Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Makna Puasa Bagi Para Pemimpin

kurnia - Selasa, 27 April 2021 - 15:41 WIB

Selasa, 27 April 2021 - 15:41 WIB

4 Views ㅤ

Oleh: Dr. Adian Husaini, Ketua Umum DDII

Tujuan puasa Ramadhan sangatlah jelas: agar kita menjadi orang yang bertaqwa. Jika penduduk satu negeri beriman dan bertaqwa, maka Allah pun akan mengucurkan berkah dari langit dan bumi. Sebaliknya, jika mereka durhaka, maka Allah tidak akan mengucurkan rahmat-Nya ke negeri itu.

Maka, jika negaranya mau mendapat rahmat dari Allah SWT, salah satu tugas terpenting para pemimpin – Lurah, Camat, Bupati/Walikota/Gubernur, Raja/Presiden dan sebagainya – adalah mendidik rakyatnya agar mereka menjadi orang-orang yang bertaqwa. Cara terbaik adalah dengan menjadi contoh, bagaimana menjadi orang bertaqwa.
“Andaikan penduduk suatu negeri mau beriman dan bertaqwa, maka pasti akan Kami buka pintu-pintu barakah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ajaran-ajaran Allah), maka Kami azab mereka, karena perbuatan mereka sendiri” (QS Al A’raf:96).

Al-Quran Surat al-A’raf ayat 96 tersebut dengan sangat gamblang memberi kabar gembira, bahwa jika suatu bangsa mau mendapatkan kucuran rahmat dan dijauhkan dari berbagai musibah, maka iman dan taqwa harus dijadikan sebagai nilai tertinggi dalam pengambilan kebijakan dan keputusan. Pemimpin yang beriman dan bartaqwa adalah pemimpin yang bertauhid, yang berkomitmen menegakkan misi utama kenabian, yaitu menegakkan Tauhid (QS an-Nahl:36).

Baca Juga: [Hadits Arbain ke-25] Tentang Bersedekah Tidak Mesti dengan Harta

Pemimpin semacam ini yakin bahwa hanya Allah, Tuhan Yang Maha Esa, yang berhak disembah. Ia pun yakin, bahwa Allah telah mengutus para Nabi — mulai Nabi Adam Alaihi Salam sampai Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam yang diberi tugas menyampaikan ayat-ayat-Nya dan mensucikan jiwa mereka. Ia pun tak ragu, bahwa semua amal perbuatannya akan diminta pertanggungjawaban di Hari Akhir nanti.

Maka, pemimpin yang bertauhid dan berkomitmen menegakkan misi kenabian seperti itu, pasti bekerja sekuat tenaga menjalankan amanah yang diembannya; mendahulukan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi dan golongannya; bekerja keras untuk menjaga dan membina iman dan taqwa bangsanya; bekerja keras mencukupi kebutuhan-kebutuhan dasar rakyatnya; takut azab Allah di dunia dan akhirat; takut mengambil hak rakyat; dan tidak akan tertawa atau berpesta pora ketika rakyat susah dan sengsara.

Pemimpin yang ibadah Ramadhannya sukses, pasti menjadi pemimpin yang jujur. Ia berkomitmen pada tegaknya misi kenabian itu, tidak munafik; tidak berpura-pura beriman dan baik di hadapan manusia, sedangkan hatinya benci kepada Islam; tidak lebih taat kepada tuntunan setan, ketimbang taat kepada tuntunan Allah Yang Maha Pencipta. Ibadah Ramadhan telah menempanya ke derajat Ihsan. Ia yakin, Allah Subhanallah Wa Ta’ala selalu melihatnya.

Pemimpin taqwa akan malu kepada Allah, jika berpura-pura bersimpati pada rakyat padahal hatinya tidak menangis jika rakyatnya menderita. Pemimpin taqwa sadar benar, bahwa keberadaan dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin sangatlah berat. Jika ia menzalimi rakyatnya, maka ia akan diazab oleh Allah Subhanallah Wa Ta’ala dengan azab yang pedih. Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Tidak ada seorang hamba pun yang diamanahi untuk memimpin rakyat oleh Allah, lalu ia mati dan pada saat mati ia berkhianat pada rakyatnya, kecuali Allah SWT mengharamkan surga baginya.” (HR Muslim).

