati

Semoga dengan pemaknaan Halal bi Halal dapat menjadikan kaum Muslimin lebih merapatkan barisan, mempererat ukhuwah Islamiyyah, dan membingkai persatuan dan kesatuan umat (bil jama’ah), serta tidak mudah dipecah-belah dan diadu domba oleh kelompok dan kepentingan yang memusuhi Islam dan Muslimin. Aamiin. (T/P4/R02)

Mi’raj Islamic News Agency (MINA)

Baca Juga: Menjaga Akidah di Era Digital

Rekomendasi untuk Anda