Oleh Bahron Ansori, jurnalis MINA
Rasa malu merupakan pembeda antara manusia dengan makhluk lain (hewan). Tapi tentu saja, malu yang dimaksud dalam tulisan singkat ini adalah rasa malu ketika seseorang melakukan hal yang buruk (maksiat), karena melanggar larangan Allah dan Nabi-Nya.
Sifat malu termasuk di antara sifat terpuji yang sudah ditinggalkan oleh banyak orang. Padahal sifat ini bisa mendatangkan banyak kebaikan bagi orang yang bersifat dengannya serta membentenginya agar tidak terjerumus dalam perilaku buruk. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ
Baca Juga: Inilah Tanda Orang Baik, Inspirasi dari Kisah Nabi Musa Belajar kepada Khidir
“Sesungguhnya rasa malu itu hanya mendatangkan kebaikan.” (HR. Bukhari).
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam juga mengabarkan bahwa malu merupakan bagian dan cabang dari keimanan. Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
“Iman memiliki tujuh puluh atau enam puluh cabang lebih. Yang tertinggi adalah ucapan laa ilaaha illallaah dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu itu salah satu cabang dari keimanan.” (HR. Muslim).
Baca Juga: Begini Cara Mengucapkan Aamiin yang Benar dalam Shalat Berjamaah Menurut Hadits
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah bertemu dengan seseorang yang sedang mengingatkan atau mencela saudaranya yang pemalu. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنْ الْإِيمَانِ
“Biarkan dia, karena sesungguhnya malu itu adalah sebagian dari iman.” (HR. Bukhari).
Beberapa hadits di atas menunjukkan bahwa malu bukan suatu yang buruk, bahkan sebaliknya termasuk sifat terpuji.
Baca Juga: Salam Es Teh
Simak juga apa yang dikatakan Ibnul Qayyim rahimahullah, “Kata al-Haya’ berasal dari (satu kata dasar dengan) al-hayat (kehidupan). Oleh karena itu hujan juga disebut al-hayâ (pembawa kehidupan). Kadar rasa malu seseorang sangat tergantung dengan kadar hidupnya hati. Sedikitnya rasa malu merupakan indikasi hati dan ruhnya telah mati. Semakin hidup hati seseorang, maka rasa malunya akan semakin sempurna.”
Rasa malu itu ada dua yaitu malu kepada Allah dan malu kepada manusia. Malu kepada Allah Ta’ala maksudnya merasa malu dilihat Allah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam saat melakukan perbuatan maksiat. Sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam sabda Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam :
اسْتَحْيُوا مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ قَالُوا : إِنَّا نَسْتَحِي يَا رَسُولَ اللَّهِ , قَالَ لَيْسَ ذَلِكَ وَلَكِنْ مَنْ اسْتَحَى مِنَ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ فَلْيَحْفَظِ الرَّأْسَ وَمَا حَوَى وَلْيَحْفَظِ الْبَطْنَ وَمَا وَعَى وَلْيَذْكُرِ الْمَوْتَ وَالْبِلَى وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ تَرَكَ زِينَةَ الدُّنْيَا فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ اسْتَحْيَا مِنْ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ حَقَّ الْحَيَاءِ
“Hendaklah kalian benar-benar merasa malu kepada Allah Ta’ala.” Para sahabat menjawab, “Kami sudah merasa malu, wahai Rasulullah.” Rasulullah bersabda, “Bukan itu maksudnya, akan tetapi siapa yang benar-benar merasa malu kepada Allah Ta’ala maka dia harus MENJAGA KEPALA BESERTA ISINYA, MENJAGA PERUT BESERTA ISINYA DAN DIA TERUS MENGINGAT KEMATIAN. Orang yang menginginkan akherat, dia pasti akan meninggalkan keindahan dunia. Siapa melakukan ini berarti dia benar-benar merasa malu kepada Allah.“ (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
Baca Juga: [Hadits Arbain ke-19] Jagalah Allah, Pasti Allah akan Menjagamu
Dalam hadits di atas, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjelaskan dengan gamblang sifat orang yang tertanam rasa malu kepada Allah dalam lubuk hatinya. Yaitu dia terus berusaha menjaga seluruh anggota tubuhnya agar tidak berbuat dosa dan maksiat, senantiasa ingat kematian, tidak punya keinginan yang muluk-muluk terhadap dunia dan tidak terlena dengan nafsu syahwat.
Orang yang merasa malu kepada Allah, dia akan menjauhi semua larangan Allah dalam segala kondisi, baik saat sendiri maupun di tengah keramaian. Rasa malu seperti masuk dalam kategori ibadah kepada Allah. Sebuah rasa yang merupakan buah dari ma’rifatullâh (mengenal Allah). Rasa malu yang muncul karena menyadari keagungan dan kedekatan Allah.
Rasa malu yang timbul karena tahu Allah itu Maha Mengetahui terhadap semua perbuatan, yang nampak maupun yang tersembunyi dalam hati. Rasa malu seperti inilah yang masuk dalam bagian iman tertinggi bahkan menempati derajat ihsân tertinggi.