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Fatihah: Makna dan Keutamaannya bagi Kehidupan Sehari-Hari

Karena itu, kita, umat Islam, diperingatkan oleh Rasulullah saw agar sangat berhati-hati memilih pemimpin dalam berbagai bidang dan tingkatan. “Siapa yang mengangkat seseorang untuk mengelola urusan (memimpin) kaum Muslimin, lalu ia mengangkatnya, sementara pada saat yang sama dia mengetahui ada orang yang lebih layak dan sesuai (ashlah) daripada orang yang dipilihnya, maka dia telah berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya.”(HR Al-Hakim).

Dalam pandangan Islam, pemimpin bukan sekedar mengurus masalah dunia. Pemimpin bukan sekedar mengurus KTP, pajak, dan kesejahteraan ekonomi. Tapi, pemimpin akan dimintai tanggung jawab apakah ia telah berusaha meningkatkan keimanan dan ketaqwaan rakyatnya, atau justru ia merusak keimanan rakyatnya.

Indonesia adalah negeri penuh berkah, amanah para wali dan para pejuang Islam yang beratus-ratus tahun berjuang di negeri ini; menyemai benih Tauhid, hingga negeri yang sebelumnya 100% penduduknya tak tersentuh Risalah kenabian, kemudian menjadi hampir seluruhnya muslim.

Pemimpin bertaqwa bukan hanya mengusahakan agar rakyat bisa terpenuhi sandang, pangan, dan papannya, tetapi juga sungguh-sungguh dalam membangun jiwanya sendiri dan jiwa rakyatnya, agar mereka terbebas dari penyakit-penyakit jiwa, seperti sombong, serakah, rakus dunia, riya’, iri hati/dengki, dan sebagainya. Allah SWT sudah mengabarkan bahwa sangatlah beruntung orang yang mensucikan jiwanya dan sangatlah celaka orang yang mengotori jiwanya. (QS 91:9-10). Mungkin bukan kebetulan, jika penggubah lagu Indonesia menyerukan: Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya!

Baca Juga: Tak Perlu Khawatir Tentang Urusan Dunia

Kita syukuri nikmat Allah, bahwa kita menjadi Muslim, dan tinggal di negeri yang indah, subur dan makmur. Tentu menjadi tanggung jawab kita semua untuk memakmurkan negeri ini, melaksanakan tugas kita sebagai khalifatullah, menjadikan negeri anugerah Ilahi ini menjadi negeri adil-makmur di bawah naungan ridho Ilahi (baldatun thayyibatun wa-rabbun ghafur).

Saat ini, panggung politik di negeri kita masih didominasi oleh wacana politik yang mengejar kekuasaan duniawi, dalam batas-batas duniawi dan melupakan Akhirat. Wacana-wacana duniawi, urusan ekonomi, janji-janji kesejahteraan hidup, terasa sangat dominan. Wacana keimanan, akhlak, dan pembangunan jiwa menjadi terpinggirkan; dianggap “tidak laku dijual”; bahkan dianggap tidak relevan.

Seolah-olah, semua masalah bangsa ini akan bisa diselesaikan dengan akal dan materi. Agama dianggap tidak penting. Panduan Nabi saw dalam bermasyarakat dan bernegara diabaikan begitu saja. Kadangkala, untuk basa-basi politik, Nabi hanya diingat saat perayaan Maulid. Kyai atau ulama dijadikan pelengkap untuk baca doa dalam upacara bendera. Tetapi, ajaran Nabi dan bimbingan ulama tidak dijadikan panduan utama dalam kehidupan.

Semoga puasa dan seluruh ibadah Ramadhan kita berdampak pada peningkatan iman dan taqwa kita. Begitu juga kepada para pemimpin kita dalam berbagai bidang kehidupan. Dengan itu, semoga Allah kucurkan berkah kepada bangsa kita. Mudah-mudahan musibah banjir, tanah longsor, pandemi, pesawat jatuh, kapal tenggelam, dan sebagainya, menjadi pelajaran berharga bagi kita semua, sehingga kita semakin sungguh-sungguh dalam meraih berkah Allah SWT. Aamiin. (Jakarta, 26 April 2021). (AK/R4/P2)

Baca Juga: [Hadits Al-Arbain ke-24] Tentang Haramnya Berbuat Zalim

Mi’raj News Agency (MINA)

Rekomendasi untuk Anda

Tausiyah