oleh Nur Abdillah, staf Majelis Dakwah Jama’ah Muslimin .
DI ANTARA nikmat terbesar yang Allah SWT anugerahkan kepada umat Muhammad ﷺ adalah persaudaraan dalam iman. Baik secara lahiriah maupun ruhaniah, persaudaraan ini berlangsung sepanjang kehidupan orang-orang beriman berada di muka bumi. Muncullah simpul-simpul kebersamaan yang kokoh dan bermakna. Ukhuwah ini adalah bentuk ekspresi dari keimanan, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ ketika mempersatukan kaum Muhajirin dan Anshar, atau dalam piagam Madinah yang merangkul keberagaman dalam satu kesatuan sosial.
Seiring perkembangan zaman, hal itu diuji oleh perbedaan-perbedaan jika tidak dikelola dengan bijak. Umat Islam saat ini dihadapkan pada tantangan yang tidak ringan. Mempertahankan persatuan di tengah keragaman yang kian kompleks. Idealnya, di balik perbedaan cara memahami tafsir, hadits, metode dakwah, hingga bahkan pada perbedaan pilihan politik, ukhuwah sebagai ruh kehidupan mestinya tetap terjaga. Namun, realitas sosial menunjukkan bahwa potensi perpecahan justru kian mengemuka.
Perbedaan pendapat memang sesuatu yang lumrah dalam khazanah keilmuan Islam. Sejarah mencatat betapa para ulama besar berbeda dalam banyak hal, tetapi tetap saling menghormati dan merawat silaturahmi. Kini, semangat itu mulai pudar digantikan oleh klaim kebenaran tunggal dan retorika yang menyingkirkan. Padahal, Allah telah mengingatkan sebagaimana termaktub dalam surat Ali-Imran ayat 103 :
Baca Juga: Suara dari Monas Jakarta untuk Gaza Terbebas dari Genosida
وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللّٰهِ جَمِيْعًا وَّلَا تَفَرَّقُوْا ۖوَاذْكُرُوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ اِذْ كُنْتُمْ اَعْدَاۤءً فَاَلَّفَ بَيْنَ قُلُوْبِكُمْ فَاَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهٖٓ اِخْوَانًاۚ وَكُنْتُمْ عَلٰى شَفَا حُفْرَةٍ مِّنَ النَّارِ فَاَنْقَذَكُمْ مِّنْهَا ۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اٰيٰتِهٖ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُوْنَ
“Berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah seraya berjama’ah dan janganlah kalian bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara. (Ingatlah pula ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk.”
Konflik antar kelompok sering kali dipicu oleh ego sektoral dan semangat eksklusif yang sempit. Di sisi lain, media sosial memperparah situasi dengan menyebarkan provokasi dan narasi yang memperuncing perbedaan. Belum lagi pengaruh eksternal yang memanfaatkan isu keagamaan demi kepentingan politik. Mewaspadai potensi perpecahan umat bukan untuk menakut-nakuti, melainkan ingin mengajak refleksi dan pembenahan.
Rasulullah ﷺ telah memberikan teladan dalam menghadapi keragaman umat. Rasulullah ﷺ bersabda, sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dan tercantum dalam Shahih Muslim no. 2564:
Baca Juga: Genosida Kelaparan di Gaza sebagai Senjata Pembunuhan Massal
لَا تَحَاسَدُوا، وَلَا تَنَاجَشُوا، وَلَا تَبَاغَضُوا، وَلَا تَدَابَرُوا، وَلَا يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَكُونُوا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا. الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، لَا يَظْلِمُهُ، وَلَا يَخْذُلُهُ، وَلَا يَكْذِبُهُ، وَلَا يَحْقِرُهُ. التَّقْوَى هَاهُنَا – وَيُشِيرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ – بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ. كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ: دَمُهُ، وَمَالُهُ، وَعِرْضُهُ
“Janganlah kalian saling mendengki, janganlah saling menaikkan harga secara tipu daya (najasy), janganlah saling membenci, janganlah saling membelakangi, dan janganlah menjual di atas jualan saudaranya. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya. Ia tidak menzhaliminya, tidak menelantarkannya, tidak mendustakannya, dan tidak merendahkannya. Takwa itu di sini” beliau menunjuk ke dadanya tiga kali “Cukuplah seseorang dianggap buruk jika ia merendahkan saudaranya sesama Muslim. Setiap Muslim atas Muslim lainnya haram: darahnya, hartanya, dan kehormatannya.”
