malu-300x285.jpg" alt="malu" width="300" height="285" />Oleh Nidiya Fitriyah*
Malu merupakan salah satu sifat terpuji yang bisa mengendalikan orang yang memilikinya dari perbuatan-perbuatan yang tidak sepatutnya dilakukan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ
“Rasa malu itu hanya mendatangkan kebaikan.” (HR. Bukhari dan Muslim dari ‘Imron bin Hushain)
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-19] Jagalah Allah, Pasti Allah akan Menjagamu
Terkadang, ketika seseorang merasa malu tidak jarang banyak orang yang mencelanya. Seolah rasa malu bukan hal yang wajar, dan semua itu sangatlah tidak benar.
“Dari Salim bin Abdullah, dari ayahnya, ia berkata, “Rasulullah SAW lewat di hadapan seorang Ansar yang sedang mencela saudaranya karena saudaranya pemalu. Maka Rasulullah SAW bersabda, ‘Biarkan dia! Sesungguhnya malu itu sebagian dari iman.” (HR.Bukhari).
Biarkan saja ketika seseorang memiliki sifat pemalu, karena itu adalah akhlak yang disunnahkan. Malu adalah sebagian dari iman. Sifat malu menurut Ibnu Qutaibah, “Dapat menghalangi seseorang untuk melakukan kemaksiatan sebagaimana iman.”
Hakikat rasa malu adalah suatu akhlak yang mendorong untuk meninggalkan hal-hal yang buruk dan kurang memperhatikan haknya orang yang memiliki hak.
Baca Juga: Mengembangkan Pola Pikir Positif dalam Islam
Rasa malu itu ada dua macam:
Pertama, rasa malu kepada Allah. “Bukan demikian namun yang dimaksud malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya adalah menjaga kepala dan anggota badan yang terletak di kepala, menjaga perut dan anggota badan yang berhubungan dengan perut, mengingat kematian dan saat badan hancur dalam kubur. Siapa yang menginginkan akhirat harus meninggalkan kesenangan dunia. Siapa yang melakukan hal-hal tersebut maka dia telah merasa malu dengan Allah dengan sebenar-benarnya.”(HR.Tirmidzi)
Dalam Hadist tersebut, Nabi menjelaskan, tanda memiliki rasa malu kepada Allah yaitu dengan menjaga anggota badan agar tidak digunakan untuk bermaksiat pada Allah. Dalam hadist tersebut menjelaskan pula tentang kematian, janganlah menyibukan diri dengan hal-hal kesenangan dalam gemerlap kehidupan dunia dan melalaikan akhirat.
Kedua, malu dengan sesama manusia. Malu inilah yang membuat seorang hamba enggan melakukan perbuatan yang tidak pantas. Dia merasa risih jika ada orang lain yang mengetahui kekurangannya.Rasa malu dengan sesama akan mencegah seseorang dari melakukan perbuatan yang buruk dan akhlak yang hina.
Baca Juga: Tadabbur QS. Thaha ayat 14, Dirikan Shalat untuk Mengingat Allah
Rasa malu kepada Allah akan mendorong untuk menjauhi semua larangan Allah dalam setiap kondisi dan keadaan, baik ketika bersama banyak orang ataupun saat sendiri tanpa ditemani seseorang.
Rasa malu kepada Allah termasuk tanda iman yang tertinggi bahkan merupakan derajat ihsan yang paling puncak. Nabi bersabda, “Ihsan adalah beribadah kepada Allah seakan-akan memandang Allah. Jika tidak bisa seakan memandang-Nya maka dengan meyakini bahwa Allah melihatnya.” (HR Bukhari).
Dewasa ini rasa malu tidak dipedulikan lagi. Hal-hal seperti mengumbar aurat, berbuat kemaksiatan secara terang-terangan, mengeluarkan kata-kata yang tidak baik, kini sudah tidak asing lagi, karena rasa malu telah hilang dalam dirinya.
“Di antara perkataan para Nabi terdahulu yang masih diketahui banyak orang pada saat ini adalah jika engkau tidak lagi memiliki rasa malu maka berbuatlah sesuka hatimu.” (HR. Bukhari).
Baca Juga: Terus Berjuang Membela Palestina
Dalam hadist tersebut menjelaskan, jika tidak ada lagi rasa malu, maka seseorang akan berbuat berbagai perilaku buruk yang diinginkannya. Siapa yang sudah tidak lagi memiliki rasa malu akan tenggelam dalam berbagai perbuatan keji dan kemungkaran. Pribadi yang mempunyai rasa malu dalam arti yang benar, sangat berkaitan dengan masalah kadar keimanan seseorang.
Rasulullah SAW berabda, “Sesungguhnya Allah tatkala hendak membinasakan seorang hamba, Allah mencabut rasa malu darinya. Ketika Allah telah mencabut rasa malu darinya, orang itu tidak akan mendapati dirinya kecuali dia dibenci dan membenci orang lain. Ketika tidak mendapati dirinya kecuali dibenci dan membenci orang lain akan dicabut amanah (kepercayaan) darinya. Ketika amanah telah dicabut darinya dia tidak mendapati dirinya kecuali dia berkhianat dan dikhianati oleh orang lain. Ketika tidak mendapati dirinya kecuali dia berkhianat dan dikhianati, akan dicabut darinya rahmat. Ketika telah dicabut rahmat darinya, tidak mendapati dirinya kecuali dia dikutuk dan dilaknat. Ketika tidak mendapati dirinya kecuali dia dikutuk dan dilaknat, maka akan dicabut darinya tali agama Islam.” (HR. Ibnu Majah).
Naudzubillah, semoga kita bukan termasuk orang-orang yang dicabut rasa malu nya oleh Allah Ta’ala. Begitu berbahayanya ketika seseorang telah hilang rasa malu, menjadi orang yang benar-benar hina dipandangan-Nya.
Dalam kehidupan sehari-hari kita, tentunya tidak luput dari perasaan malu. Rasa malu itu timbul lantaran banyak hal. Apakah malu lantaran status sosial yang rendah, malu lantaran kondisi ekonomi yang lemah, malu lantaran wajah dan fisik yang buruk, dan sebagainya.
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-18] Tentang Taqwa
Perlu disadari, kita harus lebih merasakan malu ketika menjalankan perintah Allah Ta’ala dan meninggalkan larangann-Nya, malu karena melakukan hal yang sia-sia, malu karena melakukan maksiat dan dosa, malu karena menelantarkan kewajiban-kewajiban kita.
Jadikan malu sebagai penghalang keburukan. Malulah karena kurangnya pengetahuan keagamaan, minimnya akhlak, dan kurangnya ketaqwaan terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Allah berfirman, “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Qs. Al-Hujarat: 13). Wallahualam.(T/Nidiya/R2).
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Mahsyar dan Mansyar: Refleksi tentang Kehidupan Abadi