Manusia Merdeka dalam Pandangan Islam

Oleh Bahron Ansori, wartawn MINA

Rakyat Indonesia kini merayakan HUT Kemerdekaan RI yang ke 77. Tentu saja kemerdekaan bangsa yang besar ini tak lepas dari pertolongan Allah Ta’ala melalui para pahlawan yang berjuang melawan penjajah dengan gagah berani. Gegap gempita di seluruh pelosok negeri ini rakyat menyambut hari kemerdekaan dengan aneka macam perlombaan.

Sebagai warga negara yang baik, terlebih lagi sebagai seorang muslim, yang penting adalah bukan sekedar formalitas menyambut kemerdekaan itu dengan aneka perlombaan digelar. Jauh yang tak kalah penting adalah bagaimana mengisi kemerdekaan negeri ini dengan terus meningkatkan kualitas diri sebagai seorang muslim dan sebagai anak bangsa.

Dalam terminologi bahasa Arab, kemerdekaan adalah ‘al-taharrur wa al-khalash min ayy qaydin wa saytharah ajnabiyyah’  bermakna, bebas dan lepas dari segala bentuk ikatan dan penguasaan pihak lain. Itu artinya, kemerdekaan adalah sesuatu yang asasi dan melekat dalam diri setiap .

Misi utama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam diutus adalah untuk memerdekakan manusia. Ada banyak ayat yang menunjukkan diutusnya Rasulullah sebagai jalan memerdekakan manusia. Karena itu sejatinya, setiap muslim adalah manusia-manusia yang . Setidaknya ada beberapa kemerdekaan yang harus dimiliki oleh setiap muslim, antara lain sebagai berikut.

Pertama, seorang muslim harus merdeka dari belenggu hawa nafsu dan mengakui hanya ada satu Tuhan. Allah SWT berfirman,

وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِۦ وَنَهَى ٱلنَّفْسَ عَنِ ٱلْهَوَىٰ

فَإِنَّ ٱلْجَنَّةَ هِىَ ٱلْمَأْوَىٰ

“Adapun orang-orang yang takut pada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya, sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya.” (QS. an-Nazi’at: 40-41).

Ayat di atas menegaskan bahwa orang yang merdeka dari bujukan hawa nafsunya, yang cenderung mengajak kepada setiap keburukan, maka kelak di akhirat Allah Ta’ala akan menyediakan surga sebagai tempat menetapnya.

Allah Ta’ala berfirman dalam ayat lain,

وَمَا اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا نُوْحِيْ اِلَيْهِ اَنَّه لَا اِلٰهَ اِلَّا اَنَا فَاعْبُدُوْنِ

“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya ‘Bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Aku’. Maka sembahlah Aku.” (Qs. Al-Anbiyaa’ [21]: 25).

Kedua, merdeka dari perilaku dan akhlak tercela. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,

أَكْمَلُ المُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا

“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya.” (HR. Tirmidzi no. 1162. Dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 284).

Inilah makna kemerdekaan selanjutnya bagi seorang muslim, yakni merdeka dari akhlak tercela. Karena itu, jika seorang muslim yang makin bertambah ilmu agama dan imannya, namun akhlaknya tidak semakin baik, maka sejatinya dia belum merdeka sebab masih terbelenggu dengan keburukan akhlaknya.

Ketiga, merdeka dari budaya dan pandangan hidup hedonisme yang tujuannya semata-mata memburu kenikmatan duniawi sesaat secara berlebih-lebihan. Terkait pandangan hedonis ini, dari Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu, ia mendengar Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

مَنْ كَانَتِ الدُّنْيَا هَمَّهُ ، فَرَّقَ اللهُ عَلَيْهِ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ فَقْرَهُ بَيْنَ عَيْنَيْهِ ِ، وَلَمْ يَأْتِهِ مِنَ الدُّنْيَا إِلَّا مَا كُتِبَ لَهُ ، وَمَنْ كَانَتِ الْآخِرَةُ نِيَّـتَهُ ، جَمَعَ اللهُ أَمْرَهُ ، وَجَعَلَ غِنَاهُ فِيْ قَلْبِهِ ، وَأَتَتْهُ الدُّنْيَا وَهِيَ رَاغِمَةٌ.

“Barangsiapa tujuan hidupnya adalah dunia, maka Allâh akan mencerai-beraikan urusannya, menjadikan kefakiran di kedua pelupuk matanya, dan ia tidak mendapatkan dunia kecuali menurut ketentuan yang telah ditetapkan baginya. Barangsiapa yang niat (tujuan) hidupnya adalah negeri akhirat, Allâh akan mengumpulkan urusannya, menjadikan kekayaan di hatinya, dan dunia akan mendatanginya dalam keadaan hina.”

Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya (V/ 183); Ibnu Majah (no. 4105); Imam Ibnu Hibban (no. 72–Mawariduzh Zham’an); al-Baihaqi (VII/288) dari Sahabat Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu.

Lafazh hadits ini milik Ibnu Majah rahimahullah. Dishahihkan juga oleh Syaikh al-‘Allamah al-Imam al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah dalam Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah (no. 950).

Keempat, merdeka dari praktik syirik dalam segala bentuknya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا هُنَّ قَالَ الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَأَكْلُ مَالِ الْيَتِيمِ وَأَكْلُ الرِّبَا وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصِنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ

“Jauhilah tujuh dosa yang membinasakan (al-mubiqat).”  Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, apa saja dosa yang membinasakan tersebut?”

Beliau bersabda, “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang haram untuk dibunuh kecuali jika lewat jalan yang benar, makan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, dan qadzaf.” (HR Bukhari dan Muslim).

Semoga Allah Ta’ala membimbing setiap langkah kita untuk menjadi hamba-hamba-Nya yang merdeka dengan sebenar-benar merdeka. Merdeka! (A/RS3/P2)

Mi’raj News Agency (MINA)

Ikuti saluran WhatsApp Kantor Berita MINA untuk dapatkan berita terbaru seputar Palestina dan dunia Islam. Klik disini.