Oleh: Rudi Hendrik, jurnalis Mi’raj News Agency (MINA)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-11] Ragu-ragu Mundur!
وَلَن تَرۡضَىٰ عَنكَ ٱلۡيَہُودُ وَلَا ٱلنَّصَـٰرَىٰ حَتَّىٰ تَتَّبِعَ مِلَّتَہُمۡۗ قُلۡ إِنَّ هُدَى ٱللَّهِ هُوَ ٱلۡهُدَىٰۗ وَلَٮِٕنِ ٱتَّبَعۡتَ أَهۡوَآءَهُم بَعۡدَ ٱلَّذِى جَآءَكَ مِنَ ٱلۡعِلۡمِۙ مَا لَكَ مِنَ ٱللَّهِ مِن وَلِىٍّ۬ وَلَا نَصِيرٍ
Artinya, “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk [yang benar]”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2] ayat 120).
Setiap menjelang pergantian tahun atau Tahun Baru, hanya umat Islam yang seakan memiliki masalah musiman. Tidak seperti umat lain yang terlihat tenang, bahkan mereka bergembira ria.
Pergantian tahun yang dirayakan di seluruh dunia berarti pergantian kalender Masehi dari yang lama kepada kalender yang baru.
Dalam bahasa Inggris dan dipergunakan secara internasional, istilah “Masehi” dalam bahasa Latin-nya adalah Anno Domini atau AD yang artinya “Tahun Tuhan kita”. Adapun Sebelum Masehi disebut sebagai Before Christ atau BC yang artinya “Sebelum Kristus”.
Baca Juga: Muasal Slogan ”Al-Aqsa Haqquna”
Maka, sangat teranglah bahwa hakekatnya, perayaan pergantian tahun baru adalah perayaan milik umat Kristiani.
Dalam kisah dialog antara Pak Kiai dan Pendeta yang ditulis oleh KH Abdurrahman Anwar Al Bantany, Pendeta mengucapkan rasa terima kasihnya kepada umat Islam.
“Jadi buat apa kami turun ke jalan memeriahkan tahun baru kami, tanpa kami turun ke jalan, umat Islam sudah turun ke jalan memeriahkan tahun baru kami. Terima kasih Pak Kiai, sampaikan kepada umat Islam yang telah turut serta memeriahkan tahun baru kami,” kata Pendeta dalam penggalan dialognya dengan Kiai tentang perayaan Tahun Baru.
Entah berapa banyak umat Islam yang turun ke jalan-jalan dan pesta-pesta pada malam menjelang pergantian tahun Masehi setiap tahunnya? Itu berarti umat Islam yang banyak itu merayakan pesta akbar umat Kristiani. Inilah yang membuat para tokoh panutan umat Islam, para guru dan ulama mempermasalahkan setiap Tahun Baru.
Baca Juga: Enam Prinsip Pendidikan Islam
Dengan turut sertanya umat Islam merayakan pesta dan budaya agama lain, itu berarti ada norma dalam Islam yang mereka langgar, sehingga para guru pengayom berkewajiban untuk melindungi umat dari berbuat dosa. Terlebih, bukan sekedar budaya Kristiani yang ada di malam itu, tapi begitu banyak perbuatan dosa yang tersedia.
Bukan hanya turun ke jalan untuk menghitung mundur di menit terakhir tanggal 31 Desember, tapi di sana banyak digelar pesta-pesta maksiat, dari musik, minuman beralkohol, seks, hingga penghamburan uang dan kelalaian mengingat Allah.
Umat Islam merayakan pergantian tahun sudah menjadi budaya yang mengakar, terutama di kota-kota besar. Tidak cukup bagi para ulama dan dai hanya sebatas menyeru dan menyuguhkan berbagai hujjah bahwa itu dilarang dalam Islam, sebab setiap tahun masehi berganti, seolah tidak berubah bahwa faktanya umat Islam tetap bergembira merayakan pergantian tahun dengan meriah.
Sejumlah pihak yang peduli kemudian memunculkan acara-acara alternatif di waktu malam yang sama untuk mengalihkan umat Islam dari mendatangi tempat yang maksiat kepada tempat yang manfaat.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-10] Makanan dari Rezeki yang Halal
Berbagai organisasi, media massa, lembaga, hingga instansi pemerintah, mulai marak mengadakan acara zikir akbar atau zikir bersama di berbagai tempat di Indonesia menjelang malam pergantian tahun tersebut.
Selain terus kontinyu mengingatkan bahwa perayaan malam Tahun Baru adalah budaya orang kafir dan haram untuk diikuti, para ulama pun menyediakan sarana pilihan yang lebih bermamfaat dengan berzikir dan mengingat Allah.
Dalam skala yang lebih kecil, berbagai kelompok pengajian atau masjid-masjid, mengadakan pula acara mabit dan tablig akbar pada malam pergantian tahun Masehi. Berbagai tema mereka usung, dari zikir, tausiyah, hingga kajian tentang Palestina dan Masjid Al-Aqsha. Semua itu bertujuan untuk menarik umat Islam agar pada malam pergantian tahun mereka mendatangi masjid dan majelis zikir daripada pergi ke jalan atau pesta Tahun Baru.
Pakar ekonomi syariah Syafii Antonio menilai, Zikir Nasional di akhir tahun akan menjadi identitas dan kesadaran spiritual, serta diharapkan bisa mendekatkan diri kepada Allah.
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof. Anbar: Pendidikan Jaga Semangat Anak-Anak Gaza Lawan Penindasan
Ia mengatakan, setiap bangsa setiap budaya punya identitas. Seperti Majusi punya indentitasnya api, Kristiani punya identitas lonceng, Zionis punya identitas terompet. Untuk menghindari lonceng, api, dan terompet, yang paling bagus adalah berzikir.
Para ulama dan dai akan selalu menyuguhkan satu ayat Al-Quran dari Surah Al-Baqarah ayat 120, sebagai pengingat dari Allah kepada umat Islam bahwa umat lain selalu membuat perangkap agar umat Islam terjerumus ke dalamnya.
Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ , قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ : فَمَنْ
Artinya, “Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim no. 2669).
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-9] Jalankan Semampunya
Ibnu Taimiyah menjelaskan, tidak diragukan lagi bahwa umat Islam ada yang kelak akan mengikuti jejak Yahudi dan Nashrani dalam sebagian perkara. Lihat Majmu’ Al Fatawa, 27: 286.
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Artinya, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad 2: 50 dan Abu Daud no. 4031. Syaikhul Islam dalam Iqtidho‘ 1: 269 mengatakan bahwa sanad hadits ini jayyid/bagus. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam Irwa’ul Gholil no. 1269)
Dari Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda,
Baca Juga: Wawancara Eksklusif Prof El-Awaisi: Ilmu, Kunci Pembebasan Masjid Al-Aqsa
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا
Artinya, “Bukan termasuk golongan kami siapa saja yang menyerupai selain kami.” (HR. Tirmidzi no. 2695. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). (A/RI-1/P1)
Mi’raj News Agency (MINA)
Baca Juga: Amalan Sunnah pada Hari Jumat