Image for large screens Image for small screens

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Damai di Palestina = Damai di Dunia

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Malam Ahad di Pesantren: Antara Nafsu, Tanah, dan Sandal yang Menyerah

Redaksi Editor : Arif R - 20 detik yang lalu

20 detik yang lalu

0 Views

Aji Sarmaji

TAHUN 1991, usia masih muda, semangat masih membara, otot masih kencang, dan rambut masih lengkap. Dengan penuh tekad, Saya memutuskan untuk ikut Taklim Pusat di Pesantren Al-Fatah, Cileungsi. Keputusan ini tidak mudah, karena di saat teman-teman lain menikmati malam Ahad dengan jalan-jalan, nongkrong di warung kopi, atau sekadar menyisir rambut biar terlihat keren, Saya malah memilih jalan sunyi: perjalanan spiritual berbalut lumpur.

Sabtu malam itu, langit tampak sendu, hujan gerimis turun penuh perasaan, seperti soundtrack film India. Saya curiga, ini bukan sekadar hujan biasa. Mungkin ini air mata malaikat yang sedih melihat saya yang biasanya mager, tiba-tiba mau ikut pengajian. Atau bisa juga hujan ini adalah ujian awal dari perjalanan suci ini—suci dalam arti benar-benar harus bersih-bersih setelahnya.

Perjalanan ke pesantren ternyata lebih berat dari yang Saya bayangkan. Saat itu jalan masih berupa kombinasi bebatuan dan tanah merah, yang kalau diinjak rasanya seperti adonan lem perekat. Setiap kali melangkah, tanahnya lengket di sandal, membuat saya seperti sedang membawa oleh-oleh seember tanah di tiap kaki. Lama-lama, Saya sadar kalau Saya terus begini, Saya bisa tiba di lokasi dengan kaki yang berat sebelah.

Akhirnya, dengan berat hati (dan berat kaki), Saya mengambil keputusan besar: melepas alas kaki! Harapannya, perjalanan jadi lebih ringan. Tapi kenyataannya? Wah, ini pengalaman spiritual yang lain lagi! Baru beberapa langkah, kaki Saya sudah merasakan sensasi luar biasa: batu tajam menusuk, tanah dingin menyelinap di antara jari, dan sesuatu yang bergerak di lumpur… yang Saya doakan bukan makhluk hidup.

Baca Juga: Taklim Pusat yang Mempertemukan Mama dan Ayah

Masalah belum selesai! Belum ada penerangan listrik saat itu, jadi Saya berjalan hanya berbekal semangat, keberanian, dan doa yang semakin kencang. Gelap gulita, suara jangkrik bersahut-sahutan, dan sesekali ada suara mencurigakan di semak-semak. Ini benar-benar latihan keimanan! Kalau iman saya kurang kuat, bisa-bisa saya balik kanan dan menyerah sebelum sampai tujuan.

Di tengah perjalanan, muncul pertanyaan besar di kepala Saya: Kenapa Saya di sini?

Sementara teman-teman lain sedang asik nongkrong, mungkin sambil menikmati kopi panas dan obrolan receh, saya malah sibuk menyusun strategi agar tidak terpeleset ke dalam kubangan lumpur.

Tapi ya sudahlah, iman harus diuji, bukan? Nafsu harus dikendalikan. Walaupun untuk saat itu, yang benar-benar terkontrol hanya keseimbangan saya supaya tidak jatuh.

Baca Juga: Dapur Nenek Saya “Ibu Ani” Tempat Masak Taklim Pusat

Setelah perjuangan panjang dan perjalanan yang lebih berat dari drama percintaan anak muda, akhirnya saya sampai di lokasi. Para ikhwan yang sudah lebih dulu tiba menyambut saya dengan senyum penuh makna. Saya tidak tahu apakah itu senyum persaudaraan atau senyum melihat saya dalam kondisi mirip pejuang yang selamat dari perang lumpur.

Malam itu, Saya belajar satu hal penting: jalan menuju kebaikan memang tidak selalu mulus. Kadang berbatu, kadang berlumpur, dan kadang bikin kita berpikir ulang tentang keputusan hidup. Tapi yang jelas, saya tidur dengan sangat nyenyak.

Apakah karena Saya mendapatkan ketenangan batin? Bisa jadi.

Atau mungkin karena akhirnya bisa membersihkan kaki dari tanah yang menempel seperti kenangan mantan yang susah hilang? Nah, ini yang lebih pasti.

Baca Juga: Dari Kupang ke Cileungsi, Bahagia Bertemu Imaam

Kini, 2025, semuanya berubah. Jalanan sudah mulus, seterang hati yang lagi jatuh cinta. Lampu minyak? Udah pensiun, diganti listrik yang setia menyala (kecuali kalau tiba-tiba mati lampu, ya…). Semua serba mudah, tapi semangat harus tetap membara! Jangan sampai gara-gara fasilitas nyaman, semangat ikut Tapus malah jadi “lowbat”.

Mau jalannya lempung atau aspal, lampu minyak atau listrik, yang penting tetap maju! Karena semangat sejati nggak ditentukan oleh fasilitas, tapi oleh hati yang siap berjuang! setuju apa setuju, Oke apa Oke [Aji Sarmaji]

Baca Juga: Di Taklim Pusat Kami Disambut dengan Baik, Tapi Parkirnya Terlau Jauh

Rekomendasi untuk Anda