Umat Islam terlalu berharga untuk terpecah oleh konflik kecil. Umat Islam memiliki nilai yang amat mulia dan luhur di mata syariat. Perpecahan, meskipun berakar dari hal-hal kecil, berpotensi merusak ikatan yang telah Allah anugerahkan berupa ukhuwah Islamiyah. Ikatan ukhuwah adalah pancaran iman dan bentuk kasih sayang yang diperintahkan untuk dijaga dengan penuh keutamaan.
Sudah saatnya semua pihak menanggalkan atribut kelompok dan kembali ke akar nilai Islam, yakni tauhid, ukhuwah islamiyah, dan kesatuan umat. Sikap saling menghindar dan enggan berdialog justru menjadi pemicu utama terkikisnya simpul ukhuwah. Ketika perbedaan dijadikan alasan untuk membatalkan silaturahmi, maka kita sedang menutup pintu kasih sayang dalam Islam.
Baca Juga: Kelaparan di Gaza dan Kepedulain Kita
Sering kali kita terjebak dalam narasi ‘kami’ versus ‘mereka’, tanpa disadari bahwa semua pihak sejatinya adalah bagian dari satu tubuh yang sama, sebagaimana hadits di atas. Bila satu sisi terluka, sisi lain akan ikut melemah. Membangun solidaritas berarti membebaskan diri dari retorika yang memecah belah dan membangun visi yang menyatukan.
Ukhuwah Islamiyah seharusnya bukan hanya wacana ideal yang dilantunkan di mimbar-mimbar, melainkan sebagai syariat yang harus diamalkan dalam keseharian. Ukhuwah menuntut keikhlasan untuk menerima kekurangan saudara, kerendahan hati untuk memaafkan, dan keberanian untuk menyatukan perbedaan. Umat yang dibangun di atas ukhuwah memiliki daya tahan sosial yang kuat. Umat lebih mampu menghadapi tekanan eksternal dan tidak mudah terprovokasi oleh isu-isu yang mengadu domba. Inilah rahasia kekokohan umat pada masa Rasulullah ﷺ dan para sahabat, ketika rasa memiliki dan saling menjaga menjadi nadi kehidupan beragama dan bermasyarakat.
Nilai ukhuwah juga memupuk rasa tanggung jawab sosial. Ketika seseorang melihat saudaranya kesulitan, ia merasa terpanggil untuk membantu, bukan menutup mata atau mencari keuntungan. Sebagaimana yang terjadi pada saudara-saudara muslim kita di Gaza, Palestina. Solidaritas ini yang menjadikan umat Islam sebagai kekuatan besar dalam sejarah, baik dari sisi kemanusiaan maupun peradaban.
Peran tokoh masyarakat, ulama, dan pemimpin sangat vital dalam menjaga keseimbangan ukhuwah. Mereka memiliki pengaruh besar dalam membentuk opini dan arah gerakan umat. Ketika mereka mengedepankan sikap inklusif dan merangkul, umat akan terbiasa dengan cara pandang yang luas dan tidak sempit. Di era digital ini, ukhuwah Islamiyah juga diuji dalam ruang virtual. Media sosial menjadi medan baru yang sarat potensi konflik karena minimnya kontrol emosi dan kurangnya tabayyun. Maka dari itu, membudayakan adab digital dan mengedepankan etika komunikasi adalah bagian dari merawat ukhuwah di era modern.
Baca Juga: Negara Yahudi itu Kian Terpecah
Ukhuwah Islamiyah sejatinya adalah manifestasi dari tauhid. Ukhuwah menuntut pengakuan bahwa kita semua berasal dari satu sumber yang sama, dan akan kembali kepada-Nya. Merawat ukhuwah berarti merawat keutuhan umat dalam rangka menjalankan amanah sebagai khalifah di muka bumi.
Wallahu a’lam. []
Mi’raj News Agency (MINA)