Tentang ihsân, Rasulullah bersabda, yang artinya, “Ihsân adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, seandainya engkau tidak melihat-Nya maka Allah pasti melihatmu.”
Baca Juga: Mengembangkan Pola Pikir Positif dalam Islam
Di samping rasa malu kepada Allah, kita juga harus memiliki sifat malu kepada manusia. Rasa malu ini akan mencegah kita dari perbuatan yang tidak layak dan tercela. Rasa malu membuat kita tidak suka jika aib dan keburukan kita diketahui orang lain. Oleh karena itu, orang yang memiliki rasa malu tidak akan menyeret dirinya untuk menjadi tukang cela, penyebar fitnah, tukang gunjing dan berbagai perbuatan maksiat lainnya yang nampak.
Singkat kata, rasa malu kepada Allah akan mencegah seseorang dari kerusakan batin, sedangkan rasa malu kepada manusia akan mencegahnya dari kerusakan lahiriah. Dengan demikian, dia akan menjadi orang yang baik secara lahir dan batin dan akan tetap baik ketika sendiri maupun di tengah khalayak ramai. Malu seperti inilah yang merupakan bagian dari iman.
Lalu bagaimana dengan orang yang tidak memiliki rasa malu? Orang yang tidak memiliki rasa malu, berarti dia tidak memiliki benteng dalam hatinya yang bisa mencegahnya dari perbuatan dosa dan maksiat. Dia akan berbuat semaunya, seakan-akan tidak ada iman yang tersisa dalam hatinya. Na’ûdzu billâh. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda :
إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
Baca Juga: Tadabbur QS. Thaha ayat 14, Dirikan Shalat untuk Mengingat Allah
“Sesungguhnya di antara perkataan kenabian pertama yang diketahui manusia ialah ‘Jika engkau tidak malu, maka berbuatlah sesukamu’.” (HR. Bukhari).
Artinya, orang yang tidak memiliki rasa malu sedikitpun, dia pasti akan berbuat semaunya, tanpa peduli maksiat atau bukan. Karena rasa malu yang bisa mencegah seseorang dari perbuatan maksiat tidak dimiliki. Akibatnya, dia akan terus hanyut dan larut dalam perbuatan maksiat dan mungkar.
Setelah mengetahui urgensi rasa malu dan manfaatnya bagi seorang hamba, cobalah sekarang kita memperhatikan kondisi manusia saat ini. Sungguh sangat menyedihkan keadaan sebagian orang saat ini. Mereka telah mencampakkan rasa malu sampai seakan tidak tersisa sedikitpun dalam diri mereka, sehingga akibatnya berbagai kemungkaran menjamur di mana-mana; aurat yang semestinya ditutup malah dipertontonkan; perbuatan amoral dilakukan terang-terangan; rasa cemburu pada pasangan sirna. Tindakan asusila nan hina dianggap baik dan dibanggakan. Ketika ini dipermasalahkan, banyak orang sontak membelanya. Sungguh ironis, tapi inilah realita.
Di antara indikasi pudarnya rasa malu dan menipisnya rasa cemburu pada hati sebagian laki-laki adalah mempekerjakan wanita bukan mahramnya atau wanita kafir sebagai pembantu, sehingga khalwat ditengah keluarganya tidak terhindarkan. Ada juga sebagian orang yang mempekerjakan laki-laki bukan mahramnya sebagai supir untuk keluarganya. Mereka relakan keluarga mereka berduaan dengan orang lain di rumah, di kendaraan, di tempat wisata dan lain sebagainya. Akhirnya terjadilah apa yang terjadi. Kemanakah rasa cemburu dan rasa malu mereka?
Baca Juga: Terus Berjuang Membela Palestina
Termasuk tanda hilangnya rasa malu dari sebagian wanita pada zaman ini yaitu mereka membuka hijab dan jilbab mereka. Aurat yang seharusnya mereka tutupi, justru mereka pertontonkan kepada khalayak ramai. Mereka keluar rumah dengan dandanan menor, pakaian minim, berbagai hiasan dan aksesoris yang menarik perhatian menempel di tubuh mereka serta tak ketinggalan aroma semerbak yang bisa menggait lawan jenisnya. Sorot mata jalang yang seharusnya membuatnya risih dan malu, justru semakian menimbulkan rasa bangga. Na’udzu billah.
Sejatinya, rasa malu bisa menjadi pakaian dalam setiap sisi kehidupan seorang manusia, apalagi jika ia adalah seorang muslim (Islam). Bisa dibayangkan, penghuni negeri ini akan aman, damai dan sejahtera hidupnya bila banyak pejabat (yang punya kekuasaan) malu kepada Allah untuk melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme. Mari, jadikan rasa malu itu sebagai pakaian kita sehari-hari dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara, agar negeri ini diberkahi oleh Allah Ta’ala, wallahua’lam.(RS3/P1)
Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Baca Juga: Lisanmu Adalah Cerminan Iman, Jangan Biarkan Kata-Kata Melukai..!